Kolom Zaenal Abidin
Sepanjang tahun 2024 banyak sekali masalah kesehatan yang terjadi. Namun, dari sekian banyak masalah kesehatan, tidak semua yang berdampak langsung kepada masyarakat. Kebanyakan dari masalah tersebut diperkirakan memberi dampak beberapa tahun mendatang. Akibatnya, masyarakat tidak menyadari adanya masalah kesehatan sebab belum mengalaminya.
Kebijakan kesehatan yang menurut perkiraan penulis dapat berdampak buruk kepada masyarakat dalam waktu tidak terlalu lama adalah terbitnya Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan.
Surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan tersebut, walau baru viral belakangan ini namun ternyata sudah ditanda tangani sejak tanggal 14 Maret 2024 lalu. Artinya, surat yang ditujukan kepada seluruh direktur utama rumah sakit vertikal dan berisi pengukuran produktivitas dokter spesialis dan utilisasi alat kesehatan sudah terbit sejak 10 bulan yang lalu.
Pada paragraf pertama surat tersebut tertulis, “Sehubungan dengan pelaksanaan Tranformasi RS Vertikal dan untuk meningkatkan kualitas pelayanan RS Vertikal, sesuai arahan dari Bapak Menteri Kesehatan maka RS Vertikal perlu melakukan pengukuran produktivitas dokter spesialis dan utilisasi alat kesehatan terutama alat kesehatan canggih. Hal ini bertujuan agar Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, manajemen dan direksi RSV dapat mengevaluasi secara berkal produktivitas dokter spesialis dan utilisasi alat kesehatan di RSV dan memastikan bahwa keduanya telah berjalan optimal.”
Memperhatikan surat Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan di atas, penulis memprediksi adanya dua dampak serius. Pertama, mendorong dokter spesialis di rumah sakit vertikal dan tentu bersama-sama manajemen rumah sakit untuk melakukan tindak kriminal. Kedua, akan menyebabkan kerugian program JKN yang dikelolah oleh BPJS Kesehatan.
Mendorong Tindak Pidana Perbuatan Curang
Mendorong Tindak Pidana Perbuatan Curang
Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan yang merupakan arahan Menteri Kesehatan di atas, jelas-jelas menghimbau kepada direktur utama rumah sakit vertikal milik kementerian kesehatan agar melakukan pengukuran produktivitas dokter spesialis dengan mengaitkan utilisasi alat kesehatan canggih yang telah dibeli dan didistribusikan oleh Menteri Kesehatan sendiri. Untuk diketahui, beberapa bulan terakhir ini memang sudah tersebar berita bahwa Menteri Kesehatan telah membeli dan mendistribusikan banyak alat canggih ke berbagai rumah sakit di daerah.
Bila kabar berita tersebut benar maka patut diduga bahwa surat Dirjen Pelayanan Kesehatan di atas sangat berkaitan dengan pembelian dan pendistribusian alat canggih tersebut. Harapannya, agar sesering mungkin dokter spesialis yang berkerja di rumah sakit vertikal menggunakan alat cangih tersebut.
Dan, bila dokter spesialis tersebut jarang menggunakan alat canggih yang disediakan, maka itu akan menjadi bahan evaluasi baginya sehingga konditenya dapat dikatakan jelek. Dugaan bahwa Menteri Kesehatan akan menjadikan rumah sakit verikal sebagai bagian dari bisnis dan industri kesehatan tentu sulit dibantah. Pertanyaannya kepada siapa rumah sakit milik kementerian kesehatan itu ingin berbisnis? Jawaban yang paling gampang adalah kepada rakyat yang sakitkah atau kepada BPJS Kesehatankah?
Persoalan kemudian muncul karena akibat dari surat Dirjen Pelayanan Kesehatan tersebut berpotensi menimbulkan over-utilisasi yang memanfaatkan kelemahan sistem pembayaran langsung (fee for service). Over-utilisasi terjadi ketika pasien digunakan sebagai subyek test dan pengobatan yang tidak dibutuhlan dan diberikan berulang-ulang. Penagihan biaya over-utilisasi secara terencana dan terpola adalah fraud.
