Kolom Ruslan Ismail Mage
Kontruksi pemikiran sebagian orang yang cenderung mengaitkan gerakan radikalisme dengan agama, menggelitik untuk didiskusikan. Karena kalau didalami lebih jauh tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan atau berpikir dan bertindak radikal. Begitu pula tidak ada institusi pendidikan, baik sekolah umum yang dibentuk negara, maupun sekolah yang diinisiasi oleh swasta seperti pesantren mengajarkan kekerasan atau paham radikalisme. Justru yang diajarkan sebaliknya, bagaima setiap orang harus bersikap jujur, berperilaku adil, berbuat benar, tidak mengambil bukan haknya, tidak melanggar empat norma, agama, hukum, kesopanan, dan norma kesusilaan.
Persoalannya kemudian, tidak jarang menghadapi antitesa ajaran yang didapatkan di sekolah dengan realitas sosial yang dihadapi. Keharusan bersikap jujur, adil, dan mengedepankan kebenaran dalam bertindak susah ditemui. Justru yang terjadi adalah kerusakan sistem hukum yang memproduksi ketidakadilan dimana-mana. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tajam ke kelompok oposisi dan tumpul ke kelompok koalisi. Menghukum seorang nenek yang mengambil lima biji buah kakao di kebun tetangganya, sementara membebaskan koruptor yang sudah merampok uang negara. Terjadi kerusakan sistem pendistribusian kekayaan negeri yang hanya memberikan kebebasan kepada pemilik modal mengeksplorasi sumber daya alam, sementara menangkap dan memejarakan rakyat miskin yang mencari sesuap nasi di buminya sendiri.
Jadi kerusakan sistem hukum yang tidak mampu mendistribusikan keadilan yang merata kepada seluruh warga bangsa, kerusakan sistem ekonomi yang tidak mampu mengalokasikan kekayaan alam yang merata kepada seluruh warga bangsa, adalah pemicu utama lahirnya pemikiran dan perilaku radikalisme.
Minimal ada dua teori yang bisa menjadi alasan pembenar judul tulisan ini. Pertama, teori “kerusakan sistem” David Apter.Teorinya mengatakan “Jika suatu sistem rusak tidak diperbaiki atau terlambat diperbaiki, maka sistem itu yang memaksa rakyatnya menjadi radikal”. Kedua, teori “Kekerasan Struktural” Thomas Santoso. Menurut teori ini, kekerasan struktural bukan berasal dari orang tertentu, melainkan terbentuk dalam suatu sistem sosial. Para ahli teori ini memandang kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor (individu) atau kelompok semata, tetapi juga dipengaruhi oleh suatu struktur, seperti aparatur negara.
Kalau teori ini dijabarkan lebih jauh, dapat dikatakan, negara dengan segala sarana kekuasaan yang ada padanya bisa digunakan para aktor politik yang haus kekuasaan untuk meraih dan mempraktekan kekuasaannya.
Dalam catatan sejarah negara-negara demokrasi, rakyat yang dibatasi pergerakannya dalam menyuarakan aspirasinya pada akhirnya cenderung untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang.
Menurut Eep Saifullah Fattah, secara kultural represi dan tekanan yang dilakukan aparat negara untuk tujuan penciptaan stabilitas telah menimbulkan keberanian masyarakat untuk bersifat kritis.
Jadi sekali lagi, radikalisme bukan produk agama, tetapi kerusakan sistem hukum dan ekonomi yang menyebar ketidakadilan dalam kehidupan masayarakat, sebagai pemantik utama munculnya bara radikalisme.
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta