Kolom Hafid Abbas
Beberapa hari terakhir ini, media di tanah air ramai memperbincangkan kebijakan Program Organisasi Penggerak (POP) dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang melibatkan dua yayasan besar yakni Tanoto Foundation dan Samperna Foundation bersama 154 organisasi masyarakat lainnya untuk meningkatkan mutu guru dan tenaga pendidik. Program ini akan menghabiskan anggaran Rp 595 miliar.
Di tengah kegaduhan dan polemik atas kebijakan pemberlakuan POP itu, PGRI dan berbagai kalangan lainnya mengusulkan agar kebijakan Menteri Nadiem ini ditunda atau dibatalkan pemberlakuannya. Mereka mengusulkan agar anggaran yang ratusan miliar itu dialokasikan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrasturktur di daerah khususnya di daerah 3 T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi ini.
Di sisi lain, untuk merespon kegaduhan itu, Menteri Nadiem akhirnya mengeluarkan keputusan terbaru untuk segera melakukan evaluasi lanjutan secara lebih ketat bagi ormas-ormas yang telah lolos seleksi (24 Juli 2020).
Untuk menghindari polemik pro-kontra secara berkepanjangan atas pemberlakuan kebijakan POP tersebut, berikut ini dikemukakan berbagai pertimbangan. Pertama, kebijakan pemberlakuan POP terlihat cacat moral dan etika. Sukanto Tanoto, pemilik Tanoto Foundation adalah salah seorang terkaya di Indonesia menurut versi Forbes 2020, dan Putra Sampoerna, pemilik Sampoerna Fondation tercatat sebagai orang terkaya ke-9 di negeri ini yang dikenal sebagai pengusaha rokok terbesar di tanah air meski usaha rokoknya sebagian sudah dijual ke Philip Morris.
Secara moral dan etika, publik menilai sangat tidak pantas jika Menteri Nadiem akan memberi bantuan Rp 20 miliar setahun kepada masing-masing lembaga ini. Publik terus mempertanyakan mengapa kedua yayasan ini dapat muncul dalam daftar di antara 156 Ormas yang akan menerima bantuan pemerintah melalui POP. Publik mempertanyakan pula apakah kedua yayasan ini memenuhi kriteria sebagai Ormas.
Karenanya, dengan alasan yang hampir sama, NU, Muhammadiyah dan PGRI akhirnya memilih keluar dari daftar sebagai calon penerima bantuan dari dana POP dan amat menyesalkan lolosnya kedua yayasan besar itu. Mereka menuntut Kemdikbud transparan menjelaskan proses seleksi yang dinilai tidak jelas, termasuk syarat yang diajukan.
Pelanggaran moral dan etika lainnya adalah keterlibatan perusahaan rokok dalam pelatihan guru atau urusan pendidikan. WHO dan berbagai negara di dunia terutama di negara-negara Skandinavia dan Uni Eropa, sejak beberapa dekade terakhir telah giat mengkampanyekan penghentian kerjasama dan bantuan perusahaan rokok pada dunia pendidikan. Bahkan Norwegia misalnya, sejak 1 Juli 1975 sudah menghentikan segala bentuk promosi dan iklan rokok di negaranya. Mereka ingin menyelamatkan negaranya dan anak didiknya dari ancaman bahaya rokok (Norway: Ban on Advertising and Promotion, WHO, 2003).
Masuknya Putra Sampoerna, pemilik PT HM Sampoerna Tbk sebagai pemilik perusahaan rokok tertua dan terbesar di Indonesia di daftar POP dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral dan etika Kemdikbud yang terkesan mengabaikan keselamatan masa depan anak didik Indonesia dari bahaya rokok.
