Kebijakan Transformasi Kesehatan Minus Etika Lingkungan

0
843
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Kebijakan transformasi kesehatan yang digagas Menteri Kesehatan terdiri dari enam pilar. Keenam pilarnya itu meliputi: transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.

Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan transformasi kesehatan inilah yang kemudian mendorong lahirnya UU Omnibus Kesehatan (UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan), yang dipermasalahkan berbagai kalangan. Tidak tersentuhnya tema-tema yang terkait etika lingkungan merupakan salah satu dari masalah tersebut.

Baik kebijakan tranpormasi kesehatan maupun UU Omnibus Kesehatan yang dilahirkannya dapat dikatakan minus gagasan etika lingkungan. Padahal bila masyarakat ingin hidup sehat maka etika lingkungan ini sangat penting untuk dihadirkan.

Etika Lingkungan

- Advertisement -

Di dalam Code of Hammurabi, terdapat salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu.” Hal ini menunjukkan bahwa sejak berabad-abad lampau sebelum masehi telah ada pengaturan yang berorietasi lingkungan, guna mencegah terjadinya gangguan keseimbangan lingkungan.

Ajaran Islam yang datang setelahnya, pun mengandung prinsip-prinsip etika lingkungan yang merupakan wujud dari kekuatan moral yang nyata untuk pelestarian daya dukung lingkungan. Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai ayat suci al-Qur’an, seperti: “Dan janganlah kamu merusak di muka bumi setelah Tuhan membangunnya…”( QS. al_A’raaf; 56).

Selanjutnya, “…Dan janganlah kurangi hak-hak manusia, dan janganlah pula marusak di muka bumi, sesudah Tuhan membangunnya…”(QS. al-A’raaf: 85). “Dan berbuat kebajikanlah kepada sesama makhluk hidup, sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepadamu. Lagi pula, janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, karena Allah tidak menyenangi orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77). “Telah timbul kerusakan-kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri..” (QS. ar-Rum: 41).

Berikutnya, pada tahun 1948 lahir pula Piagam Hak Asasi Manusia (HAM) yang berisikan “politik etis,”. Sebelumnya pun telah ada Pertemuan Bretten Wood tahun 1944, yang dihadiri oleh 44 negara dengan maksud untuk bersama-sama mengatasi segala kesulitan akibat Perang Dunia II dalam bentuk kerja sama internasional di bidang ekonomi. Pertemuan ini menghasilkan substansi yang intinya, yaitu pertolongan pada negara dunia ketiga.

Sebagai implementasi dari pertemuan Bretten Wood tersebut, tahun 1960 lahirlah International Monetery Fund (IMF) dan World Bank (WB). Sayangnya kemunculan kedua lembaga internasional ini justru menghadirkan utang yang demikian besar bagi negara dunia ketiga.

Akibat dari utang-utang tersebut membuat negara-negara dunia ketiga bergerak untuk membayarnya dengan cara mengeksplotasi sumber daya alamnya secara besar-besaran. Tanpa memedulikan dampak kerusakan terhadap lingkungan yang ditimbulkannya.

Krisis lingkungan global dewasa ini tak lepas dari ketidakpedulian tersebut. Ketidakpedulian yang semakin diperparah oleh kesalahan fundamental-filosofis manusia dalam memahami dirinya dan alam semesta. Manusia menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kebutuhan hidup mereka. Kesalahan ini pada gilirannya melahirkan kekeliruan menempatkan diri dalam konteks alam semesta secara keseluruhan.

Kesalahan fundamental-filosofis itu pula yang kemudian melahirkan adegium di negara-negara dunia ketiga, “biarlah kami dicemari asal kami maju.” Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan.

Minus Etika Lingkungan

Manusia itu hanyalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup lain termasuk binatang, bahkan binatang buas sekali pun tidaklah merusak, mencemari, atau menguras lingkungan. Cara pandang dan perilaku manusia yang antroposentrisme merupakan menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan.

Cara pandang antroposentrisme melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif, tanpa peduli sama sekali terhadap alam dan segala isinya. Ada tiga kesalahan cara pandang antroposentrisme ini: Pertama, manusia memahami dirinya sebagai makhluk sosial (social animal), yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya.

Kedua, etika dipandang hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia dan tidak berlaku bagi makhluk di luar manusia. Ketiga, cara pandang ini diperkuat lagi oleh paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan ciri utama yang mekanistik-reduksionistik serta membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.

Pandangan antroposentrisme menganut pemisahan tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek. Ilmu pengetahuan bersifat otomon, dikembangkan dan diarahkan semata demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Penilaian mengenai baik dan buruknya ilmu pengetahuan dan teknologi serta segala dampaknya dari segi moral dan agama, adalah tidak relevan. Karena itu sikap dan perilaku manipulatif dan ekspoitatif terhadap alam dan lingkungan adalah sah. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan krisis ekologi berkelanjutan dewasa ini.

Setidaknya ada dua perilaku manipulatif dan ekspoitatif yang selalu mengintai kelestarian lingkungan, yakni pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (Pasal 1 ayat 14 UU N. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 16 UU No. 32 Tahun 2009).

Perbedaan antara keduanya memang tidak terlalu prinsip, sebab setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan otomatis juga melakukan pencemaran dan sebaliknya. Bedanya, hanya terletak pada intensitas perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan dan kadar akibat yang diderita oleh lingkungan akibat perbuatan tersebut.

Pada kasus perusakan lingkungan yang bermasalah adalah seluruh komponen lingkungan, baik yang bersifat hayati maupun fisik. Sedang pada pencemaran lingkungan yang bermasalah hanya salah satu komponen saja, misalnya pencemaran air, pencemaran udara, dan seterusnya. Baik perusakan maupun pencemaran lingkungan, keduanya merupakan akibat lanjut dari perilaku minus etika lingkungan.

Catatan Akhir

Kini perkembangan baru etika lingkungan menuntut perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral. Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan antroposentrisme. Kesalahan terbesar semua pandangan etika selama ini karena hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia lainnya.

Etika lingkungan lebih dipahami sebagai sebuah kritik atas etika yang selama ini dianut oleh manusia yang dibatasi pada komunitas sosial manusia. Etika lingkungan menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis.

Etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, tapi juga berbicara mengenai keberlanjutan ekologi. Menyangkut relasi di antara semua kehidupan di alam semesta. Paradigma keberlanjutan ekologi ini seharusnya mampu menuntun manusia, terutama di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia untuk melepaskan ketergantungan nya pada kekuatan asing dan menyelamatkan lingkungan hidupnya.

Pemerintah harus berani memutuskan ketergantungannya dengan membangun kekuatan ekonomi rakyatnya sendiri. Selama pemerintah tidak berani membangun dan memperkuat ekonomi rakyatnya maka akan terus bergantung pada dan menjadi mainan kekuatan-kekuatan asing. Selama itu pula masalah kemiskinan dan lingkungan hidup tidak akan benar-benar diatasi dan diselamatkan.

Pemerintah harus berani mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat dengan modal yang digali dari kemampuan teknologinya sendiri. Mengembangkan pola budidaya dan kegiatan produktif rakyat yang ramah lingkungan. Karena itu, kedepan perlu menggelorakan pembangunan yang mengedepankan etika lingkungan.

Pembangunan yang mengedepankan etika lingkungan seharusnya menjadi bahagian utama dari transformasi kesehatan yang digagas oleh Menteri Kesehatan. Sebab, tidak mungkin masyarakat dapat hidup sehat bila perusakan dan pencemaran lingkungan tetap dibiarkan. Paham konyol, “biarlah kami dicemari asal kami maju” semestinya dijauhi. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here