Serangan Nine Eleven yang mengguncang Dunia (Bagian 9 )
Kolom Imam Shamsi Ali
Malam itu sejujurnya saya agak gelisah. Selain karena pilihan ayat-ayat yang telah ditentukan itu saya harus siapkan, dan tentunya menghafalnya dengan baik. Juga karena saya ingin memastikan jika bacaan Al-Quran saya nantinya dibacakan sebagus mungkin. Tentu benar secara Makhraj dan Tajwid, juga pilihan langgam (lagu) yang sesuai dengan keadaan. Harapannya bacaan saya dapat menyentuh relung kalbu pendengarnya.
Beberapa kali saya terbangun di malam itu untuk sekedar mengulang-ulangi bacaan itu. Saya tidak ingin mengecewakan pendengar. Tapi lebih penting lagi, dalam perhelatan besar itu saya harus menampilkan Islam dengan penampilan terbaik. Saya ingin melalui bacaan saya orang dapat merasakan bahwa Islam itu indah dan tidak menakutkan.
Saya juga memastikan bahwa wanita yang mendampingi saya dapat menyampaikan terjemahan ayat-ayat itu secara benar dan profesional. Dan Karenanya malam itu kami berkali-kali telponan untuk memastikan bacaan dan terjemahan sesuai dengan pesan-pesan yang kita sampaikan.
Keesokan harinya, bahkan sebelum masuk waktu subuh saya telah terbangun lagi untuk mengulangi ayat-ayat yang akan saya bacakan. Bahkan ketika sholat subuh saya sengaja memilih ayat-ayat itu untuk menjadi bacaan sholat saya.
Acara di Yankee Stadium itu sebenarnya di dijadwalkan pada jam 4 sore itu. Tapi kami diharapkan telah tiba di lokasi minimal satu jam sebelum acara dimulai.
Jika selama ini beberapa acara yang saya pernah hadiri tanpa ditemani oleh siapapun. Tapi kali ini sengaja saya meminta isteri dan beberapa jamaah masjid Al-Hikmah untuk hadir. Karena memang bersifat umum dan diharapkan lapangan dapat terpenuhi. Maka dengan dibantu oleh isteri, beberapa jamaah masjid Al-Hikmah kami undang hadir. Tapi kami tidak akan berangkat bersama-sama ke Yankee Stadium.
Saya meninggalkan rumah lebih awal. Karena saya diharapkan hadir di masjid Malcom X ketika sholat Zhuhur. Lalu dari sana saya bersama dengan Imam E Pasha menuju Yankee Stadium yang terletak di bagian Bronx kota New York.
Sekitar jam 3 kami meninggalkan masjid Malcom X. Walaupun Yankee stadium tidak jauh dari masjid Malcom di Harlem, rupanya acara itu memang dihadiri oleh banyak manusia. Sehingga Perjalanan dari Malcom X ke stadium Yankee memakan waktu hampir satu jam.
Sesampai di lapangan Yankee kami diarahkan ke sebuah ruangan yang cukup luas. Dalam ruangan itu telah banyak tokoh-tokoh agama, pejabat dan juga pengamanan (tentara dan polisi). Di ruangan itu juga disediakan ragam makanan dan minuman.
Rupanya itulah yang disebut “holding room” bagi VIP dan undangan di acara Yankee itu. Mereka yang diarahkan ke ruangan itu adalah mereka yang akan duduk di panggung acara sebagai pengisi acara (speakers, singers, dan lain-lain).
Di salah satu sudut ruangan itu ada beberapa meja khusus disediakan untuk tokoh-tokoh agama. Saya ketika itu merasa agak “lonely” (sendirian). Ada perasaan asing. Mungkin karena saya sendiri orang Asia di ruangan itu. Juga saya merasa sayalah yang paling muda di antara tokoh-tokoh agama itu. Saya pun selalu berada di sekitar Imam E Pasha, yang nampaknya cukup dihormati di kalangan tokoh-tokoh agama itu.
Sambil mengambil makanan di meja makanan, saya melihat ada kursi kosong di samping kursi Imam E Pasha. Saya pun mengisi kursi kosong bagian kanan dari Imam E Pasha. Di sekitar meja itu ada 8 kursi untuk para tokoh agama. Di samping kiri Imam Pasha duduk Cardinal Egan, Pemimpin tertinggi Masyarakat Katolik di New York.
Sambil menikmati makanan yang tersedia, para tokoh agama itu saling berbincang, bahkan seringkali kedengaran gelak tawa seolah tidak ada kesedihan yang sedang menimpa New York. Saya sendiri hanya banyak tersenyum seolah paham semua percakapan itu. Padahal sejujurnya tidak semua percakapan mereka saya paham.
