Kolom Zainal Bintang
A Man Can Be Destroyed But Not Defeated. (Manusia Bisa Dihancurkan, Tapi Tidak Bisa Dikalahkan). Ernest Hemingway.
“Lebba Babbasa Sombalaku, Lebba Gunciri Gulingku, Kualleanngi Tallangnga Nakala Toalia” (Sudah Kubentangkan Layarku, Sudah Kuarahkan Kemudiku, Lebih Baik Tenggelam Daripada Kembali Ke Pantai), adalah kalimat penutup yang diucapkan Prof. Dr. H. Syahrul Yasin Limpo., SH,. MH,. MSi ketika mengakhiri orasi ilmiahnya : “Hibridisasi Hukum Tata Negara Posivistik Dengan Kearifan Lokal Dalam Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan”, pada acara penganugerahan gelar Prof. Kehormatan yang diberikan oleh almamaternya Universitas Hasanuddin (Unhas), Kamis 17 Maret 2022, pagi hari. Bertempat di Kompleks Unhas, Makassar, Sulawesi Selatan.
Apa yang diucapkan SYL (panggilan akrabnya), adalah falsafah hidup leluhur Bugis Makassar. Sebuah sikap batin yang melembaga menjadi warisan leluhur yang (seharusnya) tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Dalam berbagai kajian, baik pakar barat maupun dalam negeri, dikatakan, falsafah itu lahir sebagai hasil proses panjang pembentukan diri (self). Sangat ditentukan oleh lingkungan dan latar belakang budaya. Diuraikan bagaimana individu memberikan makna atas dirinya. Ditentukan oleh manipulasi lingkungan atau konteks budayanya. Nilai dan norma budaya tersebut tertanam pada diri individu sejak kanak-kanak, yang kemudian dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh hasil kajian juga menegaskan, pembentukan diri (self) pada orang Bugis-Makassar juga ditentukan oleh budaya Bugis-Makassar, yang telah dihayati menjadi “jimat” jiwa, adalah falsafah : Siri’ Na PaccE (Rasa Malu dan Prihatin) dan atau falsafah Kualleangi Tallangnga Na Toalia (Lebih Baik Mati Tenggelam di Lautan Daripada Kembali Ke Pantai). Dalam frasa awal tersebut di atas, saya menyertakan kata tambahan kata dalam kurung seharusnya. Itu adalah pernyataan sikap batin masyarakat Bugis Makassar dewasa ini yang kecewa berat dan dengan lirih saya pantulkan.
Mereka – masyarakat itu – mempersoalkan, akhir – akhir ini terasakan dengan nyata, adanya gejala pendegradasian sikap batin leluhur yang mewariskan sikap mental yang sarat dengan nilai-nilai tinggi berbasis moralitas: Getteng (Ketegasan), Lempu (Kejujuran) dan Ada Tongeng (Satunya kata dan Perbuatan). Yang kesemuanya terangkum di dalam sebuah paket sikap budaya (cultural attitude) yang dijunjung tinggi, yaitu Siri (Kehormatan Tertinggi).
Banyak hasil penelitian yang menyebutkan, terjadinya kemorosotan nilai budaya leluhur yang selama ini “disakralkan”, adalah efek domino destruktif dari proses demokratisasi yang sangat masif di era reformasi. Semangat demokratisasi yang mendorong dengan paksa dibukanya ruang selebar – lebarnya semangat kompetisi (perlombaan) yang over dosis. Bahkan destruktif. Terutama didalam konteks distribusi kekuasaan.
Kerangkeng kebebasan yang dibangun di era Soeharto selama 32 tahun, membuat semangat kompetisi nyaris tidak ada di dalam panggung distribusi kekuasaan. Peredaran kekuasaan selama era Orde Baru (Orba) hanya berputar – putar di dalam ruang lingkup elit di Istana Orba. Meskipun ada kegiatan politik yang bernama pementasan Pemilu lima tahunan, yang digelar secara regular, namun aktivitas formal tersebut, tidak bisa membersihkan dirinya dari citra hanya gincu demokrasi belaka.
