Insan Gelati: Pensenyawaan dan Persaudaraan Tanpa Batas

0
180
- Advertisement -

Reuni Gelati di Kuwait, 1-5 Desember 2024 (1)

Kolom Zaenal Abidin

Insan Gelati resmi menjadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddain (Unhas) pada Tahun Ajaran 1983/1984. Setelah sebelumnya diumumkan melalui media resmi Unhas, Tabloid Identitas. Pagi hari pengumuman seluruh calon mahasiswa Unhas berbodong-bondong menuju kampus Unhas Baraya, Jalan Masjid Raya Ujung Pandang (Makassar) untuk membeli Tabloid Identitas, kemudian membuka pengumuman sesuai fakultas yang dipilih. Tentu yang memilih Fakultas Kedokteran akan mencari nama dan nomor tesnya pada deretan nama-nama yang diterima di Fakultas Kedokteran.

Setelah mengetahui diterima, kami wajibkan untuk mendaftar ulang sekaligus membayar SPP, sebesar Rp 40.500,- (Empat Puluh Ribu Lima Ratus Rupiah) per-semester. Di tempat pembayaran SPP sudah terpasang pengumuman, mahasiswa baru yang telah membayar SPP agar segera menuju ke Fakultas Kedokteran untuk mendaftar Ospek dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Reuni Pertama 2010

- Advertisement -

Sekian lama Insan Gelati baru menyelenggarakan reuni, bukan berarti tali persaudaraan mereka terhenti. Komunikasi sesama Insan Gelati tetap terjalin, melalui hubungan telepon, sms, email, grup BlackBerry Messenger (BBM), sampai sampai membuat grup WhatsApp (WA).

Memang menjelang reuni pertama, di antara kami memang ada yang sering bertemu, misalnya yang bermukim di Makassar dan Jabodetabek paling sering dan mudah bertemu. Hal ini berbeda dengan Insan Gelati yang bertugas di daerah lain, intensitas pertemuannya jarang. Kecuali bila kebetulan ada pertemuan ilmiah berkala, namun itu terbatas pada disiplin tertentu (berdasarkan kesamaan disiplin ilmu).

Kemungkinan lain misalnya karena Insan Gelati yang kebetulan orang Sulsel pulang kampung, seperti untuk lebaran, dan lain-lain. Atau salah satu dari Insan Gelati kebetulan berkunjung ke suatu daerah lalu bertemu dengan Insan Gelati yang bertugas di daerah tersebut.

Kami yang berada di Jabodetabek, secara kebetulan beberapa insan Gelati sedang mengikuti kuliah S2 Hukum dengan konsentrasi Hukum Kesehatan, selama kuliah setiap akhir pekan selalu bertemu. Mendiang dr. Tince P. Soemoele, selalu mengajak penulis yang saat ini sebagai President Elect (Ketua Terpilih) PB Ikatan Dokter Indonesia untuk mencari data insan Gelati di dalam database IDI, sebab menurutnya kalau mereka lulus menjadi dokter pasti terdaftar sebagai anggota IDI.

Karena itu, penulis meminta bantuan kepada staf PB IDI untuk menelusuri dan alhamdulillah sebagaian besar ketemu datanya. Persoalan kemudian bagaimana mengubungi atau memberi tahu kalau akan ada reuni? Salah satu upaya yang penulis lakukan adalah menghubungi ketua IDI cabang tempat insan Gelati berdomisili. Sebagian pula penulis ketemu langsung bila kebetulan sedang ada tugas keluar kota.

Bila seluruh upaya itu telah dilakukan dan ternyata masih ada Insan Gelati yang belum dijumpai maka menjadi tugas seluruh Insan Gelati untuk saling mencari sampai dapat. Dan, Alhamdulillah hingga menjelang reuni pertama, semua Insan Gelati telah diketahui keberadaannya. Meski pada saat reuni tidak semua berkesempatan untuk hadir.

Satu pesan mendiang dr. Tince di ruang kuliah, yang penulis sulit lupakan: “Enal, ayo kita buat reunian Gelati, jangan sampai nanti kita reuninya di panti jompo. Kita saling ketawa-ketiwi tapi sudah tidak saling kenal.”

Setelah Reuni 2010 itu, boleh dikata hampir setiap tahun Insan Gelati menyelenggarakan reuni sampai 2024 ini, yang akan menyelenggarakan reuni di Kota Kuwait. Kesempatan kali pertama bagi Insan Gelati menyelenggarakan reuni di luar negeri dan sebagain dari peserta reuni akan melanjutkan perjalanan ke tanah suci untuk ibadah Umroh.

