Orang Bugis Makassar merantau, artinya mau terbuka, mau dinilai selagi berbicara dengan orang lain, sebab budaya kita tidak menutup diri. Yang arif, bagaimana kita belajar menjadi orang yang terhormat dan menjaga harga diri.
PINISI.co.id- Keotentikan budaya Bugis Makassar membat Prof. Dr. Andi Faisal Bakti bangga sebagai seorang yang diwarisi kekayaan budaya dan peradaban leluhurnya.
Wakil Rektor IV Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini, pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi di luar negeri: di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Selain itu, ia juga dipercayai menjadi fellow di berbagai lembaga bergengsi di tingkat dunia. Tulisannya kerap menghiasi berbagai jurnal dan penerbitan internasional.
Berikut ini petikan bincang-bincangnya yang pernah dimuat di majalah PINISI. Isinya selalu relevan dan kontekstual. Simak uraiannya.
Banyak orang yang keliru menafsirkan pengertian tiga cappa dalam pandangan orang Sulawesi Selatan, bagaimana penyikapan Anda?
Pada intinya orang Bugis berjuang lewat tellu cappa itu. Namun, ia harus diberi pengertian dengan konteksnya. Ujung pertama, adalah ujung lidah. Jadi ketika kita berbicara, sejatinya kita berbicara lebih persuasif, memukau, tidak menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain, tidak juga terlalu halus. Kita bisa menjadi juru bicara. Cappa ini artinya diplomasi, bagaimana kita mendamaikan orang, mengambil hati orang. Ini harus dipunyai oleh orang Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Yang kedua, ujung lamarupe; artinya kita harus menyatu dengan orang lain, menikahi dan siap dinikahi orang lain. Kita bisa menyunting anak raja atau anak sultan, karena kalau masa sultan berakhir maka sultan akan mencari pengganti. Namun karena anak perempuannya dianggap tidak mampu, maka sultan pasti mencari menantunya untuk mengganti kedudukannya. Itu salah satu filosofinya.
Jadi seorang laki-laki dan perempuan dari kita dapat juga menikahi suku lain, dengan begitu berarti ujung lamarupe dapat dilihat dari orientasi perekonomian, sosial dan kebudayaan.
Yang ketiga cappa kawali, ujung badik. Tapi kan badik ini tidak bisa lagi dijadikan sebagai alat perjuangan karena sekarang masa damai, tidak ada lagi musuh. Jangan diambil pedangnya itu untuk mengancam apalagi membunuh orang, tapi menggunakan dengan cara berbeda.
Ujung badik diganti dengan pena. Sebab ujung pena paling powerfull saat ini. Apalagi ini didukung oleh kebudayaan dan peradaban tulis menulis sebagaimana yang terkandung dalam Lontara. Dunia mikro dan makrokosmos orang Bugis Makassar ada di kitab Lontara. Lontara sangat tinggi filosofinya. Di situ ada tata kelola kehidupan, ada sistem pertanian, seks, pengobatan, lengkap semua.
Bagaimana memahami cappa ini sebagai modal dasar kepemimpinan?
Ujung cappa itu mendatangkan cappa majello, memerintah. Seperti yang melahirkan Daeng Parani, yang jadi tokoh dan pemimpin Kesultanan Johor, kemudian di Sumatera, Kalimantan, Sumbawa, itu wilayahnya Bugis. Jadi orang Bugis ini, dia merantau, artinya kita mau terbuka, mau dinilai dengan kalau berbicara dengan orang lain, budaya kita tidak menutup diri. Ini menjadi bukti bahwa orang Bugis Makassar bersifat terbuka.
Tapi dikesankan cappa kawali itu, perang dan darah…
Memang makna lain ujung badik perang di mana-mana. Perang Pattimura dia ada, perang Jawa dia ada. Di Yogyakarta ada pasukan Daeng sampai kini. Termasuk perang di Banten, perang di Aceh hingga Karaeng Galesong dan Arung Palakka yang diperbantukan membela Jawa dan Batavia.
Kita bisa dikalahkan di darat, tapi jangan coba-coba di laut. Orang Barat mencap Bogeyman untuk Bugis yang dikenal sebagai perompak.
Filosofinya cappa badik untuk konteks kekinian, apa itu prof?
Itu bicara pedang, yaitu untuk membela orang, melawan kezaliman, melawan kejahatan.
Bagaimana dengan Lontara sebagai kearifan lokal dan pandangan hidup?
Lontara menyimpan kearifan lokal. Kearifan ini harus dijaga, diaplikasikan. Namun ada juga yang tidak arif seperti kepercayaan mistik yang tidak bisa dirasionalkan. Ilmu doti (gunaguna) misalnya, bisa membuat kepala lembek. Yang begini jangan diteruskan. Ilmu memisahkan orang untuk bercerai, ini yang tidak arif. Yang arif, bagaimana kita belajar menjadi orang yang terhormat, menjaga harga diri.
Tapi kenapa sebagian dari kita suka meniru Barat, seakan-akan semuanya oke dari sana?
Kita sebenarnya tidak kalah dengan Barat. Bayangkan di Lontara ada tentang astronomi. Bagaimana posisi bintang, penamaannya, atau yang paling sederhana bintang sebagai pemandu buat pelaut. Kalau di Barat kita kenal bintang Libra, Scorpion, tapi di Bugis cara melihatnya mungkin nama bintang itu jadi manu. Antara Barat, Bugis dan Arab banyak relevansinya.
Ada lagi Lontara assikalaibineng, bagaimana kiat mencari calon suami, istri, cara mendapatkan anak perempuan, mencari anak laki, ada tata caranya.
Bagaimana Anda melihat generasi sekarang menyikapi budaya asalnya?
Budaya kita ini kita tidak dipelajari lagi karena sistem pendidikan kita ini warisan Belanda dan sekarang nasional. Yang diajarkan adalah sejarah yang dominan di Jawa; Majapahit, Sriwijaya, Syailendra, wayang. Mana orang belajar Sawerigading, Amanagappa, dan semua pengarang Lontara. Padahal disitulah fillsafat orang Bugis, di Lontara. Kita mengenal sistem kekerabatan, pangedereng, adat istiadat, ada wari, ada analogi.
Karena penulis sejarahnya adalah orang Jawa, jadi memang wajar adanya.
Jadi bagaimana kita harus mengenal peradaban kita yang kaya ini?
Harus kita menggali sejarah kita sendiri. Harus mulai belajar dari rumah. Tapi sekarang orang malu bicara bahasa Bugis, bahasa ibunya. Karena itu, bahasa lokal harus diajarkan. Mestinya di rumah kita berbahasa ibu, nanti di sekolah baru bicara Indonesia. Ini kondisi kita mengabaikan muatan lokal, baik di keluarga dan di masyarakat. Banyak nilai-nilai yang sudah hilang.
(Alif )