(Refleksi Hari Jadi Gowa ke-700 Tahun)
Kolom Labbiri
Gowa memasuki usianya yang ke-700, pertanggal 17 November 2020. Usia yang terbilang sepuh jika dibandingkan dengan tahun kemerdekaan RI yang usianya baru 75 tahun.
Dengan jargon “Gowa Bersejarah” menguatkan pesan bahwa Gowa adalah tanah bersejarah dan berperadaban dengan peninggalan-peninggalan purbakala, berupa benteng Somba Opu, rumah-rumah adat, kuburan-kuburan tua, tanah adat, kesenian daerah, naskah-naskah lontarak, kuliner, permainan-permainan tradisional dan benda-benda bersejarah lainnya.
.
Tak cukup hanya itu, dalam rekam jejak sejarah, Gowa telah melahirkan sosok pahlawan nasional, di antaranya Sultan Hasanuddin sebagai sosok Tubarani, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka sebagai sosok Tupanrita yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional di Indonesia dan Afrika Selatan, Karaeng Pattingalloang sebagai sosok ilmuan dan cerdik pandai.
Lalu ada Daeng Pamatte sebagai penemu aksara Lontarak Mangkasarak. Dari sosok tokoh-tokoh fenomenal dan inspiratif ini, generasi sekarang harusnya dapat menjadikan sebagai panutan, contoh, teladan, dan semangat dalam meneruskan perjuangan.
Selain jargon “Gowa Bersejarah”, Gowa juga dikenal dengan slogan “Rewako Gowa”. Gema teriakan “Rewako Gowa” selalu hadir pada momentum yang membutuhkan pekik semangat. Akan tetapi, pahamkah kita akan makna dibalik slogan tersebut?
Mari sejenak merenungkan dan menelaah makna slogan REWAKO GOWA. Bagaimana tafsiran maknanya dengan pendekatan bahasa dan filosofi budaya?
Kata “rewako” berasal dari kata dasar “rewa” ditambah kata sandang “ko”. Dalam Kamus Bahasa Makassar, kata “rewa” bermakna: (1) lawan; (2) suka berkelahi, dan (3) susah diatur. Kesan yang muncul saat mengetahui arti “rewa” menunjuk pada makna negatif.
Secara semantik kata rewa menunjuk pada: manusia tidak berdaya dan manusia kalah. Ibarat jangkrik nanti melawan jika sudah “digirik, dipaganti (dipompa) barulah dapat melawan. Implikasi negatif kata rewa: lahirnya perilaku malas, perilaku anarkis, perilaku tak berdaya di tengah masyarakat (meminjam istilah Maestro Kelong Chaeruddin Hakim).
Apakah sifat dasar manusia Gowa adalah manusia kalah? Ternyata tidak. Manusia Gowa adalah manusia santun, arif, dan bijaksana, serta panrita, seperti yang digambarkan pada sikap Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, Karaeng Pattingaloang yang memiliki SIRIK, PACCE, NA KAPANRITANG (harga diri, kasih sayang, dan kearifan – lebih mendalam: kesufian).
Antara Makna REWA dan EWA?
EWA (ko) dalam bahasa Bugis dapat berarti: (1) lawan, (2) imbangi. Menilik arti dan makna tersebut maka kata EWAKO sangat jauh berbeda dengan makna REWA. Makna terkandung pada EWAKO: lawan, imbangi (dalam bahasa Makassar berarti “LEWAI”).
Dalam konteks makna EWAKO, adalah imbangi dan jangan pernah surut dalam usaha untuk memajukan pembangunan. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Pak Palaguna ketika beliau Gubernur saat itu). Sementara makna kontekstual REWAKO bisa ditafsirkan berani, melawan atau gertakan.
Dalam kehidupan adat Makassar, urutan keutamaan pemilihan seorang pemimpin (Mattulada, 1977) ada empat, yakni cerak (turunan), kacaraddekang (kepintaran), kabaraniang (keberanian), pakkalumannyangngang (kekayaan).
Jadi, moto yang yang elok dan elegan untuk konteks masyarakat Gowa gaungkan adalah “SIRIKKO GOWA atau PANRITAKO GOWA”. Seperti pada ungkapan kelong berikut,
Panritai tu Gowaya
Panritai ri pangngadakkang
Siri’ napacce
Napa’ jari lampangkana
Lampangkana tu Gowaya
Lampangkana kapanritang
Kulle akjari
Parenta ri katalassang
Punna niak tummarenta
Amminawangki ri boko
Alle pinawang
Punna ngerang kabajikang
Punna parenta ri sala
Pakaingaki ri sunggu
Tena nunnosa’
Annosa’ battu ri boko
Tu Gowaya terasa ri siri’
Mingka lammai ri pakmaik
Baji nipare’
Sa’ri battang lalang lino
Panritai tu Gowa Lambusu’ kana appau
Namanggaukang
Passurona Allah Taala (CH)
Terjemahan:
Arif itu orang Gowa
Arif pada peradaban
Harga diri dan kasih sayang
Dia jadikan kalimat
Kalimat orang Gowa
Kalimat kearifan Dapat menjadi
Perintah dalam kehidupan
Jika ada yang memerintah
Ikutlah di belakang
Jadikan ikutan
Jika membawa kebaikan
Jika perintah pada ketidakbaikan
Ingatlah pada kemulian
Tidak menusuk engkau
Menusuk dari belakang
Orang Gowa tegas pada harga diri
Tetapi lembut pada perasaan
Baik dijadikan
Saudara di dunia
Arif itu orang Gowa
Lurus kata menyampaikan
Dan mengerjakan
Perintah Allah Taala.
Karakter kepemimpinan berbasis budaya lokal dapat ditemukenali melalui Kelong, Rapang, Pappasang dan produk kebudayaan lainnya. Sehingga kearifan lokal ini perlu diramu dalam regulasi kebudayaan serta diintegrasikan dan diimplementasikan di sekolah-sekolah agar terjadi kesinambungan sejarah dan budaya masa silam yang perlu dirawat bersama untuk menyongsong masa depan yang lebih gemilang.
Oleh karena itu, kearifan lokal sebagai khazanah budaya dan jati diri bangsa perlu ditemukenali dan direvitalisasi. Khususnya bagi generasi muda dalam konteks kehidupan global saat ini untuk proyeksi di masa datang.
Dengan demikian, identitas sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya tinggi akan tetap terjaga.
Semoga diusianya yang ke-700 tahun, Gowa semakin bersejarah, berperadaban, dan bermartabat. Dengan “Semangat Gowa religius, kita perkuat kolaborasi dalam percepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan kualitas demokrasi.
Penulis, Pegiat Budaya Lokal, Pengurus HPBI Gowa.