Persenyawaan Karakter Keras dan Kelembutan

Sejak menginjakkan kaki di Fakutas Kedokteran Unhas, kampus Baraya, Insan Gelati degembeng dengan ditempaan cukup keras dan disiplin tinggi oleh pimpinan fakultas, dosesn, dan senior. Mulai dari pra-ospek, ospek, sampai memasuki masa-masa perkuliahan, tidak boleh ada istilah telat, sekecil apa-pun itu.

Jam 07.00 waktu Baraya (WITA) seluruh Insan Gelati sudah harus berada di dalam kelas. Sebab, dosen akan selalu hadir di ruang kelas sebelum jam 07.00. Telat berarti harus “kunci pintu dari luar.” Artinya, Insan Gelati tidak diperkenankan mengikuti perkuliahan yang diampuh oleh dosen bersangkutan.

Sebelum perkuliahan selesai, dosen akan mengabsen satu-persatu. Karena itu, bila ada yang menitip tanda tangan absen, maka risikonya bisa panjang, baik yang menitip mampun yang dititipi. Pun, demikian bagi mahasiswa yang hadir pada awal jam kuliah lalu tanda tangan absen, namun pada saat akhir jam kuliah tidak hadir tanpa pemberitahuan (tanpa izin). Karena, itu bila tidak hadir lebih baik berani jujur katakan memang tidak hadir. Tidak perlu berbohong dengan cara menitip absen.

Tempaan keras, penerapan disiplin dan kejujuran tinggi tinggi bukan hanya terjadi di ruang kuliah maupun di ruang praktikum. Ketika sudah memasuki masa co-ass, tempaan pun semakin terasa. Hampir tidak ada toleransi untuk “kalasi”, telat datang, telat follow up pasien, telat masuk ruang operasi, tidak buat laporan jaga, dan lain-lain.

Alasan dosen cukup masuk akal. “Kalau dalam perkuliahan dan co-ass saja kalian tidak disiplin, tidak serius bagaimana nanti bila sudah menjadi dokter dan menangani pasien yang tidak berdaya? Bisa-bisa pasien terlantar, meninggal, yang berbuntut pasien dan keluarga pasien marah dan melaporkan kepada pihak berwajib. Ini semua karena kalian tidak memanusiakan pasien, menanganinya tidak sungguh-sungguh, penuh tipu-tipu dan kebohongan.”

Dalam hal perkuliahan dan co-ass memang hubungan Insan Gelati dengan dosen dan dokter senior memang terkesan kaku karena penuh nasihat. Namun, kondisi ini tidak berlangsung sepanjang waktu. Sebab, di luar jam kuliah, praktikum, dan jam jaga sebagai co-ass, dosen dan para dokter senior selalu bercanda dengan junionya.

Ketika kami menjalani kepaniteraan klinik di rumah sakit, tidak jarang dosen atau dokter senior meneraktir kami yang junior. Mereka membeli makanan untuk kami nikmati bersama-sama. Bahkan tidak jarang ada dokter senior yang memberi sejumlah uang kepada co-ass.

Selain karena tempaan di ruang kuliah oleh dosen dan para senior, sebetulnya jiwa yang keras dan terbuka itu sudah diwarisi Insan Gelati melalui latar belakang budaya yang dimilikinya. Insan Gelati sebagian berlatar belakang budaya kepulauan. Orang-orang pesisir sudah terbiasa menyampaikan pendapatnya secara terbuka apa adanya, suara keras-lantang, siap menanggung risiko, dan lain-lain.

Di balik tempaan keras dan disipin tinggi oleh para senior, Insan Gelati juga dibekali oleh para senior dengan tempaan sifat kasih sayang yang tinggi. Karena itu, setelah masa ospek berlalu, para senior mangajak kami Insan Gelati untuk bergaul dalam kesetaraan, berdiskusi, dan seterusnya.

Dalam urusan perkuliahan para senior sudah terbiasa meminjamkan buku/diktat kuliah, altas anatomi, atlas histologi, dan lain lain kepada kami. Ada pula yang memberi bimbingan belajar berkelomok terutama menghadapi ujian praktikum. Karena itu, Insan Gelati pun melakukan hal yang sama kepada juniornya, secara turun temurun.

