Inspirasi Berpolitik dari Sang Guru

0
982
- Advertisement -

Kolom Dr. Muhammad Fahmi, ST, MSi 

Secara tidak sengaja, sepulang dari kantor dalam perjalanan penulis mendengarkan lagu dari Iwan Fals dengan judul Sumbang. Diantara liriknya yang begitu Kembali menggelitik penulis, Apakah slamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang’tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan?

Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya, Maling teriak maling sembunyi balik Dinding pengecut lari terkencing-kencing Tikam dari belakang lawan lengah diterjang lalu sibuk mencari kambing Hitam. Itulah syair kritis lagu Iwan Fals yang begitu fenomenal
Seketika itu juga penulis langsung menerawang jauh ke belakang. Teringat akan pesan khusus yang pernah disampaikan guru ngaji penulis di Kota Angin Mamiri Ustad Hasanuddin. Beliau pernah menyampaikan bahwa politik itu jika tidak bersandar pada agama, maka berpotensi menghadirkan kemunafikan, ketidakpastian dan hubungan antar manusia jadi sulit ditebak.

Pada faktanya, Sebagian masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik.

Pameo tentang “Dalam politik tidak ada musuh dan kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”, seolah menjadi realitas dan fakta yang terkadang semakin membingungkan masyarakat. Hari ini menjadi kawan, besok bisa jadi menjadi lawan hanya karena perbedaan kepentingan yang secara bersamaan mengatasnamakan rakyat.

- Advertisement -

Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk/kotor? Seperti pertanyaan Iwan Fals dalam syair lagu berjudul Sumbang. Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik jika bersandar pada agama dan etika merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.

Sementara itu, Media sosial saat ini telah menjadi wadah kampanye yang dimanfaatkan baik oleh simpatisan, tim sukses, relawan maupun sang kandidat pasangan calon (paslon). Penggunaan media sosial sebagai media kampanye sebenarnya tidak salah, akan tetapi pengguna medsos seringkali salah dalam menunjukkan sikap politiknya di dunia maya. Banyak pengguna yang menyebarkan informasi mengandung fitnah dan penghinaan atas person / individu, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sindir menyindir menjadi fenomena yang berkesinambungan, saling balas membalas. Semua merasa diri yang paling benar, semua merasa diri yang paling baik, paling unggul, pantas diperhitungkan dan dipilih.

Kurangnya kesadaran para pelaku politik dalam berpolitik menjadi hal yang perlu menjadi perhatian bagi kita bersama, hal ini dapat dilihat dari maraknya sajian tontonan video yang beredar di media sosial dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama dan kebangsaan seperti yang ada di sila-sila Pancasila. Kesadaran masyarakat dalam beretika di media sosial menjadi hal yang sangat penting, supaya tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain sebagai sesama pengguna media sosial.

Medsos saat ini sangat bisa dimanfaatkan oleh partai politik dan paslon untuk berkampanye. Medsos terbukti bisa lebih signifikan membentuk opini publik, terutama di daerah perkotaan yang sebagian besar masyarakat telah menggunakan smartphone. Namun demikian tidak bisa dengan seenaknya medsos dijadikan ajang berperang didunia maya untuk kepentingan tertentu, kepentingan politik dengan mengabaikan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam konteks kebangsaan, pemahaman seluruh rakyat Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan pedoman di Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar sedang diuji. Pertanyaan besar bagi bangsa ini adalah benarkah bangsa kita ini memegang dengan teguh Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah hal itu hanya sebagai hiasan kata-kata yang keluar dari mulut saja? Para politikus, tokoh-tokoh partai politik, paslon, relawan, paham tentang Pancasila sebagai ideologi dan pedoman bernegara?

Jika jawabannya memang ‘iya’, idealnya penerapan sila-sila dalam Pancasila secara global menjadi kerangka berpikir dan berperilaku seluruh masayarakat Indonesia, yang selalu menerapkan dan menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dalam melakukan apapun selalu mengingat Tuhan. Selalu mengedepankan rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam menimbang sebuah tindakan yang akan dilakukan. Mengutamakan Persatuan Indonesia sebagai kerangka berpikir, berpolitik, bahkan dalam bersaing untuk mencapai sesuatu tetap mengedepankan Persatuan, bukannya malah memecah belah bangsa ini dan membuat gab atau jarak satu dengan yang lainnya.

