Kolom Imam Shamsi Ali
Saat ini terjadi polemik tentang rencana pemberian nama sebuah jalan utama di Jakarta dengan nama Jl. Kemar Attaturk. Konon kabarnya sebagai imbalan di Angkara Turki juga akan ada sebuah jalan yang dinamai Jl. Soekarno. Tentu saling memberi nama jalan dengan nama seorang tokoh dari negara masing-masing dianggap sebagai simbol kedekatan.
Sementara itu pemilihan Kemal Attaturk untuk dipakai sebagai nama jalan di Jakarta menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya Umat Islam. Kemal Attaturk memang dikenal sebagai Bapak sekularisme Turki. Bahkan lebih dari itu Kemal Attaturk dikenal sebagai sosok yang tidak saja menumbangkan Ottoman Empire (Khilafah Utsmaniyah). Tapi juga Sangat identik sebagai sosok yang anti agama.
Di bawah kekuasaan Attaturk Islam dibumi hanguskan di Turki. Simbol-simbol agama dilarang bahkan dianggap kejahatan. Semua gedung-gedung publik, termasuk sekolah, kantor pemerintahan hingga ke parlemen tidak memperbolehkan simbol agama. Jilbab diharamkan. Bahkan azan yang berbahasa Arab pun diganti menjadi azan yang berbahasa Turki.
Saya tidak bermaksud merincikan lagi sepak terjang Kemal Attaturk sebagai musuh Islam (dan agama). Karena saya yakin hal ini sudah menjadi pengetahuan dasar umum (ma’kumun bid-dhorurah). Hanya orang bodoh atau pura-pura bodoh yang tidak tahu atau juga pura-pura tidak tahu.
Dengan rencana pemberian nama jalan Attaturk di sebuah jalan utama, pusat kota Jakarta yang istimewa (Menteng) memang menimbulkan banyak reaksi negatif, bahkan resistensi. Kenapa yang dipilih Attaturk? Dan kenapa di jalan istimewa Menteng?
Tentu dengan memakai positif mind (pemikiran positif) kita berharap pertukaran nama jalan ini akan lebih menguatkan relasi Indonesia dan Turki. Keduanya adalah negara Muslim yang besar dan masing-masing punya potensi untuk kejayaan Islam dunia.
Tapi di balik dari hal positif itu ada beberapa Pertanyaan yang mengganjal di benak banyak orang.
Pertama, Kenapa nama Kemal Attaturk yang dipilih? Padahal sosok ini jelas dikenal sebagai master sekularisme Turki? Sementara Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak menghendaki sekularisme (apalagi ateisme) tapi juga tidak menghendaki agama apapun untuk dijadikan sebagai dasar bernegara. Artinya Kemal Attaturk adalah sosok yang tidak dikehendaki oleh Indonesia yang memahami agama sebagai bagian penting dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, siapa Sesungguhnya yang menentukan nama tokoh yang akan dipakai sebagai nama jalan? Apakah Indonesia yang mengusulkan? Atau pihak Turki sendiri yang mengusulkan?
Kalau seandainya Indonesia yang mengusulkan, kira-kira latar belakang pemikirannya apa? Apa yang ingin dituju dengan menjadikan Attaturk sebagai tokoh yang begitu besar hingga dijadikan nama jalan? Tidakkah keputusan (pemilihan) ini bertentangan dengan spirit bangsa dan negara Indonesia?
Kalau sekiranya pihak pemerintah Turki yang memilih, lalu apa pula latar belakangnya? Apakah ini sebuah konfirmasi bahwa pemerintahan Erdogan mulai panik dengan menguatnya oposisi sejak pecah dengan kelompok Fethullah Gulen?
Ada kecurigaan bahwa ketika seseorang terlalu disanjung, bahkan beberapa pihak di Indonesia, akan kerasukan perasaan heroisme (kepahlawanan). Khawatirnya (Semoga tidak) Erdogan mulai kemasukan perasaan itu. Selain itu harus dipahami bahwa Erdogan adalah politisi yang tentunya punya ambisi pribadi, kelompok dan kepentingan nasionalnya. Salah satu kepentingan Turki adalah menjaga keanggotaannya di organisasi NATO.