Entah apa di benaknya, tiba-tiba Cardinal Egan melihat ke arah Imam Pasha, sambil tertawa bertanya: “Imam, how many wives do you have?” (Berapa isteri kamu?).
Mendengar pertanyaan tokoh agama Katolik tersebut, semua yang ada di sekitar meja itu ketawa. Saya pun ikut ketawa. Tapi dalam hati saya ada perasaan ketersinggungan. Saya tersinggung karena seolah Kardinal tersebut mengolok Imam Pasha yang dianggap punya isteri banyak.
Saya teringat jika salah satu tuduhan dunia Barat kepada Islam adalah bahwa Islam itu diskriminatif terhadap wanita. Dan salah satu bentuk diskriminasi itu adalah para lelaki Muslim selalu punya isteri yang banyak atau poligami.
Imam Pasha sendiri nampak tenang saja. Bahkan ikut ketawa mendengarkan pertanyaan itu. Mungkin beliau terbiasa dengan candaan seperti itu. Atau boleh saja karena beliau lebih dewasa dalam menyikapi candaan atau kritikan seperti itu.
Saya justeru tidak bisa menahan diri. Maka saya melihat ke Cardinal
Egan dan menyampaikan pertanyaan yang saya kira juga cukup menohok.
“Cardinal, How many children do you have?”, tanya saya.
Saya tahu jika Pendeta Katolik itu tidak menikah. Tapi sesungguhnya saya ingin membalikkan pertanyaan yang sama ketika sang Kardinal menanyakan poligami ke Imam Pasha tadi. Biar beliau tahu bahwa sebuah candaan itu justeru bisa jadi sensitif.
Mendengar pertanyaan saya, semua di meja itu menengok ke saya. Ada yang tertawa. Ada yang hanya tersenyum. Tapi ada juga yang serius melihat saya. Saya berusaha menampakkan wajah yang seolah-seolah memang tidak tahu.
Cardinal Egan sendiri hanya tersenyum. Tapi nampaknya beliau memang merasa jika saya hanya seorang anak muda yang memang tidak tahu banyak tentang agama Katolik. Saya ketika itu masih sekitaran 30-an. Apalagi dengan wajah Asia, tentu nampak lebih muda lagi dari umur yang sesungguhnya.
Tiba-tiba Cardinal Egan menepuk pundak saya dan berkata: “We Catholic Priest do not marry” (Kita pendeta Katolik tidak menikah).
Dalam hati saya berkata: “saya tahu itu. Tapi jangan-jangan ada simpanan yang tidak dinikahi”.
Tentu itu pemikiran negatif. Tapi saya ketika itu memang tersinggung dengan beliau. Bahwa beliau di hadapan banyak orang, bahkan tokoh-tokoh agama, seolah menuduh orang Islam itu tukang kawin.
Saya kemudian kembali bertanya. Tapi kali ini dengan mimik wajah saya yang cukup serius: “why don’t you marry Sir?” (Kenapa tuan tidak menikah?).
Cardinal Egan rupanya serius dengan dialog itu dan merespon: “we are imitating Jesus” (Kita meniru Yesus).
Saya kembali bersuara. Tapi kali ini betul-betul serius dan siap menerima (kemungkinan) respon yang kurang nyaman. “Sir, how it is possible to imitate Jesus? Isn’t it Jesus is Lord?” (Bukankah mustahil untuk meniru Yesus? Bukankah Yesus itu adalah tuhan?).
Mendengar itu Cardinal Egan cepat mengelak, lalu merubah jawabannya: “It is a part of our sacrifices” (itu bagian dari pengorbanan kita”.
Saya tidak ingin menimbulkan asumsi jika saya menghina orang lain. Dan karenanya saya meminta maaf. Bahkan menyampaikan jika saya ini adalah “student of religions” (mempelajari agama-agama).
Saya kembali mengambil segelas kopi susu. Lalu kembali di duk di kursi saya. Kali ini dengan suara yang sesopan mungkin saya kembali bersuara.
“Sir, why this sacrifice is? If you, as a person of faith can have children, imagine how great those children are” (Kenapa harus berkorban? Bayangkan kalau anda sebagai orang beragama bisa punya anak, sungguh anak-anak itu pasti hebat”.
Saya ingin mengatakan bahwa kalau saja pendeta Katolik itu punya anak, pastinya anak-anak mereka akan menjadi anak Katolik yang hebat. Karena harapannya memang dari ayah yang hebatlah terlahir anak-anak yang hebat.
