Ibu, Rahim dan Gizi Keluarga

0
802
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Seorang ibu harus mengeluarkan makanan yang ada di rongga mulutnya, dicuci lalu diserahkan kepada anaknya, karena anaknya menangis, merengek memintanya. Tampak sederhana, namun menurut saya sangat istimewa. Istimewa unik sebab belum tentu mampu dilakukan oleh seorang ayah. Kejadian semacam ini sering saya saksikan ketika masih kanak-kanak. Bahkan saya sendiri pernah mengalaminya.

Ibu mengenalkan gizi kepada anaknya di samping mengajarkan arti kasih sayang. Ibu mengenalkan gizi kepada anaknya sejak anak masih di dalam kandungan sampai lahir, bahkan setelah remaja dan dewasa. Ibu pulalah yang merencanakan serta mengatur menu gizi kepada seluruh anggota keluarga. Karena itu, sangat wajar bila ada sebagian orang mengatakan ibu adalah tokoh dan pahlawan gizi bagi keluarganya.

Di Tanah Bugis peristiwa ibu mengeluarkan makanan dari rongga mulut lalu diberikan kepada anaknya, biasanya disertai dengan ucapan: “messe bebbuaku”. Artinya, ada perasaan perih di perutnya atau tidak tega atau kasihan atau iba seorang ibu melihat anaknya. Ucapan ibu tersebut mungkin merupakan bagian dari konsep budaya “pesse” (dialeg Bugis) atau “pacce” (dialeg Makassar).

Namun, bagaimana bila perasaan kasih, iba, serta perih di perut itu berhubungan dengan rahim (kandungan, uterus) yang ada di dalam perut ibu? Bukankah rahim yang terdapat di dalam perut ibu merupakan lokus kasih dari Allah Yang Maha Pengasih? Ia merupakan tempat di mana bayi dan kita semua berasal. Tempat yang kokoh penuh kasih sayang, yang di dalamnya janin merasa sangat aman dan nyaman.

- Advertisement -

Karena itu, bila benar bahwa perasaan kasih, iba, perih di perut berhubungan dengan anugerah atau titipan Allah yang bernama rahim maka fenomena ibu-ibu di Tanah Bugis di atas tentu bukan sekedar budaya lokal, tapi mungkin saja bersifat universal. Artinya karakter tersebut dipraktikkan oleh kaum Ibu di seluruh jagat raya. Bahkan dapat pula bermakna teologis. Bukankah kata rahim ini berasal dari akar kata “rahimah” (bahasa Arab), yang memiliki makna mengasihi, memahami, menyayangi, mencintai, menghargai, dan menghormati. Bahkan ahli bahasa Arab mengatakan bahwa bentuk jamak dari rahim adalah “arham”, bermakna hubungan kerabat satu ibu. Dan bila rahim sebagai kata kerja dengan i pendek (rahim) bermakna menyayangi. Sedang bila i panjang (rahiim) bermakna penyayang.

Ibu yang memberikan zat gizi kepada anak dan seluruh anggota keluarganya, bukanlah sekadar peristiwa biasa. Peristiwanya adalah rahim, rahimah, cinta dan kasih sayang. Ia merupakan bagian dari dititipkannya lokus kasih dari Allah SWT., bernama rahim. Setiap kali ibu memasak, menyediakan menu gizi kepada anggota keluarganya akan selalu disertai perasaan rahim, rahimah, cinta dan kasih sayang. Wallahu a’lam bishawab.

Sachiko Murata dalam buku The Tao of Islam, menyebutkan “kedudukan ibu yang dimuliakan dalam tradisi Islam tercermin dalam tekanan yang diberikan pada pemenuhan hak-hak dari pertalian darah rahim.”

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2001

Billahit Taufiq Walhidayah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here