Kolom Alif we Onggang
Rumah pertama KKSS tentu kampung halamannya di Sulawesi Selatan. Rumah keduanya adalah Kalimatan Timur. Logis, karena Masugimaraja (Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja) memiliki peran historis dan kultural di daerah ini sejak ratusan tahun lalu. Kini, meski cuma 30 persen warga KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) atau tepatnya warga Kaltim asal Masugimaraja namun mereka memainkan peran strategis dalam kancah sosial politik, ekonomi, dan budaya.
Namun, perkembangan geopolitik selalu meniscayakan perubahaan dan boleh jadi pada masa-masa datang akibat libido politik yang membuncah, Sulawesi Selatan akan menciut. Presedennya sudah ada, Sultra dan Sulbar dulu bagian dari Sulsel.
Itulah sebab pengertian KKSS lebih sempit karena terikat geografis, sementara Masugimaraja lebih mencakup, lantaran landasan filosofisnya adalah sosial-kultural-antropologis. Kendati Mandar dan Bugis tersekat secara geografis, namun pandangan dunia (worldview), sistem nilai, norma hidup, perilaku sosial, adat dan kebudayaan satu sama lain melekat dalam filosofi siri’ seperti termaktub dalam Lontara Bugis dan Mandar.
Ibaratnya KKSS adalah organisme yang terus bertahan, sebaliknya Masugimaraja adalah sel amoeba yang terus berkecambah, membelah dan bermutasi.
Dan sekiranya keputusan politik berjalan mulus memindahkan ibu kota di Kaltim (Penajam Paser Utara) serta merta pendulum sejarah kembali berayun di sini, sebagaimana La Mohang Daeng Mankona yang datang dari Wajo di Kutai Kartanegara tahun 1668. Tahun itu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Orang-orang Wajo kala itu harus membantu segala kepentingan Raja Kutai dalam menghadapi musuh.
Tak dimungkiri, migrasi besar-besaran orang Bugis-Makassar sejak lampau ikut mewarnai dinamika lokal di daerah tempatannya. Sepanjang abad ke-17 hingga 19, mereka dengan modal Tiga Cappa — tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya lewat perkawinan campuran. Di rantau, mereka membuka daerah baru, kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Masugimaraja di berbagai daerah di Nusantara dan tentu contoh yang paling ajek karena terus membesar dan masif adalah Kaltim.
Di Kaltim, mereka tidak sekadar membaur, namun sebagai penggerak hingga menjadi pemimpin formal dan non-formal. Kemampuan survival dan adaptasi warga Masugimaraja merupakan modal utama yang dikembangkan melalui kerja sama antarmeraka di samping terhadap suku bangsa lainnya untuk saling menenggang dan menguntungkan.
Saat ini di kota-kota utama seperti Samarinda dan Balikpapan, walikotanya adalah warga KKSS, juga bupati Penajam Paser Utara, sebelumnya Bontang, termasuk tetangganya gubernur Kalimantan Utara adalah warga KKSS. Belum lagi di legislatif. Dua pemangku kepentingan yang ditakdirkan melahirkan kebijakan-kebijakan politik strategis.
Pergumulan sosial ekonomi dan politik ini sangat memengaruhi konstelasi sosial politik di Kaltim di masa depan. Dengan entitas Masugimaraja-nya akan menjadi barometer politik nasional, berbareng dengan semakin berkembangnya ibu kota negara di Benua Etam ini.
Bandingkan kimiawi politik Jakarta dengan pemerintah pusat yang kerap bagai air dan minyak, maka yakinlah kimiawi Kaltim dengan Pemerintah Pusat yang nota bene berkedudukan di Penajam kamma tongi golla nakaluku — laksana gula merah dan kelapa. Apapun padanannya kalau sudah golla na kaluku dijamin lezat. Pas dengan motto Kaltim: Kehidupan harmonis, damai sejahtera, aman dan tenteram. Ini kalau ideologi politiknya sealiran seturut diktum siapa mendapat apa.