Mendengar pernyataan saya di atas nampak Cardinal Egan diam. Beliau sebenarnya memang pendiam. Beda dengan Pemimpin Katolik New York saat ini, Cardinal Dolan, yang sangat humoris.
Tiba-tiba saja ada pengumuman bahwa semua tamu VIP diharapkan segera memasuki lapangan Yankee. Kita pun berbaris. Paling depan ada militer dan Kepolisian New York (NYPD). Lalu para pejabat, diikuti tokoh agama dan beberapa artis atau penyanyi terkenal.
Di antara pejabat itu mantan Presiden Bill Clinton dan isterinya Senator Hillary Clinton, Gubernur Pataki, Walikota New York Rudy Giuliani, Senator Schumer, dan beberapa anggota Kongress dari negara bagian New York.
Sekali lagi ketika berjalan memasuki lapangan itu perasaan saya menjadi tidak menentu. Hati saya tiba-tiba berdebar melihat keramaian yang luar biasa itu. Mereka pada melambaikan benderà Amerika. Sesekali didengar teriakan “USA, USA, USA…live Amerika”….
Saya menengok ke arah keramaian, mencoba mencari di mana gerangan tempat duduk jamaah masjid Al-Hikmah yang hadir di lapangan Yankee. Saya ingin melihat mereka untuk mendapatkan dukungan moral. Tiba-tiba dari kejauhan saya melihat beberapa wanita dengan pakaian warna warni. Dan benar. Mereka adalah segelintir jamaah masjid Al-Hikmah yang hadir di lapangan itu.
Di depan panggung VIP berdiri anggota Militer dan polisi. Mereka lengkap dengan senjatanya. Di saat pera pejabat dan tokoh agama berlalu mereka memberikan penghormatan kepada kami.
Kami pun mengambil tempat duduk yang telah ditentukan dengan nama tertulis di
kursi masing-masing. Rupanya tempat duduk pejabat dan tokoh agama saling berhadapan. Saya sendiri duduk di garis terdepan berdampingan dengan Sr. Sabrina yang akan membacakan terjemahan.
Berselang beberapa menit setelah semua mengambil tempat duduknya, Oprah Winfrey yang sejak awal bersama kita naik podium dan menyampaikan kata-kata pembukaan acara. Saya tidak kenal betul saat itu siapa Oprah itu.
Belakangan baru saya tahu bahwa Oprah adalah salah seorang wanita Afrika Amerika yang luar biasa.
Oprah kemudian meminta semua hadirin yang jumlahnya tidak kurang dari 70-an ribu orang memadati lapangan tersebut. Tidak kalah serunya adalah bahwa semua media cetak maupun elektronik, nasional dan internasional, hadir menayangkan acara tersebut secara langsung (live).
Acara kemudian dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Amerika (National anthem) yang lebih dikenal dengan Star-Spangled Banner, dipimpin oleh tiga wanita dari angkatan bersenjata Amerika (Military).
Saya ketika itu tidak paham dan juga tidak hafal lagu itu. Tapi saya tentunya ikut bernyanyi, berusaha menggerakkan bubir sesuai suara yang saya dengarkan di sekitar saya. Hanya saja sesekali saya melihat ke orang-orang di sekitar saya. Banyak di antara mereka yang meneteskan airmata ketika menyanyikan lagi kebangsaan mereka.
Di saat itu saya sadar bahwa pada setiap bangsa itu ada darah nasionalisme yang mengalir dalam pori-porinya. Tak terkecuali tentunya bangsa Amerika.
Lalu bagaimana acara selanjutnya? Bagaimana keadaan di saat acara berlangsung? Bagaimana dengan bacaan Al-Quran saya?
Acara di Yankee Stadium ini memang ditujukan sebagai “memorial service” atau acara peringatan atas peristiwa serangan 9/11 itu. Tapi sekaligus dimaksudkan untuk mendoakan bagi para korban, keluarga dan tentunya bagi bangsa Amerika secara keseluruhan. Dan Karenanya acara ini lebih dikenal dengan “National Prayer for America” (Doa nasional untuk Amerika).
Setelah menyanyikan lagu kebangsaan Amerika (National Anthem), Oprah mengundang Walikota New York yang saat itu akan menjabat sekitar 4 bulan lagi, Mr. Rudy Giuliani. Karena memang pemilihan Walikota selanjutnya akan dilangsungkan pada bulan Nopember tahun itu. Dan pelantikan Walikota baru yang terpilih dilangsungkan biasanya bersamaan dengan acara tahun baru.