Ketiga, terlepas dari siapapun yang memilih nama dan nama siapapun yang dipilih, kira-kira apa yang akan dituju dari penamaan itu? Negatif mind (pemikiran negatif) saya mengatakan jangan-jangan ini bagian dari konspirasi untuk semakin menguatkan sekularisme di negara Muslim terbesar dunia. Sehingga Sesungguhnya ini adalah bagian dari “Islamophobia” global untuk semakin memarjibalkan nilai-nilai Islam (agama) dalam kehidupan publik.
Kalau sekiranya saya benar, tentu ini paradoks dengan apa yang lumayan bagus sedang dikembangkan oleh pemerintahan RI saat ini. Salah satunya adalah menggalakkan berbagai insitusi yang berdasar Syariah, termasuk keuangan, perbankan dan ekonomi Syariah secara umum. Bahkan Bung Menteri Sandiaga Uno sedang menggalakkan pariwisata yang berbasis Syariah.
Karenanya jangan sampai hal sepele ini memberi ruang bagi publik untuk menguak kebijakan paradoks pemerintah. Di satu sisi menggemborkan kata Syariah dalam kegiatan ekonomi. Tapi di sisi lain ingin menghadirkan imej jika Islam (Syariah) itu anti negara. Sebagaimana Attaturk pernah melakukan di masanya.
Membandingkan Kemal Attaturk dengan Soekarno
Hal lain yang menjadi catatan adalah bahwa Kemal Attaturk dan Soekarno tidak dapat disandingkan. Walaupun karena dorongan situasi politik saat itu Soekarno pernah mengembangkan filsafat politik gado-gado (nasionalisme, agama dan komunisme). Tapi Soekarno tetap yakin dengan urgensi agama dalam Kehidupan publik (berbangsa dan bernegara. Sementara Kemal Attaturk tidak saja anti agama. Tapi menghancurkan segala hal yang dianggap berbau agama.
Di arena internasional Soekarno jelas sepak terjangnya. Keberanian dan kemampuannya yang didukung kharisma yang tinggi di mata tokoh-tokoh dunia menjadikannya mampu menjadi tokoh yang dihormati dan disegani. Salah satu peninggalan sejarah Soekarno dalam hubungan gobal adalah Gerakan Non Blok (Non Align Movement) atau organisasi negara-negara Asia Afrika. Hingga kini GNB adalah sub-organisasi terbesar setelah PBB dalam tatanan dunia global kita.
Sementara Attaturk gagal dalam dan luar negeri. Dalam negeri Turki sejak masanya tidak mengalami kemajuan, bahkan dalam Demokrasi dan perpolitikan. Karena sejak Attaturk berkuasa kekuatan politik tidak pernah murni di tangan rakyat. Justeru kekuasaan ada di tangan militer. Demikian pula perekonomian Turki amburadul dengan segala potensi yang dimilikinya.
Barangkali “embarrassment” (rasa malu) terbesar Attaturk adalah kegagalan memasukkan Turki sebagai anggota NATO. Padahal telah menjual harga diri ke anggota NATO untuk diterima menjadi bagian dari mereka. Justeru Turki diterima jadi anggota NATO di saat Erdogan menjadi penguasa negeri itu. Hal ini menjadi catatan penting bahwa dalam hal urusan internasional (global matters) Attaturk tidak sebanding dengan Soekarno.
Semua ini harusnya menjadi dasar pemikiran bagi semua agar tidak mengambil sebuah langkah yang tidak perlu. Bahkan keputusan memakai nama Attaturk sebagai nama jalan di Menteng, kawasan yang bergengsi di Ibukota negara, dapat dicurigai sebagai upaya merongrong semangat beragama di negeri tercinta.
Tragisnya, jangan-jangan ini menjadi bagian dari pelemahan nilai Pancasila di balik slogan: Saya Pancasila!
Semoga tidak!
Subway NYC, 20 Oktober 2021
Penulis, Presiden Nusantara Foundation