PINISI.co.id- Diskusi Reboan seri ke-41 ini, diadakan di Ruang Sidang Kartika PTUN Bandung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung menggelar Diskusi Reboan seri ke-41 dengan Tema ‘Perkembangan Hukum Acara Peradilan TUN dalam Perkara Fiktif Negatif, Fiktif Positif, dan Tindakan Faktual Berupa Omisi, pada Rabu (15/01/2025).
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung menggelar Diskusi Reboan seri ke-41 dengan Tema ‘Perkembangan Hukum Acara Peradilan TUN dalam Perkara Fiktif Negatif, Fiktif Positif, dan Tindakan Faktual Berupa Omisi, pada Rabu (15/01/2025).
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, menggelar Diskusi Reboan seri ke-41 dengan Tema ‘Perkembangan Hukum Acara Peradilan TUN dalam Perkara Fiktif Negatif, Fiktif Positif, dan Tindakan Faktual Berupa Omisi’, pada Rabu (15/01/2025).
Diskusi Reboan seri ke-41 ini, diadakan di Ruang Sidang Kartika PTUN Bandung yang dihadiri Ketua Muda Tata Usaha Mahkamah Agung RI Prof. Dr. Yulius, S.H.,M.H.; Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Marsekal Muda Yuwono Agung Nugroho, S.H.,M.H.; Direktur Bingganis TUN Dr. Hari Sugiharto, S.H.,M.H.; dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Dr. Bambang Heriyanto, S.H., M.H.
Para Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan TUN di wilayah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta juga mengikuti kegiatan ini, yakni Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung H. Husban, S.H.,M.H.; Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Oenoen Pratiwi, S.H.,M.H.; Kepala Pengadilan Militer II-09 Bandung Kolonel Kum Dahlan Suherlan, S.H.,M.H.; dan Wakil Ketua PTUN Bandung Dr. Hari Hartomo Setyo Nugroho, S.H.,M.H.
Diskusi ini juga diikuti melalui zoom meeting (daring) oleh seluruh satuan kerja Pengadilan Tinggi TUN dan Pengadilan TUN se-Indonesia serta Hakim Yustisial Kamar TUN pada Mahkamah Agung, dengan membahas isu terbaru mengenai aktif kembalinya Lembaga Fiktif Negatif dalam sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.
Konsep “fiktif positif” dan “fiktif negatif” pernah menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perubahan ini, seiring dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam konsep ini, jika suatu lembaga pemerintah tidak memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan masyarakat, maka secara hukum dianggap telah memberikan keputusan secara tersirat, baik berupa penolakan (fiktif negatif) maupun penerimaan (fiktif positif). Sehingga, hal ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Dengan dihapuskannya kedua konsep tersebut, masyarakat yang permohonannya tidak direspons oleh lembaga pemerintahan, kini menghadapi ketidakpastian hukum. Mereka, tidak dapat secara otomatis menganggap permohonan mereka ditolak atau diterima sehingga menimbulkan kekosongan hukum.
Ketua Muda Tata Usaha Mahkamah Agung RI Prof. Dr. Yulius, selaku keynote speaker dalam sambutannya, mengatakan, hakim terlalu fokus kepada kapasitas keilmuan. Padahal, hakim yang baik, tidak cukup hanya orang yang pintar. Akan tetapi, juga perlu memiliki pembinaan dan keparipurnaan akhlak budi pekerti yang luhur. Hakim yang biasa saja tetapi berbudi pekerti luhur, mungkin lebih diharapkan dalam memutus permasalahan orang (Perkara),
Lebih lanjut Prof Yulius berpandangan, dalam memutus perkara, Hakim TUN bukan hanya berdasarkan pada apa yang tertulis, tetapi juga menyelesaikan makna setiap perkara.
Untuk itu, hakim diminta untuk menyelam lebih jauh ke belakang untuk mencari apa yang dicari setiap orang. Di mana, yang dicari orang bukan sekedar “uang” tetapi makna ada ketidakadilan.
