Kolom Muslimin Mawi
Forum diskusi organisasi hari itu berlangsung meriah, bukan oleh canda tawa, tapi oleh debat yang seru. Aula penuh sesak dengan pengurus yang membawa agenda dan konsep masing-masing, tapi perhatian semua mata kerap tertuju pada dua sosok. Indo, si pendebat ulung yang lebih gemar mematahkan argumen daripada membangunnya dan Ambo, si inovator tenang yang konsep dan ide-idenya bak aliran sungai jernih, segar dan penuh kehidupan.
Indo, dengan gaya khasnya, selalu terlihat sibuk menata argumen, meskipun sering kali argumen itu hanyalah tumpukan kata tanpa isi. “Yang penting meyakinkan,” begitu mungkin prinsip hidupnya. Ketika tiba giliran Ambo untuk berbicara menyampaikan konsep yang dibawanya, suasana berubah. Ambo menjelaskan
gagasannya tentang konsep program untuk organisasi dengan runut, lengkap
dengan data dan analogi yang mengesankan.
Peserta lain mengangguk-angguk,
seolah telah menemukan cahaya di lorong gelap. Namun, belum selesai Ambo menutup presentasinya, Indo sudah memotong dan mengangkat tangan tinggi-tinggi, bahkan lebih cepat dari anak SD yang tahu jawaban soal matematika. “Menurut saya, itu konsep dan ide yang terlalu berlebihan,” katanya dengan nada penuh percaya diri, meskipun belum satu pun dokumen yang dibacanya.
Ambo menatap Indo dengan senyum tipis. “Indo, bagian mana yang menurut Anda berlebihan?” tanyanya datar tapi pasti.
“Semua,” jawab Indo singkat, seolah-olah satu kata itu cukup untuk menjelaskan segalanya. Ia melanjutkan dengan argumen kosong, yang intinya hanya satu, pokoknya tidak setuju.
Para peserta mulai saling pandang, mencoba menahan tawa. Indo sering kali bicara seperti aktor di panggung besar, gesturnya megah, tapi isi ucapannya seperti naskah yang belum selesai ditulis. Ambo, di sisi lain, tetap tenang. Ia paham, menghadapi Indo tidak harus dengan emosi, cukup dengan akal sehat dan sedikit humor.
Baiklah, Indo,” kata Ambo sambil tersenyum. “Mungkin konsep dan ide saya memang sulit diterima. Tapi kalau kita tidak pernah mencoba hal baru, organisasi ini akan seperti sepeda yang bannya kempes, jalan tapi lambat dan bikin capek.”
Tawa kecil terdengar dari peserta. Indo terdiam, wajahnya memerah seperti
ketangkap basah membawa contekan di ujian. Ia tahu, Ambo lebih unggul. Namun, rasa takut kehilangan pamor membuat Indo semakin gencar menolak konsep dan ide Ambo, bahkan tanpa alasan yang jelas.
Situasi semakin lucu ketika Indo tiba-tiba mengusulkan sebuah gagasan yang….. ya, ternyata hampir sama dengan yang telah disampaikan Ambo. Kali ini, peserta lain mulai tak tahan. Salah satu pengurus senior, Pak Muis, akhirnya angkat bicara.
“Indo,” kata Pak Muis, dengan senyum yang hangat tapi menusuk seperti matahari pagi. “Anda ini seperti orang yang menyiram bunga, lalu marah karena bunga itu tumbuh. Ide Ambo sudah jelas bagus, tapi Anda sibuk menolak tanpa alasan. Saya sarankan, sebelum menolak sesuatu, setidaknya baca dulu. Jangan sampai terlihat seperti main catur tanpa tahu cara mainnya.”
Suasana hening di ruang Aula. Indo terdiam, seolah-olah baru saja mendapat ceramah dari guru sekolah yang sabar tapi menohok. Ambo hanya tersenyum kecil, menundukkan kepala.
Di akhir forum, Pak Muis message via flat form WA kepada Ambo. “Kamu ini seperti air di gelas, tenang, tapi mengisi. Teruslah seperti itu. Orang yang ribut seperti Indo hanya seperti gelas kosong berbunyi keras kalau diketuk.”
Ambo tertawa kecil saat membaca. Ia sadar, dalam organisasi, persaingan adalah hal biasa. Namun, ia yakin, profesionalisme dan ide yang jernih akan selalu menjadi penyeimbang bagi siapa pun, bahkan mereka yang terlampau sibuk berperilaku aneh dengan menonjolkan diri, karena ambisinya. Tamat.
Eramas 2000, 24 November 2024