Dan, surat Dirjen Pelayanan Kesehatan di atas dapat mendorong dokter spesialis mengguanakan alat canggih dan oba-obatan secara berulang-ulang yang tidak dibutuhkan, yang penting frekuensi penggunaan alat canggih terpenuhi sesuai yang ditargetkan oleh Menteri Kesehatan. Akibatnya, pasien dapat dirugikan, baik karena efek samping mapun kontra indikasi dari pelayanan. Dapat pula dirugikan dari segi finansial, karena membayar suatu yang tidak dibutuhkannya.
Bila kebetulan pasien menggunakan jasa asuransi komersial atau asuransi sosial (BPJS Kesehatan) yang mengelola JKN maka tentu akan menyebabkan kerugian kepada asuransi tersebut. Dan untuk diketahui, bila pihak asuransi sosial ataupun BPJS Kesehatan dirugikan maka bisanya dengan sangat sigap melimpahkan kesalahan itu kepada dokter, dengan tuduhan melakukan fraud, menguntungkan diri sendiri atau rumah sakit.
Menurut “Black’s Law Dictionari”, fraud adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa orang melalui tindakan kriminal), menutup sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang salah.”
Definsi di atas menjelaskan bahwa ada lima elemen prasyarat terjadinya fraud, sebagai berikut: Pertama, pernyataan materil harus ada. Kedua, pernyataan materil adalah suatu kesalahan dan orang yang berbuat salah mengetahui hal tersebut salah. Ketiga, orang yang membuat pernyataan harus merencanakan untuk mengetahui tindakan tersebut salah atau membuat orang lain salah karena pernyataan tersebut.
Keempat, orang yang dituju pernyataan salah tersebut diharapkan bertindak atas dasar penrnyataan tersebut. Kelima, pernyataan salah dibuat seseorang dengan harapan mendapatkan sesuatu yang bernlai atau berbuat sesuatu yang merugikan ke pihak yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Fraud bila ditilik dari perundang-undangan di Indonesia, dapat di temukan di dalam UU RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Istilahnya memang bukan fraud melainkan “tindak pidana perbuatan curang.” Tindak pidana perbuatan curang ini terterah pada BAB XXVII, dengan 19 pasal yang siap menjerat pelakunya.
Selain dituduh melakukan berbuatan curang, dokter yang melakukan over-utilisasi dapat pula dituduh melakukan moral hazard (bahaya moral) berupa perilaku tidak jujur atau karakter merusak yang ada pada individu yang memicu frekuensi dan keparahan kerugian. Seperti, mengajukan klaim fiktif, memperbesar jumlah klaim, dan sebagainya kepada pihak asuransi. Dan, tentu saja dokter tersebut dapat dikategorikan melakukan pelanggaran etik kedokteran.
Berpotensi Merugikan BPJS Kesehatan
Data dari https://www.cnnindonesia.com, Per 1 September 2024, lebih dari 277 juta jiwa atau 98,67 persen penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai peserta JKN. Capaian ini sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan cakupan Universal Health Coverage (UHC) tercepat di dunia, dalam satu dekade.”
“Pada 2014, tercatat 92,3 juta pemanfaatan per tahun, dan pada 2023 jumlahnya meningkat menjadi 606,7 juta pemanfaatan per tahun, atau sekitar 1,7 juta pemanfaatan setiap hari. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat semakin memanfaatkan akses kesehatan yang disediakan oleh JKN,”
Pernyataan di atas disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti pada dalam Media Workshop bertajuk “Potret Satu Dekade Perjalanan Membangun Indonesia Sehat dan Menjaga Keberlangsungan Program JKN pada Pemerintahan Baru”
Sementara ini menurut catatan https://www.tempo.co, 14 November 20224, Per-Oktober 2024, jumlah peserta JKN yang tidak aktif mencapai 56,8 juta. Angka ini naik 3,3 juta dibanding periode yang sama pada 2023. Meski tingkat peserta yang tidak aktif mencapai sekitar 21 persen, BPJS Kesehatan sampai saat ini belum berencana menghapus tagihan peserta yang memiliki tunggakan.
