Kolom Muslimin Mawi
Ada yang khas dari perjalanan panjang Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), ia tidak sekadar tumbuh sebagai organisasi sosial berbasis kedaerahan, melainkan menjelma menjadi gerakan kebudayaan yang menyatukan hati, meneguhkan identitas dan menghidupkan nilai-nilai luhur orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan Massenrempulu di perantauan. Sejak dideklarasikan pada 12 November 1976 oleh 26 tokoh masyarakat asal Sulawesi Selatan, semangat yang tertanam dalam tubuh organisasi ini bukan sekadar silaturrahmi, tetapi panggilan nurani untuk menjaga marwah bersama di mana pun kaki berpijak.
Falsafah yang Menjadi Jiwa
Tiga kata yang sakral dalam budaya Sulawesi Selatan “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi” bukan sekadar semboyan, melainkan roh yang menggerakkan KKSS dalam setiap denyut langkahnya.
Sipakatau berarti memanusiakan manusia, mengakui martabat sesama tanpa memandang status, jabatan atau asal kampung.
Sipakainge bermakna saling mengingatkan agar tak lupa pada kebaikan, tanggung jawab dan arah moral yang benar.
Dan Sipakalebbi mengandung ajaran untuk saling menghormati, meninggikan sesama dan menempatkan orang lain dalam kemuliaan.
Ketiganya berpadu menjadi falsafah hidup yang melandasi seluruh perilaku sosial warga Sulawesi Selatan. Di dalam KKSS, nilai-nilai itu menjadi sistem moral yang membimbing struktur organisasi, mengatur perilaku pemimpinnya dan mengikat hati jutaan anggotanya. Inilah sebab mengapa KKSS bukan hanya bertahan hampir lima dekade, tetapi terus tumbuh menjadi organisasi kemasyarakatan berbasis daerah terbesar di Indonesia.
Dari 26 Tokoh, Menjadi Jutaan Warga
Sejak awal, para pendiri KKSS memimpikan sebuah wadah yang dapat menghimpun, membina dan mempererat tali persaudaraan sesama perantau asal Sulawesi Selatan. Mereka menyadari bahwa perantauan bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan medan perjuangan kultural. Di tanah-tanah rantau itulah identitas diuji, apakah orang Sulawesi Selatan masih memegang teguh Siri’ na Pacce rasa harga diri dan solidaritas yang mendalam?
Jawaban dari pertanyaan itu kini telah nyata. Hampir lima puluh tahun kemudian, KKSS telah menjelma menjadi jaringan sosial yang luar biasa luas. Hingga tahun 2025, tercatat 37 Badan Pengurus Wilayah (BPW) berdiri di tingkat provinsi dan daerah khusus di seluruh Indonesia (kecuali Sulawesi Selatan), serta 8 Badan Pengurus Perwakilan Luar Negeri (BPPLN) yang menghubungkan diaspora Sulawesi Selatan di berbagai kota dunia.
Di tingkat kabupaten dan kota, KKSS memiliki lebih dari 247 Badan Pengurus Daerah (BPD) dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Selain itu, terbentuk 16 Organisasi Pilar tingkat nasional, yang mewakili 23 kabupaten/kota asal di Sulawesi Selatan (kecuali Makassar), serta lebih dari 7 Badan/Lembaga Otonom yang bergerak di berbagai bidang yang punya kesamaan, gender, hobby, profesi, olah raga dan pendidikan, hingga kemanusiaan.
Dari angka-angka ini, kita melihat bukan sekadar struktur organisasi, tetapi jalinan makna, bahwa setiap ranting KKSS di mana pun berdiri, adalah perwujudan nyata dari Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi yang hidup di tengah masyarakat.
Kepemimpinan dan Konsistensi
Selama hampir lima dekade perjalanannya, KKSS telah dipimpin oleh sepuluh Ketua Umum dari berbagai latar belakang, tokoh pemerintahan, pengusaha, akademisi, hingga cendekiawan. Masing-masing membawa corak kepemimpinan dan strategi yang berbeda, namun semuanya berpijak pada nilai dasar yang sama, memperkuat persaudaraan, memelihara jati diri dan berkontribusi nyata bagi bangsa.
Kekuatan KKSS justru terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara nilai tradisi dan tuntutan modernitas. Organisasi ini tidak hanya mengandalkan romantisme asal daerah, tetapi menegakkan prinsip profesionalisme dan solidaritas sosial yang tinggi. Dalam konteks nasional, KKSS menjadi contoh bagaimana sebuah organisasi berbasis daerah mampu bertransformasi menjadi kekuatan sosial kebangsaan.
Dari Siri’ na Pacce ke Kemandirian Organisasi
Spirit Siri’ na Pacce yang mengandung makna harga diri dan solidaritas kemanusiaan, menjadi bahan bakar moral bagi seluruh warga KKSS. Siri’ menegakkan kehormatan, sementara Pacce menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial. Dua nilai ini berpadu dalam kerja kolektif organisasi, menjadikan KKSS tidak sekadar tempat berkumpulnya orang Sulawesi Selatan, tetapi juga ruang tumbuhnya nilai-nilai universal, kerja keras, kesetiaan dan kepedulian sosial.
Kini, di berbagai provinsi dan bahkan luar negeri, KKSS hadir bukan hanya dalam bentuk struktur, tetapi juga dalam gerak nyata, menolong sesama perantau, mengembangkan pendidikan, mendorong ekonomi kerakyatan dan menjadi jembatan komunikasi antar-etnis. Di sinilah falsafah Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi menemukan bentuk paling konkret, yakni manusia yang saling menegakkan kemanusiaan.
Organisasi yang Terbesar, Karena Nilainya Paling Luhur
Bukan karena jumlah pengurusnya, bukan pula karena banyaknya perantau yang terhimpun, KKSS menjadi besar karena ia berdiri di atas nilai yang luhur. Falsafah yang diwariskan leluhur Sulawesi Selatan menjadikan organisasi ini kuat dari dalam, adaptif terhadap zaman dan terus dipercaya oleh anggotanya.
Di era modern yang sarat individualisme, KKSS justru menunjukkan bahwa solidaritas masih relevan, bahwa manusia masih membutuhkan kebersamaan yang berakar pada kearifan lokal. Di sinilah Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi bukan hanya semboyan lama, melainkan panduan etika masa depan.
Penutup
Lima dekade perjalanan KKSS adalah kisah tentang cinta tanah asal, keteguhan budaya dan kebesaran jiwa para perantau. Dari lorong-lorong Makassar hingga pelosok Papua, dari perantauan Kalimantan hingga kota-kota di luar negeri, warga Sulawesi Selatan menorehkan jejak pengabdian yang sama, menjaga nama baik, menegakkan persaudaraan dan membangun negeri dengan penuh hormat.
Selama falsafah Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi tetap dijaga, maka selama itu pula KKSS akan terus menjadi rumah besar yang kokoh, tempat setiap orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan Massenrempulu di perantauan dapat berkata dengan bangga. “Kami adalah keluarga besar yang tidak sekadar bersaudara dalam darah, tetapi dalam nilai.”
Eramas 2000, 02 November 2025.
Penulis, Aktivis dan Pemerhati Organisasi













