PINISI.co.id- Barangkali banyak yang lupa jika hari ini, 11 Desember merupakan hari ‘Pengorbanan’ 40.000 Jiwa Rakyat Sulawesi Selatan. Bahkan tragedi tersebut telah lama tidak diperingati oleh pemerintah bahkan di Sulawesi Selatan sendiri.
Orang ingin melupakan, atau pura-pura lupa, lebih-lebih jika tidak tersangkut dengan peristiwa tersebut. Akan tetapi buat keluarganya yang menjadi korban kebiadaban Westerling pada 11 Desember 1946, niscaya tidak pernah melupakannya seperti yang dialami seniman Aspar Paturusi dan sejarawan Anhar Gonggong.
Mungkin terkesan angka 40.000 itu jumlah nominal yang dibantai dan sudah jadi mitos, padahal angka 40.000 itu sendiri kontroversial.
“Boleh jadi warga Sulsel malu dikatakan orangnya dibantai. Tapi dia lupa, justru yang jadi pahlawan adalah rakyat kecil yang dibunuh, yang tak mau memberi tahu di mana para pejuang berada. Kematian mereka melindungi pejuang,” tutur Anhar.
Bagi Anhar sendiri, tidak masalah ada pihak yang menuntut secara hukum ke Belanda, namun hanya saja kalau tuntutan itu lebih cenderung pada ganti rugi uang, dengan tegas ia menoIak lantaran menilai nyawa orangtuanya tidak bisa diukur dengan materi seberapapun banyaknya.
Sebaliknya Aspar mengenang kekejaman Westerling di Bulukumba, selagi ia masih berumur 4 tahun. “Ayah saya ditembak Belanda. Begitu juga kakak tertua, sepupu dan paman satu-satunya diberondong peluru di tempat lain,” ujar Aspar sedih.
Masih terbayang oleh Aspar, rumahnya dibakar dan hanya menyisakan puing-puing. Rumah panggung yang terbuat dari kayu-kayu pilihan itu dan tampak anggun dalam sekejap menjadi abu dilalap api.
Dikisahkan Aspar, bahwa kakaknya dalam menghadapi regu tembak tak ingin matanya ditutup. Ia ingin menghadapi maut tanpa rasa getir. Dan akhirnya timah panas itu menembus jantungnya sebagai seorang pejuang.
Kakak Aspar adalah Kepala Staf dan Komandan Operasi dari Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR).
Selain itu, seorang ipar sepupu, Letnan Dua Bakri, tewas bersama dua orang temannya dalam suatu pertempuran timpang dengan pasukan Westerling di Banyorang, Bulukumba. “Bakri orang Maros dan anggota pasukan ekspedisi Jawa. Semula ia ditugaskan mencari senjata bersama dua orang pengawalnya. Mereka gugur dalam mempertahankan kemerdekaan,” cerita Aspar kepada PINISI.co.id.
Adapun ayah Anhar Gonggong, bersama kakaknya dibunuh Westerling. Satu kakaknya dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, di Pare-pare.
Ayah Anhar bernama Andi Pananrangi adalah raja di kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, Alitta. Ia memang sudah lama jadi incaran Belanda, dicap sebagai musuh. Kala itu, Anhar baru berusia 3 tahun.
“Saya anak bungsu, tidak melihat kejadian itu. Ibu saya juga tak melihat, saat itu kami mengungsi setelah ayah ditangkap,” kata Anhar kepada Viva.co.id (12 Mei 2012).
“Demikian pula paman dan sepupu ikut dibantai. Kalau dihitung secara keseluruhan di lingkungan keluarga dekat, ayah, kakak, paman, sepupu, mungkin sampai 20-an orang,” aku Anhar.
Tak hanya nyawa, pasukan Belanda juga membakar rumah dan menghabisi harta bendanya.
Anhar mengingatkan, dalam keputusan Pengadilan Den Haag, Belanda pada kasus Rawagede 9 Desember 1947, disebut bahwa Pemerintah Belanda “telah membunuhi rakyatnya sendiri”. “Itu artinya Belanda tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dia minta maaf, mengakui pelanggaran di wilayah Kerajaan Belanda. Diakui sebagai jajahan, padahal kita berjuang untuk merdeka,” tambah Anhar.
Apalagi, kekejaman yang dilakukan Westerling dan pasukannya tidak bisa dimaafkan. Dari keterangan kakaknya, Andi Selle, Anhar mendapat gambaran soal situasi kala itu. Penduduk dipaksa menggali lubang dalam, kemudian mereka dipaksa duduk di tepi lubang, ada 30 orang, 40 orang, bahkan sampai 100-an orang.
Lalu, para serdadu menanyai mereka, “mana Andi Selle, mana Andi Matalatta,” satu-persatu keberadaan nama pejuang ditanyakan. Jika tak menjawab, mereka ditembak, jenazahnya tersungkur masuk lubang. “Bahkan perempuan ada yang ditusuk dengan sangkur. Kejamnya Westerling tak bisa dihapus dengan maaf, nggak ada itu,” tegas Anhar.
Menurut Andi Mattalatta, banyak diplomat yang selamat dari kekejaman Westerling karena dibuang di Serui, Maluku, 18 Juni 1946. Mereka adalah Ratulangi, Lanto Daeng Pasewang, Enci Saleh Daeng Tompo, Latumahina, Pondaag dan Suwarno.
Prokontra Angka 40.000
Angka yang dibunuh 40.000 jiwa sebetulnya sudah terjebak kontroversi. Mengingat penyebutan 40.000 adalah angka politis yang pertama kali disebut Presiden Soekarno.
