Oleh Imran Duse
Jusuf Kalla dan perdamaian adalah satu tarikan nafas. Sebab, ketika membicarakan perdamaian, maka referensi historis kita merujuk sosok JK –panggilan akrab Dr. (Hc) Drs. H.M. Jusuf Kalla. Sebaliknya, begitu mendengar nama JK, terlintas figur yang menggerakkan sejumlah muslihat penyelesaian konflik di tanah air hingga ke belahan dunia lain.
Tepatlah bila mantan Kapolri Tito Karnavian pernah menyebut JK sebagai Tokoh Perdamaian Indonesia. Mengingat inisiasi dan kepiawaian JK dalam memediasi konflik, bahkan yang berdarah dan telah berlangsung cukup lama.
Yang mengesankan, JK selalu mengedepankan cara-cara dialogis dan bermartabat yang melibatkan para pihak. Ia menafikan corak kekerasan, karena tak akan mampu membawa pihak-pihak bertikai ‘saling menyapa’. Sikap ini juga mewarnai kepemimpinan JK. Kita bisa menyebutnya sebagai ‘jalan kedamaian’.
Marka ‘jalan kedamaian’ itu kembali terasa dalam pidato dan pernyataan JK yang disampaikan dalam tiga kesempatan berbeda. Pertama, saat JK berpidato dalam Halal Bi Halal ICMI (12/05/2023), disusul wawancara ekslusif dengan TvOne (15/05/2023), dan terakhir dalam peringatan 21 tahun PKS (20/05/2023). Semuanya berlangsung di Jakarta.
Dalam wawancara dengan TvOne, sebuah kejutan muncul di akhir acara. Tanpa terduga, kru TvOne datang membawa kue tart sembari menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Hari itu, 15 Mei 2023, JK genap berusia 81 tahun.
Kita tentu ikut berbahagia dengan mengirimkan doa terbaik: semoga Pak JK selalu dalam rahmat Allah swt untuk terus melanjutkan peran kebangsaan di ‘jalan kedamaian’ yang selama ini ia lakoni.
Potensi Konflik
Dalam tiga kesempatan tadi, JK berbicara sejumlah subtansi yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh. Saya mencatat 2 hal yang perlu dicermati. Pertama, warning tentang potensi konflik yang sedang mengintai di tengah masyarakat, dan, kedua, terkait usia reformasi yang pada 21 Mei 2023 tepat 25 tahun.
Kaitan hal pertama, Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019 itu mencontohkan beberapa fenomena mutakhir sebagai gejala yang patut diwaspadai. Misalnya saja, seorang ASN yang dianggap memamerkan tas seharga ratusan juta rupiah di akun media sosialnya hingga memantik “keingintahuan” (dengan tanda kutip) dari netizen.
Seperti diberitakan secara luas, Kepala Dinas Kesehatan Lampung Reihana dianggap kerap memamerkan gaya hidup mewah. Ini rupanya menggores rasa kepantasan publik. Dunia maya pun jadi ramai, hingga membawa Reihana berurusan dengan KPK.
Reihana hanyalah satu contoh. Selain itu masih banyak. Ada sejumlah pegawai di lingkungan Departemen Keuangan yang juga sempat menjadi sorotan publik. Kasus Rafael Alun Trisambodo, tentu saja, yang paling menyita perhatian.
Berawal dari peristiwa penganiayaan yang dilakukan putranya, Mario Dandy Satrio, simpati publik kemudian mengalir pada korban. Algoritma netizen pun bekerja, melacak jejak digital Mario. Dan ketemu: beberapa capture status Mario di media sosial memperlihatkan penampilannya yang aduhai: Rubbicon, Harley Davidson, dan seterusnya.
Dari sana terbit pertanyaan: apa pekerjaan orang tua anak muda ini? Seperti apa performance keuangannya? bagaimana LHKPN-nya?
Berlapis enigma itu akhirnya bermuara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rafael ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan atas kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Tapi, point yang saya tangkap dari pernyataan JK, di masyarakat saat ini tengah bersemi sikap yang merindukan keadilan; yang menemui kebuntuan di sejumlah percakapan publik. Sesuatu yang perlu pengelolaan agar tidak bertumbuh ke arah konflik sosial. Sebaliknya, energi yang ada justeru diarahkan kepada adaptasi kelompok, interaksi dan peneguhan sistem sosial.
