PINISI.co.id- Apa modal perempuan Bugis Makassar jika ia hidup di rantau? Ia harus memiliki keberanian untuk hidup, harus berguna setidaknya bagi lingkungan sekitar. “Di depan, di kiri kanan, dan di belakang rumah, semua adalah sesaudaraan,” kata Musdalifah Pangka mengutuip pesan ayahnya Haji La Pangka.
Mutiara inilah yang melekat dalam diri Musdalifah, yang telah hidup di rantau, mulai dari Jakarta, Pekanbaru, dan Solo di Jawa Tengah. Kota Solo akhirnya menjadi tambatan hati Musdalifah, lantaran suaminya, Joko Widardjo adalah putra Solo yang mempersuntingnya pada 1980. Kota Solo, yang merupakan pusat kebudayaan Jawa, sungguh memikat Musdalifah, selain budaya, alam, dan keramahtamahannya.
“Kalau kamu menikah dengan orang lain, pasti kamu akan meninggalkan kami,” kata ayahnya, kepada Musdalifah, sebelum diboyong Joko ke Jakarta pada 1983. Kemudian pindah lagi ke Pekanbaru, 1994 dan selanjutnya berlabuh di Solo tahun 2000.
Jakarta dan Solo, merupakan dua kota yang menautkan perjalanan hidup Musdalifah yang meraih sarjana S1-nya di Pekanbaru.
Demikianlah, pesan-pesan kebajikan dari orangtuanya, Musdalifah patrikan dalam dirinya. Bahwa berbuatlah mahligai kebaikan, terus mencari kebaikan dan menggali kebaikan itu terus menerus lalu kerjakan kebaikan menjadi yang terbaik dan insya Allah yang akan terjadi dan dicapai adalah kebaikan.
Falsafah tersebut menjaga perempuan kelahiran Parepare, 27 Mei 1955 ini, dalam melakoni bahtera rumah tangganya. Selain itu, orangtuanya juga berwasiat agar di daerah orang, tetap merawat nilai-nilai luhur dan adat istiadat sesempurna mungkin. Tersebutlah prinsip sipakatau, sipakange’, dan sipakalebbi, artinya, saling memanusiakan, saling mengingatkan dan saling melebihkan dan menghormati.
Prinsip ini pulalah yang dikembangkan Musdalifah dalam memimpin Badan Pengurus Wilayah KKSS Jawa Tengah sejak 2016.
Sejak menjadi Ketua BPW KKSS Jawa Tengah, Musdalifah melantik KKSS di tingkat kabupaten/kota, menggelar acara dan acap memperkenalkan budaya Sulawesi Selatan kepada masyarakat Solo. Ia tidak pernah lupa menghadirkan Gubernur Sulsel sejak Syahrul Yasin Limpo dan kini Nurdin Abdullah, selain Gubernur Jateng sendiri.
Terakhir Musdalifah sukses menghelat Musyawarah Besar KKSS XI di Solo, 15-17 November 2019 lalu.
Sepekan sebelum Mubes, serangkaian acara ini dibuat seperti festival kuliner berupa 6.000 porsi makan khas Sulsel gratis buat warga Solo. Festival ini ditandai dengan pengguntingan pita melati oleh ibunda Presiden Joko Widodo, Hj.Sujiatmi Notomihardjo.
Seperti diketahui, Musdalifah bersahabat dengan Presiden Joko Widodo, jauh sebelum duduk di RI 1. Tak heran jika Musdalifah sering mendampingi Ibu Jokowi ke berbagai acara, termasuk sewaktu menunaikan umroh dan menemani berwisata ke Toraja. Kala Ibu Jokowi meninggal pada 25 Maret 2020 lalu, Musdalifah sangat sedih dan merasa kehilangan.
Menjaga Iman dan Berani
Menjaga iman, berani mengarungi hidup, dan berguna buat sesama, menjadi penyemangat Musdalifah untuk berkiprah dalam sejumlah organisasi, serta bergiat di bidang sosial maupun dalam berbisnis. “Lakukan kehidupan itu dengan apa adanya, jangan pernah takut menghadapinya,” katanya.
Memang, sejak remaja, Musdalifah sudah menjadi kebanggaan keluarganya. Siapa nyana, ia aktif semasa SMA. Bakat dan prestasinya sebagai aktivis dilanjutkan sewaktu kuliah di ABA-LPI Makassar, dan terpilih menjadi Ketua Komisariat HMI di kampusnya.
Di luar kampus, ia pernah menjuarai berbagai perlombaan, termasuk juara pertama lomba pidato antar pemuda/remaja pada tahun 1978 se kota Makassar yang masih bernama Ujung Pandang saat itu. Lebih dari itu, bersama Marwah Daud Ibrahim, Musdalifah mewakili Kopertis Sulawesi Maluku dan Irian Jaya (Papua) ke Istana Negara sebagai Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional tahun 1979. Di Istana Presiden, Musdalifah diterima Presiden Soeharto dan Menteri Riset dan Teknologi BJ. Habibie.
Sejak mahasiswa, ia selalu kritis dan karakter itu terus lengket sampai kini. “Banyak yang salah paham sama saya, karena saya vokal dan kritis,” katanya terus terang.
Itulah sebabnya dalam keluarga besarnya, Musdalifah dikenal sebagai wanita tangguh, gigih dan senantiasa mengkritisi sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.
Begitulah, pasangan Joko dan Musdalifah memadukan dua kultur yang saling melengkapi, Solo sebagai simpul kebudayaan Jawa yang halus, dan Bugis Makassar yang liat dan lentur.
Kini pasangan romantis Joko dan Musdalifah, dikaruniai putra semata wayang yang memberinya dua cucu perempuan dan satu lelaki.
Musdalifah merupakan anak keempat dari pasangan Haji La Pangka dengan Hj. Hasnah La Pangka. Haji La Pangka adalah saudagar Bugis yang dikenal sebagai ‘raja beras’ dan pedagang kopra ternama di Sulawesi Selatan dekade 40 hingga 70-an. La Pangka sepantaran dengan H. Kalla, dan Mattalitti.
Kakak sulungnya bernama Arifuddin Pangka, tak lain adalah Wakil Ketua Umum BPP KKSS yang sejak remaja juga senang beroganisasi. Nomor dua Harni Pangka, ketiga Nur Alam Pangka, dan bungsu Alimuddin Pangka.
Semua putra-putri Haji La Pangka, dipagari oleh falsafah hidup yang saling menenggang, yaitu sipakatau, sipakainge’ dan sipakalebbi.
[Lip]