Kearifan Batara Wajo 1 Matahari La Tenri Bali dalam Memutus Perkara
Catatan Andi Wahida Tuan Guru Sulaiman
Ini kisah kecintaan seorang suami yang sudah tua dan keadilan Batara’ Wajo I La Tenri Bali dalam memutuskan perkara.
Cinta itu memiliki kesabaran yang terbatas.
Dia tak akan menunggu, dan jika dia sampai pergi, dia bisa lupa tentang dirimu saat engkau paling membutuhkan cinta.
Kisah ini terjadi ketika La Tenri Bali memerintah sebagai raja Batara Wajo I yang diberi gelar Raja Matahari, La Tenri Bali; terkenal tegas dan jujur dalam menjalankan pemerintahan. Semua masyarakat sudah mengetahuinya ketika dia menjadi Arung Cinnotabi sebelum dia diangkat menjadi Batara Wajo I.
Belum cukup satu tahun menjabat sebagai Batara Wajo I, sudah banyak masyarakat dari luar Wajo yang datang bermukim di Wajo. Hal ini karena ketegasan, keadilan serta kejujuran dan kepemimpinnya.
Alkisah di daerah Cinnotabi, hiduplah sepasang suami istri, walaupun perbedaan umur yang cukup jauh dari keduanya tapi mereka sangat bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.
Mereka belum dikaruniai seorang anak, keberadaan pasangan suami istri ini membuat banyak orang yang merasa iri, hal ini disebabkan lelaki tersebut sudah berumur tua tapi mampu mendapatkan seorang istri yang muda dan sangat cantik.
Suatu hari ketika duduk bersama istrinya, sang suami mengajak juga istrinya untuk pindah ke Wajo, “Banyak hal yang bisa kita lakukan di daerah yang sudah berkembang tersebut,“ jelasnya kepada sang istri.
Dan sang istripun hanya bisa menurut atas keputusan ajakan tersebut, lalu mereka menentukan kapan waktu yang tepat untuk pindah ke Wajo.
Akhirnya tibalah pada hari yang sudah ditentukan untuk pindah ke Tanah Wajo, pagi pagi sekali sang istri sudah bangun, ia mempersiapkan segala keperluan dalam perjalanan, termasuk bekal yang akan dimakan nanti di sana.
Sinar mataharipun bergerak naik ke atas bumi, sinarnya memancarkan keangkuhan sebagai penguasa jagat dan tak satupun yang bisa melawannya, membuat suasana hari itu cukup panas di bumi Cinnongtabi.
Ketika semuanya sudah siap mereka berangkatlah meninggalkan daerah yang telah menyimpan sejuta kenangan mereka berdua.
Mereka berjalan dari Cinnotabi melewati pematang sawah yang memanjang luas di sekitar Tana Wajo. Sinar matahari yang menyinari bumi sepertinya akan membakar tubuh mereka.
Hal inilah yang membuat perjalanan mereka sangat terganggu oleh cuaca yang panas membuat langkah mereka sangat cepat untuk melewati pematang sawah di hadapan mereka.
Langkah kaki sang istri yang masih muda tentunya sangat tak seimbang lebih cepat dengan langkah kaki sang suami yang sudah tua ditambah beban dipundaknya membuat sang suami jauh tertinggal di belakang.
Akhirnya sampailah sang istri di ujung persawahan. Dia mencari tempat di bawah sebuah pohon sebagai tempat untuk berlindung dari sengatan matahari sekaligus untuk melepaskan lelah sambil menunggu suaminya yang masih terlihat jauh di belakang.
Tiba-tiba dari daerah Wajo datanglah seorang pemuda, pemuda yang belum dikenalnya tersebut juga singgah bernaung di bawah pohon yang sama.
Dari kejauhanpun sudah nampak sang suami yang kakinya masih asyik bermain dengan pematang sawah.
Berkata pemuda itu: “Apamukah orang tua yang datang kemari itu? “
“Itu samiku.“
Pemuda itu langsung tersenyum sembari berucap: “Sungguh sial benar nasibmu , bagaimana bisa engkau mempersuamikan seorang lelaki tua, wajahnya juga sangat jelek, seharusnya wanita muda secantik kamu mendapatkan lelaki yang masih muda, tampan dan kuat bekerja agar kamu bisa bahagia kelak di hari nanti. “
Pemuda tersebut terus menggodanya, dari kejauhan sang suamipun semakin tidak tenang dalam meniti pematang sawah.
Karena melihat sang istri berduaan di bawah pohon dengan seorang lelaki muda yang baru di kenalnya.
Akhirnya wanita itupun sepertinya kena mantra, dia menurut saja apa yang dikatakan oleh pemuda tersebut. Bahkan ketika diajak untuk jadi istrinya dia patuh begitu rupa.
Maka menurutlah perempuan itu, ia lalu pergi bersama dengan pemuda yang baru saja dikenalnya, meninggalkan suaminya yang masih terseok-seok di atas pematang sawah.
