Dr. Muhammad Zain: Ramadhan Melatih Keikhlasan dan Memperbanyak Sedekah

0
471
- Advertisement -

PINISI.co.id- Izinkan saya memulai kuliah Ramadhan malam ini dengan berbagi kisah dengan seorang Jurnalis Eropa, Leopold Weiss yang melakukan petualangan ke wilayah gurun Timur Tengah. Di tengah perjalanannya, di gurun pasir yang tandus dan panas, di tengah malam, ia singgah menumpang di rumah seorang Baduy. Singkat kisah, keluarga Baduy menjamu sang Jurnalis dengan baik dengan menyembelih seekor domba.

Besok paginya, Jurnalis itu bertanya: Semalam saya mendengar ada domba. Di mana domba tersebut? “Kami telah menyembelihnya, semalam.” Sejurus kemudian, sang Jurnalis bertanya, “ada berapa ekor domba anda?” “hanya seekor,” jawab Baduy itu. “Lah kenapa anda potong dan jamu saya sebaik itu? “Karena itu adalah salah satu warisan ajaran agama dari Nabi kami, Muhammad Saw, yakni “kewajiban memuliakan tamu.”

Mendengar penjelasan itu, sang Jurnalis dengan riang meminta dipandu mengucapkan dua kalimat syahadat, karena ia terkesan betapa tingginya etika dan ajaran moral yang diwariskan oleh Nabi Muhammad, dan itu berbeda dengan informasi tentang ajaran Islam yang selama ini berkembang dan diberitakan oleh media di Barat. Kisah itu terekam dengan baik dalam buku beliau dengan judul: “The Road to Mecca,” karya Muhammad Asad, sarjana asal Austria-Hungaria, kata Dr. Muhammad Zain, Direktur Guru dan Tenaga Pendidik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI pada kuliah Ramadhan melalui Zoom yang digelar oleh Panitia Ramadhan BPP KKSS, di bawah koordinasi Profesor Dr. Awaluddin Tjalla, Jakarta, 16 April 2022.

Salah satu alasan, mengapa Islam itu diturunkan di Arab di tengah komunitas Baduy, karena mereka memiliki banyak tradisi yang baik, dan itu dipertahankan dalam ajaran Islam, misalnya pentingnya memuliakan tamu, memegang teguh perjanjian, keberanian, kejujuran, menjaga silaturahmi dengan orang lain, dan berderma atau berbagi rejeki, makanan misalnya, dengan orang lain.

Orang Baduy itu telah memiliki keadaban yang tinggi yang berbeda dengan masyarakat kota termasuk memelihara kemurnian nasab, tulis Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam kitab “Mukaddimah-nya.” Berbeda yang selama ini yang kita baca, yang menggambarkan bahwa sikap dan karakter orang Baduy itu adalah terbelakang, suka kekerasan, liar, tidak beradab, dan sebagainya,” lanjut Muhammad Zain.

- Advertisement -

Selanjutnya, izinkan saya menyampaikan sekilas makna dari dua kata yang akrab dengan kita di setiap Ramadhan, yakni Marhaban Ramadhan dan Ramadhan Kareem. Marhaban itu dapat berarti tempat transit atau semacam rest area. Dan kata rehabilitasi juga seakar kata dengan marhaban. “Karena itu, pada setiap Ramadhan, kita diberikan kesempatan untuk merehabilitasi diri dengan memperbanyak ibadah ritual dan sosial untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT. Arti itu saya kutip dari penjelasan Profesor Dr. M. Quraish Shihab,” tambah Muhammad Zain.

Kedua, istilah Ramadhan Kareem adalah istilah dan kalimat yang sudah diucapkan oleh dua Presiden Amerika, Barack Obama dan Joe Biden. Ternyata makna “kareem” itu dapat berarti mulia, dan atau berderma atau berbagi, tulis Prof. Toshihiko Izutzu (1914-1993), seorang akademisi Jepang yang telah meneliti dan menulis kata-kata kunci dalam Al-Qur’an lewat karyanya “Ethico Religious Concepts in the Qur’an.” Izutzu adalah salah satu sarjana yang dikagumi oleh Prof. Fazlur Rahman (1919-1988).

Karena itu, di setiap Ramadhan, kita melihat tradisi begitu banyaknya orang ingin berbagi atau bersedekah, terutama dalam bentuk zakat dan sedekah kepada anak yatim piatu dan fakir miskin.

Sebagian kita ini, terutama yang pernah belajar di pondok pesantren seperti saya yang telah mondok dan berguru kepada seorang kiyai selama 7 tahun di tanah Mandar, Sulawesi Barat. Saya melihat akhlak hidup para ulama, kiyai, atau anre gurutta itu, di samping memiliki ilmu yang tinggi, ikhlas, rendah hati, juga suka berderma atau berbagi dengan orang lain. Dari pengalaman itu, saya pahami dan makin yakin bahwa “para ulama itu adalah pewaris akhlak para Nabi, suka berderma dengan memiliki sifat-sifat tawadhu dan keikhlasan yang tinggi, dan pada saat yang sama, mereka memiliki karamat atau miracle. Misalnya, mereka dapat menyembuhkan penyakit umatnya. Kareem seakar kata dengan karomah, tambah Muhammad Zain.

Maka di bulan Ramadhan ini, mari kita di samping memperbanyak ibadah ritual, sekaligus kita mulai berbagi dengan orang-orang di sekitar kita. Percayalah, orang yang suka bersedekah tidak akan jatuh miskin. Saya teringat pada dua hadis Nabi yang termaktub dalam kitab Abu Ubaid ibn Sallam, Kitab “al-Amwal” (Harta-Harta): (i) Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang bersedekah sebelum sedekahnya jatuh ke tangan penerimanya dan (ii) Berlindunglah kalian dari api neraka, walaupun hanya bersedekah dengan sebiji kurma.” Ada kisah menarik tentang Nabi Ibrahim, Bapak tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam, yang suka menjamu tamunya. Malaikat pun dijamu, padahal Malaikat tidak butuh makan. Ini luar biasa kan. Dan kita lihat keturunan Nabi Ibrahim banyak menjadi Nabi dan melahirkan tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim digelar sebagai abu al anbiya’, Bapak para Nabi.  Semoga materi yang saya sampaikan dapat menyentuh hati dan pikiran kita semua. Terima kasih,”  pungkas Muhammad Zain.

Ini adalah kuliah Ramadhan keempat, sebelumnya diisi oleh Prof. KH. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Sahabuddin, dan Prof. Dr. Hafid Abbas, dan malam ini diisi oleh adinda Dr. Muhammad Zain dengan sangat mencerahkan, kata H. Muchlis Patahna, Ketua Umum BPP KKSS. Kuliah Ramadhan ini dimoderatori oleh H. Jaya Lupu, dan protokol acara, Ardhana.

(M. Saleh Mude)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here