Walikota Giuliani sebenarnya adalah seorang Walikota yang bagus. Di masanyalah kota New York banyak dibersihkan dari kehidupan mafia. Daerah “Time Square” misalnya yang indah dan terkenal itu dulunya adalah daerah yang penuh mafia, narkoba dan pelacuran.
Giuliani memang dikenal keras (tough). Mungkin karena memang orangnya adalah keturunan Itali sehingga banyak mendapat dukungan mafia Itali di kota ini.
Ada satu pengalaman yang selalu saya mengenai Walikota Giuliani. Di sekitar tahun 2000-an ada kekerasan yang terjadi antara Komunitas Arab dan Yahudi di Brooklyn. Beliau kemudian mengadakan pertemuan dengan kedua komunitas Muslim dan Yahudi. Pada pertemuan itu dibentuklah Tim rekonsiliasi.
Saya yang baru di kota New York saat itu ternyata diminta juga duduk sebagai anggota tim. Kebetulan saat itu saya menjabat sebagai Ketua Parade Islam (Muslim Day Parade) sehingga dianggap memiliki kapasitas untuk jadi bagian dari Tim rekonsiliasi tersebut.
Tim terdiri dari 12 orang. 6 Yahudi dan 6 Muslim (4 di antaranya orang Arab). Hanya Saya dan Imam Bayram Mulich (Imam dari Bosnia) yang non Arab.
Suatu ketika ada pertemuan tertutup antara Waikota dan Tim tersebut. Acara ditentukan pada pukul 9:30 pagi. Semua diharuskan hadir di ruang pertemuan minimal 15 menit sebelum pukul 9:30 pagi itu.
Pas tiba jam 9:30 Walikota masuk ruang pertemuan, meminta agar pintu ditutup dan membuka pertemuan itu. Saat itu salah seorang anggota Tim terlambat datang hanya sekitar 3-5 menit. Oleh sang Walikota diminta untuk tidak usah mengikuti pertemuan dan diminta pulang saja.
Peristiwa itu menjadi pelajaran penting bagi saya pribadi, betapa waktu bagi orang Amerika begitu berarti dan dihargai. Sehingga saya pribadi banyak belajar dari peristiwa kecil itu. Bahwa jika ada janji atau jadwal harus dilakukan secara disiplin dan tepat waktu.
Kembali ke acara di lapangan Yankee. Giuliani menyampaikan pidato singkat, disusul oleh Gubernur Pataki. Sementara mantan Presiden Clinton dan Hillary maupun pejabat lainnya tidak memberikan pidato. Selebihnya diisi oleh para tokoh agama dengan doa maupun pembacaan Kitab Suci mashing-masing. Juga ada dua penyanyi Amerika terkenal yang menyanyikan beberapa lagu. Di antara mereka Ada Bette Midler dan Marc Anthony.
Oprah memanggil masing-masing Wakil agama satu per satu. Dimulai dari Katolik yang diwakili 4 orang. Tentu Cardinal Egan sebagai pimpinan tertinggi Katolik di New York memulai acara Katolik sore itu.
Pada saat giliran Islam, saya yang tadinya menyangka hanya dua orang (Imam Pasha dan saya) bertiga dengan Sabrina sebagai pembaca terjemahan Al-Quran. Ternyata di tengah acara itu Imam E Pasha meminta lagi satu tambahan Wakil Islam untuk mengisi acara. Dihadirkanlah seorang Afro Amerika, yang sebenarnya penyanyi rap Muslim, untuk mengumandangkan azan. Dengan demikian, menurut Imam Pasha, kita mendapatkan keadilan. Karena semua agama diwakili oleh 4 orang.
Dari Perwakilan Islam dimulai dengan azan dan terjemahannya. Setelah itu Oprah mengundang saya dan Sabrina ke podium untuk membacakan ayat-ayat Al-Quran yang telah kami siapkan.
Saya harus mengakui, ketika masih duduk di kursi saya masih merasa percaya diri yang tinggi. Ada rasa bangga bisa mewakili Komunitas saya dalam perhelatan besar itu. Apalagi di saat Komunitas ini dipandang dengan sangat buruk. Ada tantangan tapi sekaligus peluang untuk memperbaiki persepsi itu.
Tapi begitu berdiri di podium, di hadapan para pejabat tinggi Amerika, tokoh-tokoh agama, dan juga khalayak ramai yang menatap arah saya. Belum lagi sorotan lampu media, jepretan kamera, semua itu membuat saya jadi gugup. Situasi itu menjadikan bacaan saya terasa berat dan tidak terarah.
Saya memulai dengan salam singkat: “Assalamu alaikum!”. Lalu saya bacakan ayat-ayat pilihan saya. Mulai dari ayat ketiga belas Surah Al-Hujurat, An-Nisa ayat 135, dan keseluruhan Surah An-Nashr.
