Kolom Hafid Abbas
Sungguh satu pengalaman berharga dan berkesan ketika berada di Sofia, 10-11 Maret 2016, kami bertiga, Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu, Hermien Y. Kleden (Pemimpin Redaksi Tempo versi Bahasa Inggeris) dan saya memenuhi undangan UNESCO yang menyelenggaarakan Konferensi Internasional yang bertemakan Which Values Unite Us Today. Konferensi ini didukung oleh Public Policy Institute, Bulgaria, Geneva Spiritual Appeal, dan Sofia University dan dibuka oleh Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Bulgaria.
Seusai pembukaan, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Rossen Plevneliev, President of the Republic of Bulgaria, Tsetska Tsacheva, President of the National Assembly, Bulgaria, William McComish, Hon. President, Geneva Spiritual Appeal, Switzerland, Anastas Gerdjikov, Rector of Sofia University, dan Jose Ramos-Horta, Nobel Peace Prize 1996, mantan Presiden dan Perdana Menteri Timor Leste. Mereka sebagian menyampaikan sambutannya melalui video message.
Seusai acara seremonial itu, Anies Baswedan menyampaikan pidato kunci tentang kebhinekaan Indonesia dari segi bahasa, etnik, adat istiadat dan kebudayaan, namun menyatu menjadi satu bangsa dengan moto “Bhinneka Tunggal Ika.” Masyarakat internasional dapat menyaksikan betapa Indonesia yang memiliki lebih 300 bahasa dan dialek yang berbeda, namun bersepakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sejak 1928. Bahasa yang dipilih justru bukan bahasa yang paling banyak digunakan, melainkan diambil dari lingua franca Melayu yang menumbuhkan rasa bahasa yang egaliter.
Presentasi Anies tentang pengalaman spesifik Indonesia yang menyatu menjadi satu harmoni dalam kebhinekaan sebagai bangsa besar mendapat apresiasi dan respon luar biasa dari seluruh negara peserta yang mewakili hampir semua belahan dunia. Bahkan, Indonesia telah menginisiasi penyatuan semangat Asia dan Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika pada 1955 yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok. Pengalaman Indonesia menyatukan dirinya sendiri dan menyatukan Asia dan Afrika dengan Dasasila Bandung, dinilai penting oleh seluruh negara peserta karena pada saat itu, masyarakat internasional dihadapkan pada dua peristiwa bersejarah yang hampir bertepatan (historic co-incident) yakni: proses pemilihan Sekjen PBB baru yang akan menggantikan Ban Kin-moom yang masa kepemimpinannya akan berakhir pada 31 Des. 2016; dan, proses pemilihan presiden baru AS yang akan menggantikan Presiden Barack Obama yang priodenya akan berakhir pada 8 Nov. 2016.
Kehadiran Anies sebagai pembicara kunci di konferensi internasional UNESCO itu tentu bukan tanpa alasan. Kelihatannya, alasannya adalah Anies dinilai oleh UNESCO sebagai seorang Menteri Pendidikan terbaik dan termasuk satu di antara 20 Tokoh Internasional yang paling berpengaruh di dunia pada 20 tahun mendatang menurut Foresight Magazine, Tokyo (2015), disejajarkan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Hugo Chavez (Venezuela), David Miliband (UK), dan Rahul Ghandi (India) dan Ryan (member of US House of Representative), dst. Bahkan, sebelumnya, Anies juga tercatat di the US Magazine Foreign Policy sebagai satu di antara “100 Public Intellectuals” paling berpengaruh di dunia (2008). Juga World Economic Forum mencatat Anies sebagai Young Global Leaders (2009).
Pertanyaan berikutnya, mengapa pula konferensi ini diselenggarakan di Sofia dengan menghadirkan sejumlah tokoh internasional yang berpengaruh. Ternyata, logikanya, sederhana karena pada saat itu, Bokova sebagai Dirjen UNESCO telah dinominasikan oleh negaranya, Bulgaria, sebagai calon Sekjen PBB. Kebetulan tradisi pergantian Sekjen PBB setelah representasi Asia adalah Eropa.
Pertemuan di Sofia sesungguhnya adalah bagian dari strategi memobilisasi dukungan internasional bagi pemenangan Bokova sebagai calon kuat Sekjen PBB.
Jika Bokova terpilih, harapannya, Anies adalah salah seorang calon kuat yang dapat menggantikan posisinya sebagai Dirjen UNESCO. Alasannya cukup kuat, Anies dinilai sebagai tokoh intelektual yang cukup berpengaruh di dunia. Apalagi, di kala itu, hampir semua posisi penting di PBB, Indonesia dinilai sebagai negara under represented.