Ekses negatif yang paling terasa, malahan terasa sekali destruktifnya, adalah adanya lomba memperebutkan kue kekuasaan politik, maupun posisi sebagai pejabat negara, lewat – yang harus melalui – sebuah pakem baru yang bernama “money politics” atau politik uang. Setidaknya ada tiga hal yang mendasar, yang mengalami pembusukan akibat masifnya politik uang sebagai dogma. Bahkan secara berseloroh beberapa kalangan intelektual menyebut “politik uang” adalah sebuah “agama” baru yang melahirkan banyak sekali pengikut didalam waktu yang singkat. Pengikut – pengikut itu adalah pemburu kekuasaan dengan menggunakan semua cara. Termasuk menerobos tata krama dan koridor moralitas. Menyuburkan semangat Machiavellism, yang terkenal dengan “ayat” sucinya : Tujuan Menghalalkan Segala Cara (The End Justifies The Means),
Adapun tiga faktor yang dirusak dan membusuk adalah : Pertama, munculnya tokoh dadakan menjadi pemimpin politik lalu bermutasi menjadi pemimpin birokrasi (pemerintahan). Mereka menggunakan jasa rental partai politik sebagai kendaraan utama (berbayar) ; Kedua, rusaknya sistem solidaritas sosial dalam masyarakat. Karena rakyat digiring menjadi pengemis uang recehan dalam amplop yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”. Dan yang ketiga, membuat bangsa besar kehilangan arah tujuan yang lebih pasti. Dengan mengamandemen UUDS 1945 empat kali, Pancasila dibuatnya berada senantiasa dalam ancaman teroris konstitusi.
Republik Indonesia hari ini, bagaikan sebuah perahu besar (Pinisi), yang oleng di tengah samudera luas tanpa nahkoda tangguh. Nakhoda ulung yang berpegang teguh ke dalam beningnya nilai budaya luhur, yakni : Getteng, Lempu dan Ada Tongeng. Dalam konteks pencaharian kearifan lokal – yang serasa sudah terbang jauh meninggalkan sangkarnya : di perut bumi pertiwa sejati, orasi ilmiah SYL menyelusup bagaikan air dingin yang meresapi dan membasahi relung hati bangsa,- yang sejujurnya harus diakui – sudah lama berangsur gersang oleh noda demokratisasi yang salah kaprah.
Pesan kebudayaan lewat orasi ilmiah tersebut, sangat kuat, jujur dan mengharukan. Mengharukan karena benarnya. Sebuah kejujuran yang serasa terjepit, tapi berusaha tegak di tengah himpitan sistem distribusi kekuasaan yang secara berani mencoba berdurhaka, dengan cara memaksa menambah satu “sila” lagi dari Pancasila, yaitu : “keuangan yang maha kuasa.”
Disinilah pentingnya “jeritan” orasi ilmiah itu, bersuara lantang tentang hilangnya – dan perlunya – membangkitkan kembali nilai –nila kearifan lokal. SYL dengan suara bergetar dalam keyakinan, menyebutkan nama tokoh – tokoh Bugis Makassar yang sejak abad ke 17 telah memperkenalkan demokrasi yang luhur. Nama Ammana Gappa, pakar ilmu kelautan dari Wajo dan Karaeng Pattingaloang dari Gowa, menjadi primadonna orasi ilmiah itu. Sekaligus sebagai penanda kerinduan yang dalam, tentang perlunya mencari dan menemukan kembali: kearifan lokal itu. Kearifan lokal itu, yang telah menjadi jati diri bangsa selama ini. Bukan yang lain.
Demokrasi yang sehat yang seharusnya dihayati adalah, demokrasi yang mendorong keharusan berkompetisi secara intelektual. Mengedepankan dengan bertanggung jawab : ketegaran, keteguhan dan satunya kata dan perbuatan. Perjalanan panjang dan pergulatan hidup SYL sebagai birokrat, dan ilmuwan dan bahkan sebagai seniman, mengingatkan kepada potongan dialog yang abadi sampai hari ini, yang ada didalam novel The Old Man And Sea (Lelaki Tua dan Laut), karya Ernest Hemingway (1899 – 1961).
Pengarang legendaris Amerika dan pemenang Hadiah Nobel Sastra 1954, menulis pesan inspiratif didalam novel terakhirnya (1951) itu. Hemingway menulis legacy sastra: Manusia Bisa Hanya Dihancurkan, Tapi Tidak Bisa Dikalahkan (A Man Can Be Destroyed But Not Defeated).
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya, Dewan Pakar KKSS