Meningkatnya pemanfaat JKN oleh perserta dari satu sisi tentu sangat menggembirakan, namun bila terdapat 58,8 juta peserta yang menunggak maka ini sangat menghawatirkan. Apalagi iuran yang dibayarkan peserta cenderung konstan. Mengapa menghawatirkan? Sebab, tidak menutup kemungkinan BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit atau gagal bayar. “Besar pasak daripada tiang,” kata pribahasa.
Masih segar dalam ingatan kita semua, tahun 2018 BPJS Kesehatan mengalami gagal bayar karena defisit Rp19,4 triliun dan tahun 2018 kembali lagi defisit sekitar Rp 13 triliun. Ketika itu pemilik dan direktur rumah sakit berteriak, perusahan farmasi dan alat kesehatan berteriak, dokter dan tenaga kesehatan lain di rumah sakit pun ikut berteriak karena rumah sakit tidak punya dana untuk membayar mereka.
Lalu, apa hubungannya dengan terbitnya Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024 dari Dirjen Pelayanan Kesehatan-Kementerian Kesehatan dengan defisit BPJS Kesehatan? Terbitnya surat ini dapat mempercepat defisitnya BPJS Kesehatan. Mengapa demikian? Sebab, surat tersebut mendorong dokter spesialis dan manajemen rumah sakit vertikal untuk melakukan over-utilisasi pelayanan.
Persoalannya kemudian bila BPJS Kesehatan merugi atau defisit sehingga gagal bayar, maka kembali lagi, pihak yang paling gampang disalahkan adalah dokter spesialis yang meresepkan obat dan menggunakan alat canggih di rumah sakit. BPJS Kesehatan dan para politisi Senayan jarang mau menengok semakin meningkatnya pemanfaat program JKN oleh rakyat setiap tahun, yang berarti pula makin banyak dana yang terbelanjakan.
Tidak pernah pula melirik bahwa iuran BPJS Kesehatan cenderung konstan dan banyaknya peserta yang menunggak bayar iuran. Apalagi mau membaca bahwa telah terbit Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024 yang mendorong over-utilisasi dan berpotensi menjerumuskan dokter untuk berbuat kriminal. Juga, tanpa perlu memeriksa lebih lanjut apakah dokter tersebut menyalahi standar pelayanan kesehatan yang telah disahkan Kementerian Kesehatan sehingga dikatakan melakukan fraud. Bukan hanya itu seringkali mereka langsung melakukan jumpa pers, membangun opini, dan meminta KPK untuk melakukan pemeriksaan.
Ini pun belum selesai, sebab bila dokter spesialis telah dituduh melakukan pidana perbuatan curang atau fraud yang berakibat kerugian BPJS Kesehatan, makan kemungkinanya BPJS Kesehatan tidak mau membayar biaya yang telah dikeluarkan oleh rumah sakit. Lalu, siapa yang harus menanggungnya? Pihak yang paling gampang ditekan untuk membayar adalah pihak yang lemah, yakni dokter spesialis dan mungkin juga manajemen rumah sakit, yang juga adalah seorang dokter.
Catatan Akhir
Bila BPJS Kesehatan kembali gagal bayar sebagaimana tahun-tahun sebelumnya maka sangat wajar bila banyak yang berteriak. Sayangnya yang selalu menjadi pesakitan adalah dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit. Karena itu, pesan penulis adalah berhati-hatilah wahai para sejawatku pada dokter spesialis, jangan mudah diiming-iming atau didorong untuk melalukan tindak kriminal atau tindak pidana perbuatan curang.