Berbagi Pengalaman
Meski Anies sudah meninggalkan acara konferensi karena berbagai agenda internasional lainnya sebelum ia balik ke tanah air, Hermien dan saya masih tetap mengikuti seluruh rangkaian acara konferensi hingga selesai. Kami berdua sesuai agenda konferensi tampil pada sesi yang berbeda.
Hermien sebagai wartawan senior Tempo membawakan topik Challanges in Indonesia: An Investigative Report Overview. Menurut Hermien, salah satu cara perlawanan Tempo terhadap penguasa yang represif di Era Orde Baru adalah melakukan demiliterisasi dan debirokratisasi bahasa. Hermien mengungkapkan bahwa Tempo sebagai mendia independen mendukung kepemimpinan sipil dengan misalnya, melalui laporan-laporan khusus Tempo tentang kinerja para kepala daerah terbaik, atau penegak hukum terbaik.
Setelah melewati alam otoritarian dan sentralisasi kekuasaan selama lebih tiga dekade, di penghujung abad ke-20, Indonesia memilih jalan demokrasi, dan di kala itu Indonesia dinilai sebagai salah satu negara dengan kebebasan medianya terbaik di dunia.
Selanjutnya, pada panel terakhir, Jumat 11 Maret, saya bersama Jeffrey Newman, seorang rabi reformis dari London dan Michael Veuthey, dari International Institute of Humanitarian Law, Jenewa, tampil dengan satu tema besar yang sama yakni: Freedom and Security.
Sebagai mantan Dirjen HAM, dan Ketua Komnas HAM RI ke-8 dengan rentang pengabdian di bidang HAM selama hampir dua dekade, masyarakat internasional kelihatannya ingin mengetahui bagaimana proses pemajuan HAM di Indonesia. Bagi dunia barat, mereka terobsesi dengan padangan Samuel Huntington dalam bukunya: “The Clash of Civilization (1996)” yang menyatakan bahwa HAM tidak bisa maju di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim. Apalagi, Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia.
Pandangan Huntington tersebut ternyata terbantahkan atas kenyataan di Indonesia yang di kala itu dinilai berhasil memajukan HAM-nya dan bahkan dinilai sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia.
Huntington tentu tidak menduga jika ketika Reformasi 1998, Indonesia telah memilih jalan demokrasi, melakukan desentralisasi kekuasaan dan mendorong keterbukaan dan kebebasan media, ternyata nilai-nilai HAM tumbuh di atas pelataran itu. Melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM yang dipersiapkan oleh Ditjen HAM yang saya pimpin ternyata dapat memandu Indonesia memajukan HAM-nya dengan fokus utamanya: penguatan kelembagaan HAM di pusat dan daerah; meratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional yang dinilai sesuai dengan kepentingan Indonesia; pendidikan dan pelatihan HAM; pemenuhan norma dan standar HAM; dan, pemantauan pelaksanaan RANHAM. Melalui agenda rencana lima tahunan itu, terdapat 122 agenda nyata yang pelaksanaannya menyebar di semua kementerian dan lembaga di pusat dan daerah.
Dengan perubahan-perubahan besar di awal reformasi, dengan pertumbuhan ekonomi minus 14-15 persen, banyak kalangan meramalkan jika Indonesia akan bubar seperti halnya Uni Soviet yang pecah menjadi 15 keping-keping negara baru (1991) dan Yugoslavia pecah menjadi tujuh negara (1992). Ternyata prediksi itu semua meleset, dan bahkan sebaliknya, Bank Dunia mencatat: “No country in recent history, let alone one the size of Indonesia, has ever suffered such a dramatic reversal of fortune”.
Saya patut bersyukur dapat menjadi bagian yang mengawal dan memimpin upaya pemajuan HAM itu. Mengutip satu kalimat di publikasi Connecticut University, AS, (23 Oct. 2006) ketika saya diundang memberikan kuliah umum di universitas itu untuk berbagai pengalaman bagaimana memajukan HAM di Indonesia: “Hafid is the architect of one of the most extensive education action plan in human rights anywhere in the world.”
Dua tahun setelah itu, pada 30 Mei 2008, Hartford International University menganugerahi saya Doktor Kehormatan di bidang HAM dan Perdamaian Internasional.
Terakhir, kebetulan saya di sesi terakhir, saya dapat menangkap harapan para tokoh international yang hadir di konferensi ini. Mereka mendambakan agar kelak Irina Bokova akan terpilih menjadi Sekjen PBB dan Hillary Clinton juga akan terpilih menjadi Presiden AS, dua tokoh wanita terkemuka dunia akan membawa harapan baru bagi masa depan dunia yang lebih adil, damai dan makmur. Semoga Anies dapat pula memimpin UNESCO yang akan menggantikan Bokova sebagai Dirjen UNESCO, dan pada waktunya kelak Anies pun dapat terpilih sebagai Sekjen PBB.
Penulis, Professor Tamu pada Tsai Lecture Series, Asia Center, Harvard University (2006)