KolomĀ Ruslan Ismail Mage
Siapa tidak mengenal sang nelayan tangguh pemberani nan cerdas bernama Kholid. Hampir setiap waktu menghiasi ruang publik dan sosial media menyuarakan perlawanannya terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat khususnya nelayan. Dia bukan bintang, tetapi popularitasnya menenggelamkan artis, pejabat, bahkan presiden sekalipun. Dia bukan olahragawan, tetapi ketangguhan fisiknya tak tergoyahkan menghadapi centeng-centeng rupiah korporasi.
Sesungguhnya popularitasnya bukan karena keberaniannya melawan oligarki, atau karena sudah mati rasa takutnya memperjuangkan keadilan, tetapi karena ia menampar berkali-kali kesadaran kita. Begitulah Kholid telah menampar sikap diam mahasiswa, menampar kelesuan aktivis, menampar ketidakpedulian pejabat, menampar ketidakpekaan kampus, menampar apatisme kaum terdidik, menampar keletihan demonstran. Bahkan menampar absennya negara melaksanakan kewajiban melindungi nelayan sesuai UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Akibat tamparan Kholid itu, publik tersadarkan melihat keberaniannya, memperhatikan narasinya, mengomentari wawasannya, mengikuti pergerakannya, mendukung langkahnya, dan mengapresiasi perjuangannya. Seorang sahabat akademisi dan penulis buku-buku politik dan kepemimpinan mengirim pesan WhatsApp, “Merasa malu dan tertampar sosok Kholid yang tidak pernah lelah memperjuangkan keadilan bagi rakyat”. Menurutnya Kholid dan seluruh nelayan, bukan hanya setiap saat mempertaruhkan nyawanya melawan gelombang untuk menyiapkan kebutuhan ikan, tetapi juga membayar gaji kita lewat pajak, tetapi abai dengan nasib nelayan selama ini.
Tidak salah kalau mahasiswa, aktivis, kaum terdidik, kaum pergerakan, pihak kampus, penegak hukum, pejabat, atau profesi apa pun namanya, bahkan negara sekalipun selayaknya merasa malu kepada Kholid. Malu karena Kholid seorang diri telah mengambil alih kecerdasan mahasiswa, keberanian aktivis, semangat demonstran, tugas pejabat, krtisime kaum terdidik, dan kepedulian kampus. Kalau ada provesi yang tidak tertampar dan tidak malu sama Kholid berarti sudah mati nuraninya. Terimakasih Kholid telah menamparku berkali-kali untuk tidak membisu memilih jalan sunyi. Pedang penaku akan selalu menyertai perjuangannya melawan ketidakadilan di negeri ini.
Penulis l, Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan