In Memoriam: Mengabadikan Bachran Mile Lewat Momen-momen Indah

0
1731
- Advertisement -

PINISI.co.id- Khusus bagi anak-anak 81 PPSP Ujungpandang, Bachran Mile lebih karib disapa Bambang. Ia adalah tipikal pemimpin yang selalu mendorong, inisiator dalam pelbagai hal, dan sedikit provokatif untuk hal-hal yang dianggap mandek. Pembawaannya yang riang, dan pergaulannya yang lintas angkatan membikin Bambang familiar di seluruh alumni PPSP se Indonesia, bahkan.

Itu lantaran Bambang pindah ke PPSP Jakarta saat kelas X sehingga dikenal di seantero angkatan. Ia kemudian kuliah jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang melahirkan Andy F Noya, salah satu jurnalis keren dan aku kuliah seni rupa di IKJ, yang melahirkan Riri Riza, masih kerabat Bambang. Riri salah satu sutradara terkemuka Indonesia. Aku sendiri bubar di paruh jalan.

Lama tak pernah ketemu, pada suatu hari ia memergoki aku di resepsi pernikahan putra Tanri Abeng di JCC. Ia tertawa berderai melihat aku mengenakan baju batik, — suatu hal aneh buatnya. Sebab selama ini aku selalu mengenakan kaos oblong atau kemeja yang digulung. Untuk kali pertama aku memakai batik dan pertama kali pula aku dipotret dengan kamera analog miliknya.

Sejak era media sosial, komunikasi kian cair, dan dialah yang mengajakku bergabung ke DAJ PPSP. Aku telat memiliki gawai dan lebih nyaman memakai telepon manual lewat wartel. Tapi jaman tak dapat dilawan, sampai aku mempunyai smartphone. Hubunganku dengan Bambang kian intens.

Makin ke sini, relasi dengan komunitas PPSP makin kental lantaran Bambang yang tiada henti memotivasi dan tindkannya selalu persuasif. Lebih dari itu, setiap gelaran PPSP baik di Jabodetabek, maupun di Makassar, Bambang lah yang selalu menjemput dan mengantar pulang — tentu didampingi istrinya: Fatma — yang mencintainya hingga akhir — kawanku sejak di SMP Sungguminasa.

- Advertisement -

Tak cukup di situ, Bambang tak pernah kehilangan waktu mengabadikan momen-momen indah baik secara personal maupun bareng-bareng sesama komunitas PPSP dalam hal apapun — meski bagi kami mungkin itu remeh remeh. Namun buatnya itu menjadi karya yang artistik. Sejumlah karyanya aku pajang di ruang tamu rumahku. Foto aku dan istriku. Setiap kali aku memandang fotoku, serta merta aku taksim kepada pemotretnya: Bambang.

Bambang pula yang menyarankan agar setiap aku menerbitkan buku idealnya menyertakan foto penulis sebagaimana lazimnya. Aku sungkan. Tapi ketika ia menawari akan memotretku di studionya — tentu dengan pose yang manis — aku antusias. Namun itu tak terwujud hingga Covid datang menyergap. Padahal di buku berikutnya yang masih direview penerbit ia berjanji akan memajang fotoku hasil jepretannya.

Di DAJ, Bambang bersama Fatma — belahan jiwanya — adalah pasangan pelayan ketika DAJ atau PPSP 81 melakukan perhelatan. Aku diuntungkan, karena selalu sekamar dengannya. Sementara istriku sekamar dengan Fatma.

Istriku merasa enjoi dan menikmati keguyuban PPSP. Meski ia alumni SMANSA namun ia lebih merasa keluarga besar PPSP — itu karena Bambang yang acap menelponnya langsung untuk ajakan pesiar misalnya. Termasuk ke Pulau Seribu, Sentul, dan Yogya, awal Maret lalu.

Setahun terakhir, ia mulai mengeluh sakit dada — penyakit yang sebetulnya aku juga idap lebih dulu. Aku divonis jantung koroner sehingga sering sesak, namun aku menikmatinya saja dengan gembira.

Kami sering bertukar kabar terkait penyakit dan membahas tentang kematian sebagai sesuatu yang niscaya.

Kawan-kawan kita sudah banyak yang berpulang, kataku.

“Ah, kita pasrah saja karena sudah diberi umur panjang,” balas Bambang.

“Sepulang dari Yogya ke dokter aja,” saranku.

Di Yogya, saat senja berganti malam, pada acara Jokka-jokka DAJ jantungku terserang dadakan, sementara Bambang juga tampak meringis dan membiarkan kamera tergeletak dan meminta tolong agar kameranya dibawa ke kamar.

Sepulang dari Yogya, kami sering menyemangati dan saling berdoa agar senantiasa dalam lindungan Allah.

Semangat ya Bang. Aku juga nunggu jadwal operasi katarak. Setelah itu periksa jantung, kataku.

Sore, aku dalam keadaan yang payah di rumah, tersengat ketika terkabar Bambang — pria yang penuh energi itu dipanggil oleh Sang Pencipta, Rabu 5 April 2023.

Istriku tak percaya dan dalam suara yang tercekat melantunkan doa. Aku tak bisa berkata-kata lagi dan hanya air mata jatuh berlinang.

Kita semua bakal menyusulnya, cepat atau lambat. Maut datang tanpa mengetuk pintu dan pergi tanpa pamit. Di sana Bambang menunggu dan tak perlu lagi mengabadikan momen-momen syahdu, tersebab reuni kita abadi selamanya di tempat almarhum istirah.

Alif we Onggang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here