Kolom Shamsi Ali
Hari-hari ini Umat Islam di berbagai belahan dunia diingatkan oleh salah satu peristiwa penting dunia. Sebuah peristiwa yang membawa goncangan dan perubahan dahsyat secara global. Itulah kelahiran manusia terbaik (khaerul anaam), sekaligus penutup (khaatam) dan penghulu (sayyid) para nabi dan rasul.
Muhammad SAW terlahir di bulan Rabi’ul awwal. Bulan yang tentunya mengingatkan akan kehadiran sosok pembaharu (reformer) dan agen perubahan ke arah yang lebih baik (al-muslih). Tapi yang terpenting beliau hadir sebagai penyampai (muballig) risalah khatimah (the final message) Allah ke seluruh manusia sekaligus tauladan (uswah) bagi semua manusia.
Tentu menuliskan mengenai Muhammad SAW serasa melempar segenggam garam ke lautan samudra. Selain sedemikian banyak yang telah menulis tentang beliau, dan dalam segala aspek hidupnya, baik dari kalangan “believer” (yang mengimaninya) maupun yang “unbeliever” (tidak mengimaninya). Juga karena menuliskan tentang beliau tidak akan pernah menemukan akhir dari keindahan cerita perjalanan hidupnya.
“Muhammad (SAW) adalah memang manusia. Tapi beliau tidak seperti manusia lainnya. Akan tetapi beliau adalah mutiara di tengah bebatuan. Kesempurnaannya mencapai puncak ketinggian. Keindahannya dirinya menyingkap gulita. Segala lini hidupnya begitu indah nan menawan”.
Ungkapan di atas adalah puji-pujian yang populer dan sering dibacakan oleh kalangan Muslim IPB (India Pakistan Bangladesh). Sebuah pujian yang memang menggambarkan realita kesempurnaan sosok Muhammad (SAW).
Pujian yang terpenting tentunya bukan pujian manusia. Tapi yang terpenting adalah pujian dan pemuliaan Penciptanya sendiri. Berkali-kali beliau dipuji dalam Al-Quran. Salah satunya: “sungguh engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung”.
Keimanan dan kecintaan kita kepada Muhammad (SAW) menjadi bagian integral dari keimanan kita kepada Rabb itu sendiri. Bahwa “laa ilaaha illa Allah” itu tidak akan terpisahkan dari “Muhammad Rasululullah”. Hanya melalui (ajaran) Muhammad (SAW) kita akan mencapai keimanan yang benar dan hakiki kepada Allah (SWT).
Suasana iman seperti di atas harus menjadi bagian dari detak ka ting para Mukmin. Tetapi di momen Rabi’ul Awwal inilah kita kembali membangun komitmen dalam iman dan cinta kepada beliau. Kita “recharge” atau mengisi lagi dada kita dengan gelora iman dan cinta. Sehingga komitmen ketaatan kepadanya semakin membara.
Dunia Merindukan sosok Muhammad (SAW).
Dalam dunia yang penuh goncangan, cobaan dan fitnah saat ini, sosok Muhammad (SAW) sangat dirindukan oleh manusia untuk hadir kembali. Sebuah sosok yang tidak akan tenang dengan berbagai penyelewengan kehidupan manusia.
Kita diingatkan kembali tentang keadaan Kota Mekah sebelum lahirnya sosok Muhammad (SAW). Kejahiliyaan, kezholiman, rasisme, dikriminasi jender dan ras, dan tentunya kekerasan (peperangan) antar suku menjadi pandangan lumrah. Dan tentunya penyelewengan akidah (kesyirikan) menjadi ideologi masyarakat Amerika saat itu.
Hal di atas itulah yang menjadikan Muhammad (SAW) resah, bahkan sedih. Beliau tidak merasakan ketenangan batin dengan suasana kehidupan yang bobrok secara sosial (publik). Dan karenanya beliau kerap mengadakan “takhannuts) di atas “Gunung Cahaya” (Jabal Nur).
