PINISI.co.id– Di ibukota dunia New York segala suku bangsa hidup dengan adat dan budayanya masing-masing dan lumrah mereka membangun komunitas dengan permukimannya. Orang Negro, Spanyol, Irlandia, China, Meksiko, atau orang Bugis Makassar. Sebagai kota melting pot yang mempertemukan dan melebur keragaman budaya, orang Bugis Makassar juga tak menghilangkan tradisi sebagaimana di kampung halamannya yang ribuan kilometer jauhnya dari kota kiblat mode ini.
Bagi orang Sulawesi Selatan yang sudah menetap di New York, kelaziman menyiapkan kuliner seperti coto, burasa, ikan bakar pada hari raya Lebaran adalah hal yang niscaya.
Pekan ini, misalnya nama pasangan pengantin Muhammad Khadafi Bakrie-Flouriza Nabila Yosh, viral dan trending topic asal Indonesia di hampir semua media sosial, termasuk di media cetak, terutama di kawasan Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Selatan karena sang pengantin pria, Khadafi Bakrie, kelahiran Makassar, ibunya berasal dari Wajo dan ayahnya dari Maros-Makassar, mengenakan busana pengantin Bugis-Makassar.
Tokoh utama di belakang layar dari kesuksesan pagelaran pernikahan Bakrie-Flouriza di Arthur Street, Baldwin, New York itu bernama Sitti Fatimah Paddai, ibu kandung Bakrie, pengantin pria. Sangat menarik untuk ditelisik dan dikenal profil Indo-Botting ini.
Sitti Fatimah mengaku lahir di Wajo, 19 April 1958, bersuamikan Bapak Muhammad Bakrie Daeng Ngawing, dan memiliki lima anak, dan Khadafi Bakrie adalah anak bungsunya yang sudah lebih 10 tahun tinggal di kota New York. Bakrie, alumni SMA 1 Makassar, awalnya berangkat sekolah dan kini bekerja di sebuah perusahaan bidang Informasi dan Teknologi (IT) di kawasan Manhattan, New York.
Sitti Fatimah telah lama menyiapkan diri dan berbagai perlengkapan atau aksesoris adat Bugis-Makassar untuk akad nikah dan resepsi putra bungsunya di New York.
“Setelah ada kepastian bahwa anak saya akan menikah di sini, Amerika, saya dan suami saya segera menyiapkan berbagai perlengkapan pernikahan anak kami. Saya memang sudah melakoni profesi ini Indo-Botting sejak tahun 1980 hingga hari ini di Indonesia, terutama di kawasan Indonesia Timur. Saya telah merias ratusan pasangan dari berbagai tingkat sosial, mulai dari keluarga tukang becak, buruh, hingga anak pejabat,” kata Fatimah.
Ia juga dipercaya menjadi ketua asosiasi yang membina penata rambut (salon) dan perias pengantin dan berbicara di beberapa tempat sebagai Indo-Botting yang memahami warisan adat Sulawesi Selatan.
Fatimah berharap warisan budaya seperti adat pengantin Bugis-Makassar terus dijaga dan dilestarikan. “Saya siap berbagi pengalaman dan berharap warisan adat kita terus dijaga dan diperkenalkan di tingkat internasional seperti di Amerika ini,” harap Fatimah.
Di buku Paspor Fatimah, tercetak beberapa negara yang telah dikunjunginya, selain sebagai turis juga merias pengantin, seperti di Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, Australia, Hongkong, dan Amerika. Karena itu, tidak berlebihan jika Sitti Fatimah diberi gelar “Indo-Botting yang go (tembus) Internasional,” yang telah berjasa memperkenalkan budaya dan adat Bugis-Makassar di beberapa negara, teakhir di New York, Amerika.
Kita patut mengenal lebih dekat dan berterima kasih kepada Ibu Sitti Fatimah.
(M. Saleh Mude)