Dalam mengambil sebuah keputusan dan pergerakan bagi bangsa ini, dan para tokoh-tokoh bangsa seharusnya selalu mempertimbangkan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Harus menjadi sesuatu yang hikmat dan bijaksana bagi masyarakat. Seluruh kerangka berpikir harus menitikberatkan pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak ada lagi yang namanya beda plihan menjadi saling bermusuhan, saling menjatuhkan, saling memfitnah dan mengabaikan rasa keadilan sosial. Dimata negara ini seluruh rakyat Indonesia memiliki hak mendapatkan Keadilan Sosial. Bukan hanya partai atau golongan tertentu.

Berdasarkan hal-hal tersebut, seluruh rakyat Indonesia harus cerdas dalam bersikap terutama di medsos. Sebab, dalam demokrasi, hak yang dimiliki seseorang tidak boleh menciderai hak orang lain dan hak seseorang tidak boleh diciderai oleh hak orang lain. Hargailah perbedaan, fokus pada gagasan, tidak memfitnah, tidak menghina, dan tidak melontarkan kebencian. Sikap politik harus jadi bagian dari pendidikan politik dalam bingkai kedewasaan berdemokrasi.

Dalam sebuah demokrasi sebagai pemilih harus bersikap kritis terhadap informasi dan berita yang didapat. Pemilih perlu melakukan check dan recheck untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut dan jangan menyebarkan informasi yang tidak bisa diyakini kebenarannya. Berbagilah informasi hanya yang memang bermanfaat.

Pancasila Sebagai Landasan Dasar Karakter dan Etika Politik
Pancasila sebagai landasan dalam membentuk karakter tertuang dalam setiap azas di dalam pancasila. Setiap azas yang dijabarkan dalam pancasila tersebut menuntun masyarakat untuk membentuk karakter yang baik, dimana dalam sila pertama dituangkan tentang ketuhanan yang maha esa, dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan didasarkan pada ajaran agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Sila ke dua di tuangkan tentang Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam sila ini pembentukan karakter yang dibentuk yaitu bagaimana menjunjung nilai-nilai toleransi, menjunjung tinggi keadilan, sopan, santun, dan lainnya. Sila ketiga di tuangkan tentang Persatuan Indonesia, pembentukan karakter dalam sila ini dapat dijabarkan tentang menjunjung tinggi nilai persatuan masyarakat meskipun masyarakat Indonesia di warnai oleh keanekaragaman budaya namun tetap bersatu, yang di tuangkan dalam falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti “berbeda-beda tetap satu jua”.

Falsafah tersebut memiliki makna mendalam yang dimaknai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia mengakui realitas sebagai bangsa yang majemuk (suku, bahasa, agama, ras, golongan dll) namun tetap menjunjung tinggi persatuan. Sila ke empat yang dituangkan tentang Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dalam sila ini karakter yang dibentuk yaitu membentuk masyarakat arif dan bijaksana dalam bertutur dan bertindak, menjunjung tinggi musyawarah dalam mencapai sebuah kesepakatan bersama, membentuk perwakilan yang memimpin masyarakat dengan menjunjung tinggi hasil musyawarah masyarakat, mementingkan kepentingan umum, pemimpin yang mampu berbuat arif dan bijaksana dalam memimpin. Sila kelima tertuang dalam Keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pendidikan karakter yang tertuang dalam sila ini yaitu membentuk masyarakat yang adil, tanpa adanya tebang pilih terutama dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendidikan karakter yang tertuang dalam Pancasila ini harus dipahami dan mencerminkan karakter bangsa Indonesia melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politik.

Pandangan Islam Mengenai Politik

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah air adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”. Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik
Karena praktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.

Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).

Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.