Keresahan batin akibat berbagai penyelewengan sosial sesungguhnya itulah yang mengantar kepada diangkatnya Muhammad (SAW) sebagai Rasul dan nabi terakhir (khaatam an-nabiyyin wal mursaliin). Dan dengan tujuan itu pula beliau melakukan perjuangan (jihad) hingga terjadi perubahan mendasar di semenanjung Arabia dalam masa kurang dari 23 tahun.
Maka di tengah ketidak pastian dunia saat ini, di mana kerap kebenaran dianggap salah dan kesalahan dianggap benar. Orang baik dianggap berbahaya dan orang jahat justeru dipromosikan sebagai orang-orang baik. Di saat seperti inilah kerinduan akan kehadiran Muhammad (SAW) itu sangat terasa.
Di tengah dunia yang penuh keanehan saat ini, di mana agama justeru kerap dipandang ancaman. Sebaliknya idiologi dan prilaku “anti agama” dipandang sebagai nilai positif. Di saat orang-orang yang beragama dipersekusi, sementara mereka yang anti dan kerap merendahkan agama seolah mendapat perlakuan istimewa.
Berbagai prilaku imoralitas seolah dilindungi sehingga semakin merejalelah dan berani. Akibatnya ancaman kepada integritas (akhlak) kehidupan manusia semakin terancam. Agama dan moralitas dianggap ancaman. Sebaliknya pelanggaran dan dosa-dosa dianggap modernitas dan kemajuan.
Di dunia Barat juga, seperti yang terjadi di Prancis saat ini, nilai-nilai kebaikan universal (kebebasan misalnya) gunakan seenak udel manusia. Pelecehan kepada nilai-nilai keagamaan, Kitab Suci dan mereka yang dihormati dan dimuliakan (para rasul dan nabi) menjadi biasa atas nama kebebasan.
Saya khawatirnya Macron dan konconya ketika isteri dan anaknya yang dicintai dilecehkan hanya akan menyikapinya secara biasa. Akankah dia sekedar sikapi sebagai sekedar ekspresi kebebasan?
Atau ketika Prancis yang dia cintai dengan semangat nasionalisme itu dihinakan atau direndahkan. Akankah dia anggap hal itu sebagai sekedar ekspresi kebebasan?
Di tengah dunia yang merasa berperadaban (civilized) dan maju dalam pemikiran intelektualitas, manusia semakin menampakkan kebodohannya (jahiliyah) yang nyata. Prilaku paradoks semakin nyata. Bahkan kemunafikan dipertontonkan dengan tidak malu-malu lagi.
Di tengah dunia yang bobrok (jahil) dan gelap inilah Muhammad (SAW) dirindukan kehadirannya. Sosok yang kembali hadir sebagai “nur” (cahaya), “rahmah” kasih sayang), dan sekaligus “uswah” (tauladan) bagi seluruh alam.
Tentu harapan kehadiran beliau tidak mungkin lagi secara fisik. Beliau adalah “basyar” (manusia biasa) yang masa dunianya telah berakhir. Tapi nilai-nilai (values), ajaran, ketauladanan beliau hidup hingga akhir zaman.
Dan semua itu telah diamanahkan di atas pundak umatnya. Maka kerinduan akan hadirnya Muhammad (SAW) di dunia ini merupakan tantangan lansung kepada umatnya. Mampukah Umat ini menjadi representasi Muhammad kepada dunia? Mampukah Umat ini menghadirkan kembali cahaya, nilai-nilai (values) dan ketauladanan baginda Rasulullah (SAW)?
Dan di sini pulalah makna peringatan Maulid. Bahwa Maulid bukan pada bentuk acaranya. Tapi lebih kepada memahami, menghayati, mengamalkan dan menyampaikan apa yang menjadi amanah kepada kita dari baginda Nabiyullah (SAW). Yaitu membawa agen-agen perubahan dunia. Menghadirkan kembali cahaya itu di tengah kegelapan yang melanda dunia saat ini.
Kita cinta Rasulullah, kita rindu Rasulullah. Semoga kita disatukan bersama Rasulullah (SAW) di dalam SyurgaNya Allah SWT. Amin!
Bintaro, 28 Oktober 2020
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center USA & Presiden Nusantara Foundation