Sangat mudah dipahami ketika banyak orang berteriak bila BPJS Kesehatan mengalami kerugian dan defisit sehingga gagal bayar. Sebab, terlalu banyak rakyat yang menggantungkan akses pelayanan kesehatannya kepada BPJS Kesehatan. Bila BPJS Kesehatan gagal bayar atau defisit maka rakyatlah yang akan merasakan kerugian besar.
Taruhlah Menteri Kesehatan, direktur utama rumah sakit, dan sejawat dokter spesialis tidak menggunakannya kartu JKN yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan, tapi tidak menutp kemungkinan bahwa ada sanak keluarganya yang masih menaruh harapan terhadap BPJS Kesehatan. Masih ada peserta JKN kelas III sebanyak 192,46 Juta (71,42%) dari total peserta BPJS Ksehatan per-Mei 2024.
Masih ada pekerja/buruh yang mungkin mengambil kelas II dan juga masih ada para pensiunan baik ASN maupun swarta dari berbagai eselonisasi, yang karena pensiun sehingga beralih menjadi peserta mandiri. Para pensiunan ini boleh jadi sudah rutin menggunakan kartu JKN (BPJS Kesehatan) untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Dan juga masih banyak penyandang penyakit katastropik yang secara rutin menggunakan kartu JKN-nya untuk berkonsultasi kepada dokter dan dokter spesialis. Karena itu, hendaknya semua pihak berhati-hati dan menahan diri. Kementerian Kesehatan perlu berhati-hati dan menahan diri untuk tidak mendorong dokter dan manajemen rumah sakit vertikal melakukan over-utilisasi. Dokter dan manajemen rumah sakit juga hendaknya berlaku jujur, tidak melakukan perbuatan curang, serta bekerja menurut standar pelayanan, standar kompetensi, dan moral etik yang dimikinya.
Juga, BPJS Kesehatan perlu berhati-hati melakukan verifikasi klaim secara jujur dan benar. Bila klaim itu wajar dan semua prosedur telah terpenuhi maka bayarlah segera, jangan ditunda-tunda. Bila persyarakat klaim belum lengkap maka mintalah kepada dokter dan manajemen rumah sakit untuk segera melengkapinya, kemudian dibayar.
Tetapi, bila ditemukan ada ketidakwajaran dalam pengajuan klaim maka jangan buru-buru membayarnya, sebab boleh jadi di dalamnya tedapat moral hazard atau bahkan potensi kecurangan. Bila manajemen BPJS Kesehatan buru-buru membayarnya, bisa saja BPJS Kesehatan dicurigai melakukan persekongkolan yang dapat merugikan program JKN. Karena itu, verifikasilah dengan sangat cermat. Bila perlu minta bantuan pihak ketiga agar semua terhindar dari masalah.
Lalu, bagaimana peran IDI dan perhimpunan dokter spesialis yang anggotanya menjadi obyek dari Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024 tersebut? Hemat penulis, IDI dan perhimpunan dokter spesialis pun perlu mengingatkan anggotanya agar berhati-hati. Dan mengadakannya bahwa di dalam sistem rumah sakit vertikal, dokter spesialis itu termasuk pihak yang sangat mudah dijadikan “kambing hitam” bila rumah sakit mengalami kerugian. Hal yang sama juga bila BPJS Kesehatan mengalami kerugian yang berakibat terjadinya gagal bayar.
Bila IDI dan perhimpunan dokter spesialis telah mengingatkan anggota, namun anggotanya tidak mendengar maka tugas dan tanggung jawab IDI dan perhimpunan sudah selesai atau berkurang. Setidaknya tidak dianggap membiarkan anggotanya melakukan tindak kriminal berupa tindak pidana perbuatan curang.
Dan, bila IDI serta perhimpunan masih memiliki sedikit keberanian, dapat pula mendesak Menteri Kesehatan untuk mencabut suratnya tersebut. Tapi, bila Menteri Kesehatan tetap kukuh pada pendiriannya, maka jalur hukum dapat ditempuh agar penegak hukum dapat memerintahkan untuk mencabutnya. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015