Reaksi netizen terhadap praktik-praktik flexing belakangan ini, boleh jadi merupakan luapan yang oleh Lewis Coser (1956), sosiolog kelahiran Jerman, disebut sebagai ‘safety value’ (katup penyelamat). Yakni sebuah mekanisme yang mengakomodasi dan menyalurkan ekspresi permusuhan tanpa menghancurkan struktur yang ada.
Dalam berbagai fenomena “the power of netizen”, sebagaimana disinggung di atas, ungkapan kemarahan publik melalui media sosial boleh jadi merupakan kanal yang meredam konflik yang lebih besar. Ia menjadi semacam oposisi yang tidak menyebabkan kerusakan hebat.
Mereka mungkin menyimpan rasa kesal akibat perjuangan UU Omnibus Law yang tidak happy ending (atau UU KPK, upah buruh, dan sebagainya). Perasaan dongkol itulah yang tumpah di media sosial dan menyasar pelaku flexing.
Maka warning JK perihal potensi konflik sosial dapat dimaknai sebagai anjuran mempercakapkan sisi positif dari kenyataan sosial yang terjadi sehingga tidak mengarah pada kemerosotan kehidupan sosial kita.
Periode Kebangkitan
Point kedua yang menjadi perhatian saya dari pernyataan JK ialah tentang jarak waktu yang telah kita lewati sejak tonggak Orde Reformasi 1998. Pada bulan Mei 2023 kini, tepat berjarak 25 tahun sejak reformasi mendesak Presiden Soeharto menyatakan diri berhenti sebagai presiden.
Point itu mengingatkan saya pada sebuah tulisan Prof. Mubyarto tentang momentum penting dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, yang dirumuskan dalam apa yang disebutnya “enam periode kebangkitan”.
Berbeda dengan publikasi ilmiah lainnya, Prof. Mubyarto (2003) menempatkan R.A. Kartini (tahun 1879) sebagai tonggak awal dalam rangkaian peristiwa bersejarah yang terjadi menuju Indonesia merdeka. Periode kedua adalah pergerakan Boedi Oetomo (tahun 1908), ketiga pergerakan Sumpah Pemuda (tahun 1928), keempat momentum Proklamasi Kemerdekaan (tahun 1945), kelima adalah Orde Baru (tahun 1966), dan periode keenam adalah Orde Reformasi (tahun 1998).
Jika ditelisik, maka jarak antara Kebangkitan Kartini dengan Boedi Oetomo adalah 29 tahun. Boedi Oetomo ke Sumpah Pemuda 20 tahun; Sumpah Pemuda ke Proklamasi 17 tahun; Proklamasi ke Orde Baru 21 tahun, dan jarak Orde Baru ke Orde Reformasi 32 tahun.
Dari situ, kita mencatat jarak terdekat adalah 17 tahun (Sumpah Pemuda ke Proklamasi) sementara yang terlama adalah 32 tahun (Orde Baru ke Orde Reformasi). Jika dirata-ratakan, maka jarak antara periode kebangkitan adalah 24 tahun. Itu berarti, kira-kira sama dengan satu generasi.
Dari peta itu, kita sadari saat ini sudah berada pada etape 25 tahun dari Orde Reformasi. Dalam perspektif inilah, pidato JK perlu kita renungkan. Sekaligus kita mendambakan JK tetap “berkata-kata”, melalui berbagai mimbar dan forum, sebagai pandu perjalanan bangsa –yang entah kenapa– sangat kita cintai ini.
Dengan begitu, “kata-kata” JK akan dapat menembus (dan menggoda) jutaan kepala milenial, generasi muda yang sekian lama menjadi yatim-piatu karena mengeringnya keteladanan dari sejumlah elit negeri.
Sebagaimana dikatakan Sayyid Quthb, ulama besar dan cendekiawan Mesir, “Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu kata dapat menembus jutaan kepala.”
Barangkali itu!
Penulis, Wakil Ketua Komisi Informasi Kalimantan Timur dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI BPP KKSS.