Aspar Paturusi
Kajang, negeri kecil di wilayah Bulukumba
Namun, negeri ini muliakan adab istiadat
Negeri budaya warisan leluhur
Ammatowa, pemimpin bijak pada keutamaan warganya
Warga pun patuh dan setia kepada pemimpinnya
Di mana dapur orang kajang
Dapur tidak di belakang, tetapi di depan
Tamu masuk ke rumah langsung melihat dapur
Ini ungkapan tak ada yang patut disembunyikan
Semuanya terbuka dan tampil apa adanya
Mereka menyatu dengan alam
tak ada pesawat televisi dan radio
tak ada WA karena tidak ada hp
Jengkrik dan suara malam akrab di telinga mereka
Hidup rukun dan saling menghormati
Mereka tumbuh dalam lingkar persaudaran
Mereka mengutamakan kebersamaan
Ammatowa teguh pada prinsip leluhur
Dia berpegang pada kepentingan warganya:
“Bila negeri makmur, aku yang terakhir kaya.
Bila negeri dilanda kemiskinan, aku yang pertama miskin.”
Demikian prinsip Ammatowa
Warisan leluhur turun temurun
Jakarta, 14 September 2021
Catatan Fiam Mustamin
Kak Aspar rutin mengirimkan tulisan karya puisinya yang baru maupun yang sudah lama untuk mengingatkan suatu masa.
Saya menikmatinya dengan merespon apa yang bisa saya apresiasi dari tulisan itu.
Sekitar setengah abad saya dekat dengan beliau sejak di Dewan Kesenian Makassar hingga Jakarta.
Peradaban tua istilah purba di tanah Kajang tetap terjaga dengan kukuh dari suku/masyarakat Kajang. Hidupnya berdampingan dengan alam.
Sepanjang masa tidak tergerus atau dikendalikan oleh peradaban tata kehidupan secara teknologi modern.
Saya sebut, kesetian purba yang abadi …
Di Sulawesi Selatan juga dikenal dengan Tau Lotang di Sidrap yang ditangkap secara umum bahwa kata/bicara Tau Lotang itu tak ada matinya/terkalahkan dengan logika yang umum dipahami.
Suku yang setia dengan peradaban purbanya, tidak sama pengertiannya dengan suku terasing.
Menyebut warisan peradaban tua di Kajang, saya menyandingkan dengan Demokrasi di Wajo, dikenal bahwa Ade Emmi Nipo Puang, artinya adat/hukum yang dipertuan di tanah Wajo.
Siapapun bisa terkena jerat hukum tidak ada pilih kasih.
Bisa terjadi seorang raja/Arung Matoa, bila melanggar adat akan terkena sanksi untuk diturunkan ipalessoi, diasingkan/diusir keluar wanua/Ipoppangen Tana dan yang tak terampunkan ialah di bunuh/Yunoi.