Melihat istrinya pergi bersama dengan pemuda tersebut, melolonglah dia sepanjang perjalanan.
“Mengapa engkau mengambil isteriku? ” teriaknya.
Tetapi keduanya tidak ada yang menoleh, mereka terus berjalan tanpa mempedulikan teriakan lelaki tua itu, hingga mereka sampai di rumah pemuda tersebut.
Ketika mereka duduk, si pemuda mengajari wanita itu bahwa, kelak kalau ada yang tanya siapa suamimu, maka kamu harus menunjuk aku sebagai suamimu.
Adapun lelaki tua itu setelah tidak melihat isterinya, ia menangis sepanjang jalan menuju ke Wajo, sehingga dalam perjalanan bertemulah beberapa orang dan menceritakan peristiwa yang baru saja di alaminya.
Orang tersebut menyuruhnya untuk melaporkan halnya itu kepada Batara Wajo La Tenri Bali.
Keadilan Batara Wajo 1 LaTenri Bali
Berangkatlah ia menuju ke balairung, dan mengadu sama Batara Wajo 1 La Tenri Bali.
Berkata Batara Wajo, “Siapa yang mengambil isterimu ?
“Aku tidak tahu.”
Dia pun menceritakan kisah yang baru saja dialaminya.
Batara Wajo 1 La Tenri Bali lalu memerintahkan untuk menggeledah semua rumah penduduk di Wajo. Semua wanita yang tidak dikenal harus dibawah menghadap di balairung. Ketika semua wanita pendatang dikumpulkan.
“Yang mana istrimu di situ?“ tanya Batara Wajo.
Laki tua itu langsung menunjuk seorang wanita
“Itulah istriku,“ jawabnya sambil menunjuk istrinya.
Dipanggilah wanita itu dan ditanya sama Batara Wajo.
“Siapa suamimu?”
“Itu suamiku,“ telunjuknya mengarah kepada pemuda yang datang bersamanya ”
Gilirang pemuda itu ditanya. “Apa benar dia istrimu.”
Pemuda itupun mengatakan bahwa benar wanita yang ditunjuk itu adalah istrinya.
Batara Wajo pun kembali menanyakan prihal perempuan itu pada lelaki tua tersebut.
Lelaki tua itu berkata “ Benar dialah isteriku.”
Lelaki Tua itupun menceritakan di hadapan Batara Wajo bahwa “ Sebelum aku berangkat ke Tana’ Wajo aku berdua duduk berhadap – hadapan makan di Cinnottabi’, makanan yang kami makan berdua adalah makanan dari beras ketam hitam dan sisanya kami bungkus untuk bekal kami di perjalanan “.
Sambil lelaki tua itu mengeluarkan sisa bekalnya dalam perjalanan dan memang benar nampaklah makanan yang diceritakan tersebut terbuat dari beras ketam hitam.
Sayang dalam perkara ini tidak ada satupun yang mampu menghadirkan saksi, sehingga menyuruhlah Batara Wajo’ bersama para Pa’danreng untuk menyediakan rumah bagi mereka dan ditempatkan bersama, cuma dalam kamar yang terpisah.
Batara Wajo memerintahkan agar semua kamar tempat mereka tidak boleh dibuka, kalau mereka mau buang air besar maka buang air besar dalam tempat yang sudah disediakan.
Keesokan harinya ketiga orang yang berperkara tersebut di panggil menghadap sama Batara Wajo. Mereka dihadapkan bersama dengan tempat untuk membuang air besarnya sebagi bagian dari alat bukti dalam perkara tersebut.
Ketika ditelisik ternyata hajat perempuan itu berwarna hitam, beras pulut hitam yang disantap tadi. Demikianlah kakek itu pun beras pulut hitam pula yang keluar dari duburnya.
Sebaliknya si pemuda itu berwarna putih kotorannya.
Ditimbanglah perkara itu oleh Batara Wajo dan Pa’danreng ketiganya bersama orang tua – tua di Wajo. Yang disepakati ialah bahwa wanita tersebut merupakan istri dari lelaki tua itu, sebab ketika hendak berangkat ke Wajo, benar mereka berhadap – hadapan makan, berhadap – hadapan pula makan diperjalanan ~ dan beras pulut hitam pula yang dimakan bersama.
Adapun yang disepakati oleh Batara Wajo dan para Pa’danreng serta orang tua – tua yaitu memberikan wanita muda itu kepada lelaki tua tersebut karena memang benar wanita itu adalah istrinya dan menjatuhkan hukuman mati kepada pemuda tersebut karena dipersalahkanlah telah melakukan perbuatan yang merupakan bagian dari pantangan pergaulan (kejahatan kesusilaan berat) di negeri Wajo.
Alhasil, lelaki tua itu buru-buru memeluk istrinya dan memaafkan semua perbuatannya.
Sumber : Lontara Sukku’na Wajo/ LSW
.