PINISI.co.id- Sekiranya muncul kekacauan maka orang Bugis Makassar, Mandar dan Toraja akan tampil di depan untuk menangani pelbagai permasalahan dan kekisruhan seperti yang pernah dialami bangsa Indonesia dalam periode sejarah.
Hal itu diandaikan Prof Hafid Abbas dalam peluncuran buku BARANI, Hidup dengan Martabat, Mati dalam Gairah karya Alif we Onggang di resto Padaidi, Jakarta, Sabtu (19/10).
Hafid mengambil contoh transisi kepemimpinan dari Orde Baru ke Orde Reformasi di mana BJ Habibie berikut sejumlah menterinya dari Sulawesi Selatan mengemban tugas-tugas strategis, yang dalam buku ini disebut to-warani adalah rialai passopo ri wanue: pemberani menjadi perisai negara.
“Buku Barani menjadi sumber inspirasi untuk menjadikan kita manusia pemberani, to macca na malempu, warani na magetteng yang bermakna pandai nan lurus, berani nan teguh,” kata mantan Ketua Komnas HAM ini.
Dibuka oleh Wakil Ketua Umum KKSS Jumrana Salikki yang juga memandu acara diskusi diikuti dengan antusias lebih 100 peserta hingga siang. Peluncuran dan Diskusi buku ini digelar BPP KKSS bersama Pilar KM Bulukumba dan Pilar KKBS Soppeng.
Jumrana yang mengantar acara menggugah peserta diskusi untuk senantiasa merawat nilai-nilai yang terkandung dalam buku Barani. “Keberanian adalah daya hidup. Filosofi keberanian juga dapat diartikan menjaga siri sebagai pedoman hidup, merawat martabat dan harga diri. Buku ini punya pesan moral, jangan pernah jadi penakut dan pengecut,” kata Jumrana yang juga Ketua KM Bulukumba.
Sebelum diskusi, penyair Aspar Paturusi membacakan sajaknya dengan spirit menyala, menggelegak dan mengundang aplaus hadirin. Dengan puisi “Suara Negeri Pergolakan” Aspar memotret kondisi kekinian negeri.
Sementara bahasan Prof Mashadi Said menyoroti dengan rinci isi buku ini. Pakar bidang bahasa dan budaya ini menguraikan bahwa keberanian merupakan nilai inti yang membentuk identitas dan budaya masyarakat Bugis Makassar. Buku ini mengisahkan perjalanan keberanian dari zaman ke zaman, menekankan bahwa keberanian bukan hanya tindakan fisik dalam pertempuran, tetapi juga mencakup keberanian moral, sosial, dan politik.
“Buku ini menggarisbawahi bahwa keberanian adalah keutamaan yang perlu dimiliki oleh individu dan masyarakat. Keberanian dipandang sebagai syarat untuk mencapai martabat dan kehormatan, baik dalam konteks pribadi maupun kolektif,” jelas Mashadi Said.
Dikatakan, melalui narasi sejarah dan epik, buku ini memperlihatkan bagaimana tradisi dan kisah-kisah heroik membentuk pandangan masyarakat Bugis Makassar tentang keberanian. Ini menciptakan rasa kebanggaan dan identitas yang kuat bagi generasi yang lebih muda.
Buku Barani mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana nilai-nilai keberanian tetap relevan dalam menghadapi tantangan masa kini, termasuk dalam konteks politik dan sosial.
Simpulnya, kata Mashadi, Buku ini tidak hanya menceritakan sejarah, tetapi juga berfungsi sebagai sumber inspirasi bagi pembaca untuk menerapkan nilai keberanian dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Antara lain yang hadir Sekjen BPP KKSS Abdul Karim, Wakil Ketua Umum Muslimin Mawi dan Ilham Noer Putri, Wakil Dewan Pembina Andi Jamaro Dulung serta sejumlah elemen warga KKSS lainnya.
Karya Alif we Onggang ini merupakan buku keempat yang dirilis ke publik. Sebelumnya pada 1998 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah meluncurkan buku Tentang Sejumlah Orang Sulawesi Selatan di Jakarta, kemudian buku Saudagar Bugis Makassar di acara PSBM di Makassar tahun 2009 dan buku Lopa yang Tak Terlupa diluncurkan di Gedung MPR RI pada 2019 lalu dan dibahas oleh sejumlah akademisi antara lain Prof Andi Hamzah dan Prof Muhammad Amri (Fen)