Tak pelak, ibu kota negara baru ini bakal menyedot lebih banyak warga Masugimaraja, apalagi jaraknya hanya selemparan batu dari Parepare, Mamuju, Makassar menuju ke kampung keduanya di Kaltim. Multiefeknya, akan tercipta kawasan ekonomi yang terintegrasi antara Sulawesi dan Kalimantan, berikut kawasan-kawasan timur sehingga menjadi kekuatan ekonomi baru. Lahir sebuah ekosistem yang akan memberi ruang lebih menantang bagi Masugimaraja untuk berkreasi dalam bidang ekonomi politik.
Inilah sebenarnya yang menjadi latar kenapa dalam setiap Muswil di Kaltim selalu alot dan tidak semulus pencalonan Ketua Umum KKSS. Jangan lihat sekarang, namun setidaknya 5-10 tahun ke depan, lanskap politik nasional ditentukan di Kaltim. Dan boleh jadi, di sini momentum kelahiran Presiden asal Masugimaraja yang mengantar bangsa ke arah yang lebih egaliter, demokratis dan adil, sebagaimana konsep kepemimpinan ideal manusia Masugimaraja, maccai na malempu, waraniwi na magetteng (cendekia lagi jujur, berani lagi teguh pendirian).
Ratusan tahun lalu para raja (pemimpin) di Luwu, Makassar, Mandar, Wajo, Bone, Toraja, Soppeng sudah mempraktikkan laku pemimpin yang jujur, cendekia, berani, mengayomi rakyat, terbuka dan patuh kepada hukum.
Penasehat Kerajaan Sidrap, Nenek Mallomo abad ke-16, menjatuhkan pidana mati terhadap anaknya sendiri karena melanggar hukum. Datu Sopeng La Manussa Toakkarengeng menghukum dirinya sendiri sebab merasa bersalah akibat rakyat gagal panen. Pada 1590, Raja Gowa XIII I Tepu Karaeng Daeng Parambung, dimakzulkan lantaran sering semena-mena dalam memerintah.
Karena sejarah dan ilmu pengetahuan ditulis oleh yang berkuasa tentu sejarah yang selama ini sudah telanjur menjadi mitos politik akan didaur ulang, demikian juga kurikulum pendidikan dengan memperbanyak konten lokal. Sejatinya Kaltim tidak mengulang kekeliruan karena merasa superior seperti pelabelan Jawa (Jakarta) sebagai pusat dan di luarnya pinggiran (peripheral). Kaltim tidak akan merasa jemawa: Kaltim dan luar Kaltim sebagaimana Jawa dan luar Jawa. Ini karena sejarah terlalu Jawa dan Belanda sentris seperti tuduhan G.J. Resink.
Fiksi sejarah seperti Nusantara dijajah 350 tahun, sementara faktanya kerajaan di Masuugimaraja adalah kerajaan merdeka. Itu sebabnya mereka selalu berperang sepanjang waktu. Mahkamah Agung di Batavia pada 1871, menegaskan Gowa dan umumnya kerajaan Bugis adalah merdeka. Belanda dianggap orang asing. ( Bukan 350 Tahun Dijajah, G.J. Resink, 2012 ).
Serupa dengan kurikulum dibuat seragam. Orde Baru dengan sistem monokultur pangan memaksa semua orang makan nasi, padahal di Papua, Maluku, Luwu dan Mandar, Jeneponto, sumber karbonya lebih sehat ketimbang beras, yakni, sagu, jagung atau pisang.
Anak-anak Dayak, Banjar, Papua belajar di sekolah tentang transportasi kereta api, meski mereka saban hari naik perahu ke sekolah. Meski di Sumbawa, Ternate, memiliki sejumlah pahlawan, tapi dalam buku sejarah di sekolah, mereka lebih menghapal pahlawan-pahlawan dari daerah lain.
Anak-anak di Sulsel lebih mengetahui Sultan Hasanuddin, Majapahit, Sriwijaya ketimbang I Fatimah Daeng Takontu, Arung Bila, I Pakanretau Tunijallo’ri Passukki, atau Todilaling.
Nah, tentu kita berangan-angan pucuk pimpinan suatu saat berasal dari Masugimaraja dan kita ingin melihat Indonesia yang lebih baik saat gong itu sejarah itu ditabuh di Kaltim.
Ya..namanya mimpi. Why not?