Catatan Ilham Bintang
Perjalanan ke Boston, Massachusetts, AS — 350 km dari New York City atau empat jam berkendara mobil –Senin (6/2) siang mengasyikkan sambil mendengar kisah JJ Ilyas. Tentang anak Indonesia kelahiran Amerika yang merasakan negara super power itu berkebalikan dengan gambaran banyak orang. Namun, untuk tinggal di Indonesia amboi betapa sulitnya.
Kota Bersejarah
Boston adalah ibu kota sekaligus kota terbesar di Massachusetts di Amerika Serikat yang berdiri tahun 1630. Saya minta Jay — panggilan akrab JJ ( Joerce Junior)–yang mengemudikan Ford Wagoneer nya yang gres memutar lagu lawas Massachusetts dari The Bee Gees. Sesuai dengan tema perjalanan. Jay bingung karena tak tahu lagu itu. Tapi ketika mendengarnya, Jay senang juga.
Di Wikipedia, Boston juga ditulis sebagai ibu kota dari wilayah tidak resmi New England. Kota ini salah satu kota tertua dan terkaya di AS, dengan ekonomi berbasis pendidikan, perawatan kesehatan, keuangan, dan teknologi tinggi. Nama julukannya termasuk “Beantown”, “The Hub”, dan “Atena Amerika”, sebab pengaruhnya besar terhadap budaya, intelektual, dan politik.
Selama akhir abad ke-18, Boston adalah tempat dari beberapa peristiwa besar selama Revolusi Amerika, termasuk Pembantaian Boston dan Boston Tea Party. Beberapa pertempuran awal Revolusi Amerika, seperti Pertempuran Bunker Hill dan Pengepungan Boston, terjadi di dalam kota dan sekitarnya.
Perguruan tinggi AS yang sangat terkenal dan terbaik di dunia, yaitu Harvard University berada di Boston. Universitas itu didirikan pada 8 September 1636 dan merupakan perguruan tinggi tertua di Amerika Serikat. Maka itu setengah wajib dikunjungi.
Kami berlima ke Boston hari itu. Jay, saya dan istri serta dr Yassin Mohammad dan istrinya, dr Abigail Audity. Anak dan menantu ini yang “memprovokasi” saya ikut ke New York. Bamed, perusahaan yang mereka kelola mensupport brand Kami., salah satu dari tujuh brand Indonesia yang akan tampil memperagakan busana muslim di New York Fashion Week 13 Februari.
Menjelajah Harvard
Harvard memang tujuan kami ke Boston. Bertandang ke “pabrik” orang- orang pintar penguasa dunia. Tapi hanya sempat dua jam menjelajah komplek sekolah yang amat luas menyerupai kota satelit. Cuaca yang amat dingin membatasi gerak.
Infrastruktur Harvard lengkap sebagai kota satelit. Spot fotonya segudang. Dr Yassin dan dr Audy mengeksplor habis hobi fotografinya.
Harvard awalnya bernama New College, dinamai Harvard College baru pada 13 Maret 1639 untuk menghormati penyumbang terbesarnya, John Harvard. Ia mantan mahasiswa Universitas Cambridge.
Jay terampil mengemudikan mobilnya pergi pulang New York – Boston. Beberapa kali kami bisa tidur nyaman dalam perjalanan melewati jalan mulus highway Boston – New York yang seluruhnya memakan waktu sekitar 10 jam dengan beberapa kali singgah di rest area.
Seperti disebut di awal, kisah hidup Jay amat menarik. Putra sulung pasangan Joerce Ilyas asal Sumatera Barat dan Heryani Ilyas asal Sumatera Utara ini dibesarkan di lingkungan keluarga sederhana pengurus taklim dan masjid di komunitas Indonesia di Queens, New York.
Jay kelahiran New York 17 April 1991 dan adiknya Joshua Ilyas (30) keduanya adalah warga negara AS.
Kami sudah seperti keluarga. Jay kemenakan sahabat kami, wartawan senior Marah Sakti Siregar. Sepuluh tahun lalu ketika berkunjung ke New York, adik- kakak ini juga yang mengantar kami selama berada di kota itu. Saya malah sempat menginap seminggu di rumahnya di daerah Queens.
Waktu itu Jay bekerja di Nike karena basic pendidikannya desain. Jay sangat mencintai Indonesia dan merindukan untuk dapat menetap selamanya di Tanah Air.
Beberapa tahun lalu Jay balik ke Indonesia. Mulai merintis pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris dan pelatih golf. Namun, tidak bisa lanjut. Meski berdarah asli Indonesia, namun secara hukum ia warga negara AS, maka Jay adalah orang asing. Cuma punya izin tinggal satu bulan. Untuk memperpanjang masa tinggal ia terpaksa ke Malaysia dulu kemudian masuk kembali ke Indonesia untuk masa sebulan berikutnya. “Setelah itu tidak bisa diperpanjang lagi. Hanya boleh dua kali,” urainya.
Jay mengaku sedih sekali. Ia merasa Indonesia telah memberinya sesuatu yang selama ini dicarinya. Yaitu lingkungan yang saling peduli sesama, gotong royong tanpa membedakan golongan dan ras. ” Di AS tidak ada yang seperti itu. Lingkungan kami hanya berempat orang saja. Mama, Papa, dan Joshua,” bebernya.
Di Indonesia, dia punya banyak keluarga. Tahun lalu ia datang lagi ke Indonesia. Saat sedang menikmati pekerjaannya, masa tinggal berakhir lagi. Ia malah sempat didenda karena overstay. Ia harus membayar denda Rp. 1 juta perhari. Tahun lalu itu ia membayar denda hingga Rp.5 juta karena overstaynya lima hari.
Saya mengikuti curahan hati JJ dalam perjalanan pulang pergi Boston – New York penuh takzim. Kisahnya memberi pemahaman berharga bahwa kemilau kehidupan negara maju dan adidaya seperti Amerika toh tidak sekaligus dapat mengisi kekosongan batin seorang Jay.
-Apakah Jay berniat tinggal seterusnya di Indonesia?
+Iya, saya mendambakan itu.
-Tidak akan kembali ke New York lagi?
+Akan ke New York lagi tapi hanya kalau terkait dengan urusan pekerjaan. Atau sebagai turis.
Jay masih lajang. Dia beberapa kali pernah berpacaran dengan beberapa gadis berbagai bangsa, namun semua berakhir putus.
- Apakah tidak ada yang diniatkan untuk menikah?
- Ada sih. Tetapi kembali ke masalah perbedaan kultur. Kita orang Indonesia kalau menikah kan bukan cuma dua orang, tetapi dua keluarga besar menyatu. Justru itu yang saya rasakan sulit.
Tapi Jay tak kapok. Bulan depan ia merencanakan kembali ke Indonesia dengan persiapan lebih matang.
- Apa yang akan direncanakan nanti di Indonesia?
- Saya akan melanjutkan pekerjaan yang dulu sudah dirintis. Selanjutnya membangun rumah buat Papa dan Mama. Saya merindukan semua keluarga balik saja tinggal di Indonesia.
-Menikah juga? - Iya, menikah juga. Dengan orang Indonesia.
-Sudah ada calonnya?
+Belum.
New York 7 Februari 2023