Setelah selesai membaca saya turun dari podium. Lalu gantian dengan Sabrina Yang naik untuk untuk membacakan terjemahan ayat-ayat tersebut. Di saat mendampingi Sabrina membacakan terjemahan itu saya pergunakan mencuri kesempatan untuk melihat ke arah khalayak ramai. Sejujurnya saya merasakan kekhusyu’an. Entah apa yang terjadi, hampir tidak kedengaran suara yang tadinya begitu riuh.
Kembali kepada pilihan ayat-ayat itu memang kami (Imam Pasha dan saya) telah mempertimbangkan matang-matang. Saya tadinya mengusulkan agar ayat-ayat yang kita bacakan adalah ayat-ayat tentang perdamaian dan persaudaraan. Tapi Imam Pasha mengusulkan beberapa ayat, dan saya menyetujui ketiga ayat yang dibaca itu.
Pilihan pertama adalah Surah Al-Hujurat ayat 13. Pilihan ayat ini karena kami sepakat untuk menyampaikan pesan yang jelas dan tegas kepada Amerika dan dunia tentang dua hal.
1). Bahwa Islam itu adalah agama universal, ditujukan untuk seluruh manusia. Ini menyanggah pandangan yang salah di kalangan Amerika bahwa Islam adalah agama Timur Tengah atau Arab.
2). Dan ini secara khusus dari pemikiran Imam E. Pasha yang Afro Amerika. Dengan ayat ini kita ingin sampaikan bahwa Islam itu adalah solusi terhadap satu permasalahan bersejarah di Amerika. Saya menyebutnya sebagai “dosa asal Amerika”. Yaitu permasalahan rasisme yang dalam dan bersifat sistem. Dengan ayat itu kita ingin mengatakan ke Amerika, jangan benci atau takut Islam. Karena Islam ada “healing” (obat) bagi bangsa ini.
Pilihan kedua adalah ayat ke 135 dari Surah An-Nisa. Saya sendiri sengaja memilih ayat ini karena didorong oleh kenyataan bahwa kekerasan-kekerasan atau terorisme yang terjadi di mana-mana di dunia ini tidak bisa dilepaskan dari akar permasalahan (root of the problem). Dan salah satu akar penyebab terorisme adalah adanya ketidak adilan dunia yang parah.
Dan Karenanya kita ingin menyampaikan pesan kepada Amerika, jika Amerika ingin menyelesaikan permasalahan terorisme, selesaikan permasalahan ketidak adilan dunia.
Pilihan ketiga adalah surah An-Nasr (Surah ke 10). Surah ini kita pilih karena saat itu terlalu banyak dari kalangan Umat ini yang pessimis. Seolah peristiwa 9/11 akan menjadi kuburan Islam di Amerika. Seolah dengan peristiwa itu orang-orang Amerika akan membenci dan tidak akan ada lagi harapan bagi Islam untuk berkembang.
Pemilihan Surah An-Nasr menjawab pessimisme itu. Bahwa justeru dengan peristiwa 9/11 itu pertolongan Allah akan semakin dekat. Dan ketika pertolongan itu terbuka, orang-orang akan berbondong-bondong masuk ke dalam agama ini.
Ternyata pandangan positif dan optimisme itu terbukti di kemudian hari. Warga Amerika yang terbuka itu, dengan eksposur Islam yang bahkan ditujukan untuk tujuan negatif berbalik menjadi pemicu untuk mereka tahu kebenaran yang sesungguhnya.
Maka pasca 9/11 itu Al-Quran menjadi buku terlaris yang terjual di Amerika. Buku-buku Islam begitu digandrungi untuk dibaca, hingga ke Komunitas Hollywood sekalipun.
Saya pribadi merasa mendapat karunia yang luar biasa karena bisa menjadi saksi mata atas “nashr Allah” (pertolongan Allah) itu. Betapa banyak yang memeluk Islam karena peristiwa 9/11 itu.
Ada beberapa cerita yang selalu saya sampaikan mana-mana tentang Muallaf Amerika, bahkan dalam hari-hari pertama pasca peristiwa itu. Mungkin saya ingin sampaikan dua-tiga cerita saja sebagai pengingat dan motivasi bagi kita semua.
Salah satunya adalah Symphia Rolland yang masuk Islam karena mendengarkan bacaan Al-Quran di Yankee Stadium melalui televisi di rumahnya. Kejadian itu saya ketahui tiga bulan kemudian, setelah saya melantungkan ayat-ayat Al-Quran di lapangan baseball New York itu.
New York, 28 September 2020