Di akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan cerita inspiratif dari sang guru ngaji ustad Hasnuddin. Pada suatu hari Seorang Guru yang akan mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila, mengawalinya dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm di papan tulis, kemudian meminta murid-muridnya untuk menemukan cara bagaimana memperpendek garis tersebut.
Murid pertama maju ke depan lalu menghapus sekitar 2 cm pada garis tersebut, sehingga menjadi sekitar 8 cm. Murid-murid yang lain menganggukkan kepala, tanda mereka menyetujui tindakan murid tersebut. Guru tersebut lalu mempersilakan dua murid berikutnya. Kedua murid tersebut melakukan hal yang sama, yaitu masing-masing menghapus 2 cm dari garis yang masih tersisa, sehingga akhirnya tinggal tinggal 4 cm.

Kemudian Guru tersebut bertanya apakah ada acara lain bagaimana memperpendek garis tersebut selain dengan cara menghapusnya sedikit demi sedikit seperti yang telah dilakukan oleh ketiga orang murid tersebut. Kebanyakan murid menggelengkan kepala, menandakan bahwa mereka tidak lagi mengetahui cara lain yang diminta sang Guru tersebut.
Secara tidak disangka-sangka majulah seorang murid perempuan ke depan kelas. Ia tidak menghapus garis yang masih tersisa, namun ia membuat garis yang lebih panjang sejajar dengan garis pertama yang tinggal 4 cm itu.

Melihat apa yang dilakukan murid perempuan tersebut, murid-murid yang lain terpana. Kemudian Guru itu pun berkata: “Kau memang bijak. Untuk membuat garis itu menjadi pendek, tak perlu menghapusnya, namun cukup dengan cara membuat garis yang lebih panjang. Dengan cara begitu, garis pertama akan menjadi lebih pendek dengan sendirinya.”
Bermula dari pengalaman itu, Guru tersebut kemudian meneruskan pelajaran hari itu dengan menyampaikan pesan moral yang dapat dipetik dari peristiwa tadi.cerita tersebut kata Guru, memuat ajaran moral bahwa dalam kehidupan bersama, kita tidak dibenarkan untuk mengecilkan orang lain, apalagi menghapus keberadaannya. Menghapus garis lurus tadi ibarat mengecilkan atau menghapus eksistensi orang lain.bahkan bisa menghapus Sejarah dan jasa baik orang lain. Untuk menjadikan “lebih besar” dibandingkan dengan orang lain, tidak harus dengan “mengecilkan” orang lain, melainkan dengan “memperbesar” prestasi diri kita.  Kalau terpaksa kita harus menunjukkan bahwa perbuatan, tindakan atau pekerjaan orang lain itu masih banyak kekurangannya, kita cukup melakukan perbuatan yang lebih baik, maka perbuatan orang lain yang kita anggap kurang baik tersebut akan nampak ketidakbaikannya atau kekurangannya.

Untuk tidak membuat lingkungan hidup kita menjadi lebih kotor, kita tidak selalu harus dengan menyapunya seperti yang dilakukan oleh petugas kebersihan, namun sekurang-kurangnya kita tidak membuang sampah seenaknya di lingkungan tersebut. Menjaga kebersihan lingkungan tidak harus dengan menunggu terciptanya sistem pembersihan yang canggih, namun dapat dimulai dengan menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri untuk tidak menambah sampah di lingkungannya sendiri. Sayangnya kebanyakan dari kita, terutama generasi muda kita, justru lebih cenderung untuk melakukan hal yang sama atau bahkan meniru apa yang telah dilakukan orang terdahulu, padahal kita tahu bahwa hal itu tidak benar. Kita bisa menjadi besar tanpa harus mengecilkan kebearadaan orang lain.

Kalau etika, nilai-nilai moral, dan kode perilaku sudah menginspirasi dan mengkristal dalam diri kita sebagai anak bangsa, maka akan lahir politik yang santun, menghargai dan menguatkan, sertai kompetisi yang fair. Etika harus menjadi pegangan setiap individu warga bangsa. Etika juga diibaratkan sebagai remote control bagi penyelenggara dalam menjalankan tugas, fungsi, serta wewenangnya sebagai sebagai apaun kita dalam kontestasi demokrasi. Tugas kita semua untuk menjadikan politik itu menyejukkan, membahagiakan dan menginspirasi sesama warga bangsa untuk saling menghargai dan menghormati hak konstitusional warga bangsa… aamiin

Penulis adalah “Penulis Buku Cita-Citaku Jadi Presiden”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here