Sehingga, ketika orang meninggalkan halaman pengadilan, mereka telah mendapatkan dan membawa pulang apa yang dicari dengan wajah yang tercerahkan. Dan itu, dianggapnya sebagai tingkat keberhasilan dalam memutus sengketa TUN, karena pengadilan TUN bukan sekedar menyelesaikan secara formalitas.
Prof Yulius bahkan sempat mengilustrasikan kalau hakim ibarat seorang bapak, sedangkan penggugat dan tergugat adalah anak. Sehingga, setiap permasalahan harus diselesaikan di atas landasan kasih sayang. Apalagi, tidak ada pertempuran yang kontradiktif di pengadilan TUN seperti di perdata. Makanya, tidak ada eksekusi yang sifatnya riil.
Sehingga, kalau ada pertanyaan mengapa putusan TUN tidak dieksekusi riil, sebenarnya itu tersebut merupakan pertanyaan orang yang tidak mengerti. Karena, yang ada pada putusan ini adalah kesadaran hukum untuk melaksanakan aturan hukum yang bentuknya konkret dan individual.
Ketika hukum berbentuk buku peraturan perundang-undangan maka akan menjadi abstrak dan umum. Kemudian, pada saat ditransfer ke dalam putusan peradilan TUN, maka bentuknya berubah menjadi konkret dan individual, dan menyelesaikan masalah secara individual.
“Ketika di dalam buku peraturan perundang-undangan, ia menyelesaikan masalah secara prediksi oleh legislator. Ini tidak selalu pas prediksi. Karena hukum dalam buku tersebut bersifat kontekstual. Sementara aspirasi terhadap keadilan berkembang terus. Ibaratnya, pada saat saya haus, air setengah gelas meski air putih sangat mahal harganya. Namun, pada saat saya kenyang dan tidak haus, menjadi tidak ada harganya. Oleh karena itu, aspirasi keadilan, kita berikan harus pada saat yang tepat dan pada saat dibutuhkan,” ujar Prof Yulius.
Di akhir sambutannya, Prof Yulius berharap agar hakim dapat meningkatkan kapasitasnya. Apalagi, upaya pemerintah melayani masyarakat, merupakan perintah konstitusi. Hakim harus memberikan tafsir yang pas terhadap permasalahan hukum dan bukan yang diinginkan pejabat pemerintah. Oleh karena itulah, memerlukan energi lebih untuk menyelesaikan masalah dalam perkara dan jangan terjebak rutinitas semata.
Sementara, narasumber terkait tema diskusi Reboan, Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara, Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H.,M.H., menjelaskan, tidak diterapkannya ‘fiktif negatif’ dan ‘fiktif positif’’, sebenarnya menimbulkan kekosongan hukum. Hal itu menyebabkan banyak terjadinya penyelundupan hukum dengan menggunakan jalur sengketa tindakan faktual terhadap perkara-perkara yang sebenarnya adalah perkara fiktif negatif/fiktif positif.
Dr. H. Yodi mengungkapkan, dasar hukum tindakan faktual ini adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
“Akan tetapi, mengenai tindakan faktual pada praktiknya masih banyak penyimpangan,” ujar Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H.,M.H.
Sengketa tindakan faktual ini, paling sering digunakan oleh para pihak terhadap perkara-perkara menyangkut Minerba One Data Indonesia (MODI). MODI merupakan sebuah aplikasi berbasis website yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Mineral Batubara untuk membantu mengelola data Perusahaan Mineral dan Batubara di Indonesia berkaitan dengan pemindahan perizinan Minerba dari daerah ke pusat.
Terkait itu, Dr. Yodi Martono menjelaskan, tindakan pemerintah secara garis besar terdapat tiga bentuk. Yakni: membuat peraturan, tindakan faktual (aktif dan pasif), dan tindakan hukum (publik dan perdata).
“Tindakan pembuatan peraturan itu kewenangan MA dalam hal uji materiil. Tindakan faktual ini pada dasarnya tidak mempunyai akibat hukum seperti pembuatan jalan dan rambu lalu lintas. Sedangkan tindakan hukum bertujuan menimbulkan akibat hukum berupa hak atau kewajiban,” kata Yang Mulia (YM) Yodi Martono.
