Kolom Fiam Mustamin
TIGA tahun menahan kerinduan untuk pulang kampung sejak bencana alam tsunami yang melanda Palu, Sigi dan Donngala (PASIGALA) 28 September 2018.
Rutin ke Palu dan daerah sekitarnya: Donggala, Lembasada, Palolo dan Sidodo saya kunjungi menemui keluarga sejak tahun 1991.
Ke daerah itu seperti halnya saya ke tanah kelahiran Tajuncu Soppeng, setelah menikah.
Kedatangan saya kali ini untuk hajatan keluarga (Mattampung ) atas wafatnya orangtua laki 18 Juli 2021 lalu.
Kami berangkat sekeluarga dengan pesawat dinihari lima kali chek skrening.
Pertama dengan chek in barang-barang bawaan, kedua booking seat dengan aplikasi, ketiga borading barang-barang bawaan untuk bagasi, keempat chek properti yang melekat di badan yang harus dilepas dan kelima chek bording atas nama masing-masing menuju pesawat.
Mendarat di Bandara Mutiara Sis Al Jufri
SELAMA penerbangan malam itu, saya mengingat kembali memori saya dengan kota Palu sekitar tahun 1980 an.
Saya pernah menjadi kru pembuatan film tragedi jatuhmya pesawat twin otter dengan judul Operasi Tinombala yang membawa saya ke Palu, Tolitoli dan Ongka Malino di lereng pegunungan Tinombala.
Sebelum itu, saya sudah menyaksikan film Mutiara Dalam Lumpuur.
Film ini dibintangi oleh Sophan Sophiaan, Titi Nasution, Farouk Afero dan beberapa pemain dari Palu dan Makassar. Sangat terkesan dengan cerita dan daerah yang jadi pilihan lokasinya.
Sepuluh menit sebelum landing, saya melihat ke luar dari jendela pesawat mengingat seperti apa yang pernah saya saksikan pada puluhan tahun silam.
Di tangga pesawat, saya berdiri sejenak dan mengarahkan ponsel merekam matahari yang baru muncul separuh di permukaan pegunungan sebelah barat itu.
Subhallah .. cahayanya membias menerangi alam pagi hari itu, seperti tidak pernah terjadi bencana alam di daerah ini, saya terharu …
Allah Swt memberi saya sesuatu yang sangat berarti menyambut kedatangan di kota ini.
Ba ngopi Cafe Komunitas
BAKU DAPA …di manakah tempat kita bisa bertemu (baku dapa).
Untuk kota Palu yang sebagian yang berbukit dan berpantai teluk, cukup menarik menjadi lokasi untuk membangun kedai atau cafe dan restoran.
Malam harinya saya segera mengunjungi Ba ngopi Cafe di tengah kota Palu. Saya menemukan di cafe itu sudah ada kelompok komunitas dan hiburan orgen untuk pengunjung.
Udhin, pemilik cafe adalah seorang seniman multitalenta: pelukis, penari, teaterawan dan aktivis pergerakan di Institut Lembang Sembilan dan Persatuan Artis Film Indonesia/PARFI.
Begitu lengkap kebokehannya.
Tak heran bila cafenya selalu ramai dengan ragam komunitas sampai ke pejabat PNS kantor kota Palu dan Gubernur Sulteng.
Istimewa di cefe itu dengan minuman khas sarabba dengan tujuh macam ramuannya.
Istimewanya tidak satupun pengunjung cafenya yang sudah mengkonsumsi sarabba terpapar Covid.
Mengingat sosok Udhin ini yang awalmya PNS hijrah menjadi seniman tulen. Seninan Palu itu mengingatkan saya dengan sahabat Alimin Lasasi yang saya kenal sebagai mahasiswa Akademi Teater Lembaja Pendidikan Kesenian Jekarta/LPKJ tahun 1973, salah satu andalan pemain Teater Mandiri, pimpinan Putu Wijaya.
Kerinduan PASIGALA menjadi inspirasi sebuah naskah film dari komunitas Ba ngopi Cafe, kita doakan dapat terwujud aamiin.
Ba ngopi Cafe Palu 15 Januari 2022