PINISI.co.id- Hari ini, 5 Mei adalah Hari Keluarga Internasional. Namun, pandemi Covid-19 menciptakan berbagai ironi di hari yang mestinya orang berbahagia. Betapa tidak. Sejak wabah mematikan ini menular ke seluruh dunia, pada Januari hingga detik ini, jutaan mungkin milyaran orang dibuat stres, dan depresi, akibat pembatasan sosial yang memaksa orang beraktivitas di rumah.
Dampaknya mulai bermunculan. Mulai rasa cemas, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian bahkan pembunuhan. Pasalnya, aturan yang memaksa orang berdiam (bekerja) di rumah berbilang bulan lamanya, rentan memicu berbagai masalah dalam rumah tangga.
Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kepada 20.000 responden di Jawa dan Sumatera, periode April-Mei 2020, menunjukkan hampir 95 persen keluarga merasa stres. “Masyarakat stres, sulit tidur, sedih, nafsu makan berkurang, putus asa bahkan ada yang berpikir untuk bunuh diri,” kata M Yani, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan BKBBN.
Sejalan dengan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di mana sejak 1 Januari hingga 12 Mei menerima 1.201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.526 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah ini, 1.213 perempuan menjadi korban. Mayoritas adalah KDRT yakni sebanyak 750 kasus. Sebaliknya jumlah anak korban kekerasan mencapai 1.669 dan 350 anak mengalami KDRT.
Menurut psikolog anak dan keluarga dari Universitas Indonesia Anna Surti, terpusatnya aktivitas harian di rumah membuat sikap anggota keluarga yang selama ini tak terperhatikan menjadi terlihat. Tanpa komunikasi baik, hal itu rentan memicu pertikaian. Masalah ringan yang tak diselesaikan memantik pertengkaran besar bahkan mengarah ke perceraian,” ulas Anna.
Semakin rentan, ujar Anna, terkhusus pada keluarga menengah bawah yang tinggal di rumah petak. Bersama dalam waktu lama di ruang sempit membikin mereka menghadapi beban ganda pemicu stres.
Terkait hal itu, WHO melaporkan negara Belgia, Bulgaria, Spanyol, Rusia Perancis dan Inggris, kenaikan KDRT meningkat akibat pembatasan sosial di rumah. Kenaikannya mencapai 60 persen.
Senada dengan Badan Kependudukan PBB memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika karantina wilayah belangsung hingga enam bulan. Sedangkan untuk perpanjangan tiga bulan, akan ada 15 juta kasus berbasis gender.
Ahli mengutarakan bahwa karantina rumah bagi sebagian orang memperuncing perbedaan serta konflik. Ibaratnya, menempatkan semua masalah ke dalam penggrorengan dan memanaskannya.
Di China, permohonan perceraian meningkat di Sichuan dan Shanxi. Dalam tiga pekan, ada 100 permohonan untuk pisah.
Sementara di Argentina, hingga 22 April, sudah 19 istri dibunuh oleh pasangannya semasa tinggal di rumah. Serupa dengan di negara Amerika Selatan lainnya, kasus KDRT terus meningkat sepanjang pandemi yang tidak pasti ujungnya.
Di bulan yang penuh berkah ini, sejatinya momen terindah untuk saling mencintai dan mengasihi.
[Lip Sumber Kompas 15/5/20]