Dia juga menjelaskan lebih lanjut kalau banyak perkara (dalam MODI) yang menjadi objek, sebenarnya bukanlah tindakan faktual, namun Keputusan Tata Usaha Negara.
”Itu banyak penyelundupan hukum yang pada dasarnya bukan tindakan faktual karena ada KTUN-nya. Sehingga, tindakan faktual tidak sesuai peruntukannya, baik dari segi norma maupun konsep,” ucap dia.
Sehingga, menindaklanjuti ‘fiktif negatif’ sebagai tindakan faktual merupakan sebuah kekeliruan. Hal itu dikarenakan parameternya sangat jelas.
“Jika ujungnya berkaitan dengan KTUN, harus mengakibatkan akibat hukum, sementara TF itu tidak menimbulkan akibat hukum. Sampai di sini, sangat jelas bahwa perkara-perkara MODI sebenarnya merupakan perkara yang harus diselesaikan melalui lembaga fiktif negatif,” papar dia.
Atas dasar hal itulah, Mahkamah Agung mengambil sikap untuk mengaktifkan kembali ‘fiktif negatif’ dengan menerbitkan SEMA Nomor 2 Tahun 2024. Agar, tidak lagi terjadi penyimpangan pada penerapan sengketa tindakan faktual, terutama dalam perkara-perkara MODI.
SEMA Nomor 2 Tahun 2024 ini, mengatur sikap diam badan/pejabat tata usaha negara yang tidak memasukan atau mengabulkan permohonan penggugat dalam daftar MODI, tidak dapat dipandang sebagai tindakan faktual yang bersifat omisi, melainkan merupakan tindakan menolak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (UU Peratun).
Atas dasar SEMA 2/2024 itulah, ‘fiktif negatif aktif kembali’ di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Yodi Martono, kemudian menjelaskan rambu-rambu terkait penerapan fiktif negatif dalam perkara-perkara menyangkut MODI.
“Ketika ada permohonan (gugatan) menyangkut MODI, maka harus ada data/dasar penolakannya. Sehingga saat di persidangan akan lebih mudah pemeriksaannya. Jika memang sudah jelas persyaratan-persyaratan yang telah dipenuhi atau masih ada data kekurangan,” ujar Dr. Yodi Martono.
Dr. Yodi Martono juga mengingatkan, agar dalam memeriksa sengketa, majelis hakim harus memastikan syarat-syarat yang harus terpenuhi termasuk kewajiban pajak maupun lingkungannya.
“Ada beberapa persyaratan, meliputi persyaratan administrasi, kriteria kewilayahan, teknis, lingkungan, dan finansial. Hakim harus menceklis apa yang sudah dipenuhi dan apa kekurangannya. Jangan sampai putusan hakim itu belum memiliki pertimbangan yang cukup sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan,” kata YM Yodi Martono.
Dinamika Fiktif Negatif dan Fiktif Positif
Konsep ‘fiktif negatif’; muncul dalam UU Peratun. Pasal 3 UU Peratun merupakan dasar hukum ‘fiktif negatif’. Di mana diatur Badan/Pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya, maka disamakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa menolak mengeluarkan keputusan dan dapat digugat ke PTUN. Dan upaya hukum tahapannya dapat melalui proses banding sampai dengan kasasi.
Penerapan ‘fiktif negatif’ kemudian berubah menjadi ‘fiktif positif’, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan (Perma 8/2017).
Berbeda dengan ‘fiktif negatif’, ‘fiktif positif’ dalam UUAP mengatur Badan/Pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya maka disamakan sebagai KTUN berupa menerima mengeluarkan keputusan. Hal ini dapat digugat ke PTUN dan putusannya bersifat in kracht.
Namun, penerapan ‘fiktif positif’ di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara memudar setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) diikuti SEMA Nomor 5 Tahun 2021 (SEMA 5/2021) yang menyatakan lembaga ‘fiktif positif’ tidak lagi menjadi kewenangan PTUN setelah diundangkannya UUCK. Dan era SEMA Nomor 2 TAhun 2024 dipandang sebagai wujud aktivasi kembali penerapan ‘fiktif negatif’. (Syam)