Hal yang sama juga terjadi pada Sukanto Tanoto, pemilik Tanoto Foundation, yang barubaru ini juga banyak disoroti karena menguasai lahan seluas 161.127 hektar di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tanoto sebagai pengusaha kertas dan sawit yang diperkirakan menguasai jutaan hektar lahan, dinilai di posisi rawan terhadap kerusakan lingkungan hidup, Dengan menggunakan standar Ombudman Norway dan Uni Eropah, pengusaha rokok dan pengusaha yang telah terbukti merusak lingkungan dinilai amat berbahaya bagi dunia pendidikan dan masa depan bangsanya.
Kedua, kebijakan pemberlakuan POP terlihat rawan terhadap pelanggaran hukum. Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1).
Kehadiran negara yang diwakili oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sudah mendirikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang diberi tugas khusus untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan (UU Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 14).
Pada 2019 terdapat 421 LPTK negeri dan swasta, dan dari jumlah itu, sebanyak 15 LPTK telah ditetapkan sebagai tempat pelaksanaan sertifikasi guru. Ke-15 LPTK tersebut merupakan penyelenggara Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang telah diberi mandat oleh negara berdasarkan keputusan Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Nomor 296/M/KPT/2016) yang akan berperan sebagai rayon atau penyelenggara utama. Setiap rayon bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi subrayon dan perguruan tinggi mitra, baik PTN maupun PTS dalam penyelenggaraan PLPG.
Selain itu, negara juga telah mendidrikan sejumlah Balai Pendidikan Guru sebagai lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan standar Nasional dan Internasional. Pertanyaannya, mengapa LPTK dan BPG tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, perencanaan, penerapan POP tersebut, dan memberi kesan perannya akan digantikan oleh Ormas untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya mendidik dan melatih guru dan kepala sekolah?
Apakah memang sudah ada kajian ilmiah yang membuktikan bahwa ke 421 LPTK yang ada dinilai tidak dapat menjalankan mandatnya dengan baik. Apakah tidak disadari oleh Menteri Dikbud betapa besar investasi negara untuk membangun LPTK ini. Universitas Negeri Jakarta misalnya, sebagai salah satu LPTK negeri, memiliki Sekolah Laboratorium (labschool) dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA. Labschool UNJ ini juga memiliki sejarah panjang, didirikan sejak 1968, oleh Menteri P dan K, Mashuri, sebagai sebuah sekolah laboratorium IKIP Jakarta. Seperti halnya Rumah Sakit bagi Fakultas Kedokteran, sekolah ini digunakan sebagai tempat praktek mengajar, penelitian pendidikan, dan pengembangan inovasi pendidikan bagi para calon guru dan guru dan tenaga kependidikan.
Begitu juga LPTK-LPTK lainnya, seperti Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Universitas Negeri Yogyakarta, dsb, umumnya sudah memiliki program studi terakredtasi sangat baik di tingkat nasional dan internasional yang tidak perlu diragukan reputasinya dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru. Sungguh tidak terbayangkan betapa besar investasi negara kepada 421 LPTK ini, tapi terkesan diabaikan.
Ketiga, kebijakan pemberlakuan POP terlihat rawan terhadap pelanggaran hukum (illegal). Pada pasal 9 Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.” Selanjutnya, pada pasal 11 ayat 1 undang-undang Sisdiknas, dinyatakan dengan tegas: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”
Undang-undang ini telah memberi arah yang jelas bahwa pemerintah tidak boleh menghindar dari tanggung jawabnya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu kepada semua warga negara tanpa diskriminasi, dan masyarakat berkewajiban untuk mendukungnya. Bukan sebaliknya, kehadiran negara dan pemerintah yang diwakili oleh LPTK dihilangkan peran dan kewajibannya, dan kemudian mandatnya dilimpahkan ke Ormas. Akhirnya, untuk menghindari berbagai kerawanan dan penyimpangan dari aspek moral, etika dan hukum, dan segera mengakhiri semua polemik dan kegaduhan di masyarakat, tidak ada salahnya jika Mendikbud Nadiem Makarim membatalkan secepatnya kebijakan POP-nya demi keselamatan masa depan kita bersama.
Penulis, Ketua Komnas HAM RI ke-8, dan Professor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University 2006