Gaya Bertutur Screen Play/ Skenario Film

0
858
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

HIDUP ini suatu misteri … berjalan begitu saja tanpa direkayasa dan direncanakan.

Apa itu …?

Selepas Sekolah Lanjutan Atas, saya berkecimpung di lingkungan seniman yang berhimpung di Dewan Kesenian Makassar (DKM).

Dari situ saya mendapatkan pengalaman berkesenian di teater dari senior antaranya Aspar Paturusi, Saleh Mallombasi dan Rahman Arge.

- Advertisement -

Sebagian besar guru-guru kesenian itu adalah wartawan dan penilik media cetak surat kabar.

Dua film layar lebar diproduksi oleh CV Alam Raya, produser daerah Abdul Latief Makka dengan film Sanrego, sutradara Bay Isbahi. Di film itu saya mendapatkan job Asisten dari Danarto selaku Art Director/ Penata Artistik.

Berlanjut ke film berikutnya Senja Di Losari, disutradarai okeh Chaedar Djafar dengan jabatan sebagai Pemimpin Unit Produksi.

Kedua film itu diproduksi di tahun 1970 an.

Berbekal itu, hijrah ke Jakarta dan saya mengikuti orientasi produksi film Cinta Pertama sutradara Teguh Karya.

Berturut sebagai Script Boy / juru catat sekrip mengikuti sutradara Johan Tjasmadi dengan film Syahdu, Sophan Sophiaan dengan film Widuri, Rempo Urip dengan Film Action Cobra dan Ratno Timoer dengan film Syech Kobar.

Dengan sutradara lainnya dengan job yang berbeda antara lain bersama sutradara ; Ami Priyono dengan film Dewi, Syarifuddin dengan film Operasi Tinombala lalu DA. Peransi dengan film dokumenteter tentang surat khabar harian Kompas.

Job profesi sebagai Script Boy ini memberi pengalaman pembelajaran yang begitu berati.

Saya perlu mencatat detail semua kejadian apa terekam oleh kamera / apa yang dilihat dan didengar dari angle /sudut pengambilan gambar/ shooting.

Mencatat semua gerak dan dialog seluruh pemain. Perlu cermat mencatat gerak camera dan lensa yang digunakan.

Pekerjaan ini melatih kepekaan, daya ingat untuk kemudian dituliskan kembali menjadi sebuah shooting report/ catatan layaknya menulis skenario baru.

Keperluan catatan tersebut untuk editing/ menyambungkan gambar berdasarkan sekuen skenario yang pengambilan gambarnya tidak berurut dari satu adegan ke adegan lain.

Bila semua sudah tersusun sesuai jalannya cerita lalu diadakan pengisian suara/ dialog yang disebut dubbing ( pengisian suara yang disinkronkan dengan gerak bibir/ lipsing apa yang diucapkan oleh pemain ketika direkam gambarnya) Di zaman itu semua dilakukan after recording tidak seperti sekarang ini dengan recording langsung bersamaan dengan pengambilan gambar dengan suara yang direkam.dengan pita magnetik.

Bila editing dan dubbing selesai maka proses berikutnya untuk pengisian musik dan suara effek dan seterusnya pencetakan sejumlah copy di laboratorium luar (Tokyo atau Hongkong) dan kemudian peredaran di bioskop dengan proyektor.

Sebelum itu masuk ke proses sensor flm untuk mendapatkan legalitas perizinan edar, penentuan kelas umur penonton.

Lalu ada preview untuk wartawan guna keperluan promosi dan resensi, pemutaran perdana bagi crew, pemain dan undangan relasi.

Begitulah proses pembuatan film tempo dulu yang dikenal ada pra produksi dengan pemilihan pemain/ casting, crew, script conprens, hunting lokasi, penyiapan setting, kostum dan properties.

Ada tahap shoting, after recording, prosesing, sensor dan distribusi.

Dari pengalaman itu berpengaruh dan menginspirasi saya dalam melakukan penulisan penulisan artikel esai ini.

Beranda Inspirasi Ciliwung 3 Desember 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here