Karena itu, ketika seluruh properti (berupa buku dan atlas) telah diserahkan kepada junior, apalagi diserahkan melalui organisasi maka anggap saja sudah diwariskan dan tidak akan kembali. Kecuali kalau dalam penyerahannya tardapat perjanjian untuk dikembalikan.

Tentang karater lembut. Sebetulnya karakter ini dimiliki oleh setiap makhluk insani. Namun, dalam perpektif budaya tentu saja dapat dihubungkan dengan akar budaya dari Insan Gelati itu sendiri. Tak dapat dipungkiri, sebagian Insan Gelati tumbuh dari masyarakat agraris. Masyarakat yang sudah terbiasa bertutur kata dengan nada lembut. Menyampaikan hanya yang dianggap perlu atau apa yang ditanyakan kepadanya. Intonasinya hanya meninggi bila didesak atau dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain.

Di kota Makassar dan di kampus Unhas berbagai etnik berintraksi, sekaligus memadukan kultur pesisir dan agraris. Di kota Daeng ini pula seluruh Insan Gelati memahami nilai-nilai utama kebudayaan yang dijunjung tinggi oleh suku Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar. Seperti kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha (reso dalam bahasa Bugis), kebaikan hati, tidak membeda-bedakan, keberanian, dan siri’ (“Siri’na Pacce” atau Siri’na Pesse”). Dalam hal bahasa, Insan Gelati dengan mudah menggunakan dialeg Makassar, meskipun ia bukan berasal dari etnik Makassar.

Dalam kegiatan kemahasiswaan, Insan Gelati cukup banyak yang terlibat aktif, baik di organisasi intra universitas maupun ekstra universitas. Karena itu, tidak jarang Insan Gelati harus berusaha beradaptasi bila ingin berinteraksi dengan mahasiswa di luar FKUH. Sebab, ternyata latar belakang perkulihan (jurusan atau fakultas) pun ikut membentuk karakter seorang mahasiswa dalam berdialog dan mengemukakan argumentasi. Mahasiswa dari fakultas hukum, sastra, politik, ekonomi, teknik, IAIN (sekarang UIN), IKIP (sekarang UNM), dan lain-lain, semua punya ciri khas masing-masing.

Kembali kepada budaya pesisir dan agraris yang bersenyawa di dalam diri Insan Gelati. Insan Gelati yang berkecimpun di dalam aktifitas kemahasiswan tentu tidak dapat memungkiri bahwa persenyawan dua budaya di atas membawa keberuntungan tersendiri. Mengapa? Sebab, pada saat tertentu seorang aktivis mahasiswa dituntut keberanian untuk ngotot (keras) memperjuangkan pendapat yang diyakininya benar, namun pada saat yang hampir bersamaan ia pun wajib menahan diri (bersikap lembut) untuk menerima pendapat orang lain yang bisa saja adalah benar.

Catatan Akhir

Karakter keras dan kelembutan di dalam diri Insan Gelati, pun merupakan cerminan dari lagu Mars Unhas. Bukankah pada Mars Unhas terdapat nada tinggi dan nada lembut diucapkan atau dinyanyikan secara berganti?

Nada tinggi dan nada lembut yang saling berganti tersebut menyerupai suasana pegunungan. Di pegunungan ada puncak, ada lereng, dan ada lembah. Puncak tidak perlu merasa lebih hebat dibanding lereng atau lembah. Sebab, lembah pun dapat memberi kehidupan kepada puncak. Pun demikian pada nada tinggi, ia tidak harus merasa lebih baik dibanding nada lembut, dan sebaliknya. Keduanya diciptkan bukan untuk saling mengganggu, melainkan untuk melahirkan “silasa” (keserasian atau harmoni) dan saling memberi manfaat.

Dalam budaya masyarakat Mandar, kehidupan yang “silasa” dan saling memberi manfaat ini tercermin dalam pesan: “Inggai sitaiyang apiangan, tassitaiyang adaeng; manus siorongngi, maraqba sipatokkong, malili sipakaingaq dibuttu dilappar andiangi tau mala sisaraq mallulluareq.” (artinya: Mari kita saling mencarikan kebaikan menghindarkan perselisihan, hanyut saling menyelamatkan, runtuh saling menegakkan, keliru saling mengingatkan di gunung atau di daratan persaudaran tetap dipelihara).

Semoga reuni Gelati di Kuawait 2024 dapat menjadikan Insan Gelati semakin “silasa” dan saling memberi manfaat dalam merajut persenyawaan dan persaudaraan tanpa batas. Gelati Selalu di Hati. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis (Insan Gelati FKUH dan Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here