Kepada publik pada 11 Desember 1947 di Yogyakarta dalam peringatan pertama hari korban 40.000 jiwa. Saat itu Soekarno bertanya kepada Manai Sophiaan, tokoh PNI asal Sulsel perihal berapa sesungguhnya korban Westerling. Manai langsung menjawab 40.000. K
Demikian pula Kahar Muzakkar, yang sudah lama tidak mudik ke Sulawesi dan jadi komandan laskar di Jawa dari awal revolusi, tak tahu persis berapa jumlah orang Sulawesi Selatan yang terbunuh oleh pasukan Westerling.
Kahar hanya punya kolega dari Sulawesi yang mengabarkan soal pembantaian di banyak desa Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat itu. Sebelum November 1947, banyak gerilyawan seperti Andi Selle dan Salah Lahade tiba di Jawa dari Sulawesi Selatan.
Kahar melaporkan ke Sukarno, pada akhir 1947, bahwa korban jiwa 40.000.
Dari situlah rakyat Sulsel mengusulkan pemerintah agar setiap 11 Desember menjadi Hari Berkabung Nasional. Tapi usulan itu tidak menggema, bahkan seringkali di Sulsel sendiri tidak diperingati.
Menyoal angka itu, tidak ada
rujukannya yang pasti. Koran De Vrije
Nederland menulis angka 20.000, sebaliknya Pemerintah Belanda mengaku cuma
2.000 jiwa korban, sementara itu Kabinet Pertama Indonesia Timur menaksir 5.000
orang dan koran Het Parool malah
menulis 60.000 jiwa, padahal Westerling sendiri dalam bukunya Challenge to Terror bersumpah hanya
rnembunuh 600 jiwa, sebagaimana tulisan Andi Mattalatta. dalam buku Meniti Siri’ dan Harga Din, 2003).
Angka ini tidak berbeda jauh saat Salim Said, — wartawan Indonesia pertama yang mewawancara Westerling terkait jumlah korban. Westerling bahkan tega katakan, “Tanyakan kepada Sarwo Edhie Wibowo berapa banyak orang yang bisa diburu oleh pasukan khusus. Seingat saya 463 orang,” ujar Salim mengutip Westerling.
Lebih dari itu Salim bersama Andi Makmur Makka (mantan Pemred Republika) yang juga saksi pembantaian Westerling, — pernah melakukan penelitian jumlah korban selama ekpedisi Westerling di Sulsel. Masa revolusi tahun 1945-1950 tidak sampai 3.000 ribu korban jiwa. Sekitar 2.000 lebih yang meninggal masa perjuangan itu,” urai Salim mencoba meluruskan tafsir.
Sebaliknya Anhar memberi gambaran di Kariano, ibu kota kerajaan ayahnya, yang kini menjadi kampung, kakak Anhar pernah mendata jumlah korban pembantaian Westerling pada 1972.
“Di Kariano saja yang kecil ada 700 orang tewas, dia catat namanya, tempat dibunuh. Padahal jarak dari Makassar sampai 100 kilometer,” sahut Anhar.
Penduduk Sulsel yang jadi korban, Anhar menambahkan, mempertaruhkan nyawa demi para pejuang. Mereka melawan dalam diam.
Dalam buku Masalah Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan (Depdikbud, 1993) disebutkan Kahar Muzakkar dengan emosional menyebut angka 4.000 orang bahkan mungkin 40.000 orang terbunuh. Istilah korban 40.000 itu adalah dari ucapan spontan Kahar Muzakkar.
Soekarno terharu oleh laporan Kahar Muzakkar. Tiap diberi kesempatan pidato, Kahar selalu sebut angka 40.000 jiwa terbunuh sebagai korban keganasan pasukan Westerling di Sulawesi Selatan.
Maka pada 11 Desember 1947, di ibu kota RI Yogyakarta, digelar peringatan setahun peristiwa korban 40.000 jiwa.
Salah satu kawan seperjuangan Kahar selama di Yogyakarta, Ventje Sumual, — dikenal sebagai salah satu tokoh Permesta, dalam autobiografinya, Ventje Sumual, Pemimpin Yang Menatap Hanya ke Depan (1998), menyebut, “Kahar Mudzakkar, dalam pidato-pidatonya selama di KRIS Yogya, suka mendramatisir angka 40.000 jiwa rakyat jadi korban demi membangkitkan perasaan bela pati para pejuang asal Sulsel.”
Hingga kini jumlah korban masih jadi perdebatan di luar narasi sejarah yang nasionalistis dan indonesiasentris. Tidak mudah melakukan perhitungan atas korban Westerling di Sulawesi Selatan.
Salim Said dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi (2013) menyebut, sulit menemukan jejak kematian lebih 3.000 jiwa. Adapun Anhar Gonggong menyebut 10.000 jiawa.
Soal angka, Anhar terus terang mengaku tidak semuanya korban Westerling.
Malah dalam buku Alex Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih (1988) merilis penyelidikan Angkatan Darat Republik Indonesia pada 1950-an hanya menemukan angka 1.700 korban tewas.
Akan halnya si pembatai Westerling dalam Challenge to Terror (1953), bilang, “Aku memimpin 11 operasi, dalam perjalanan kurang lebih 600 orang teroris terbunuh dalam pertempuran maupun eksekusi. Dari 123 anggotaku, aku telah kehilangan tiga.”
Meski masih diperdebatkan, terutama oleh pihak Belanda, angka 40.000 jiwa sudah terlanjur bersemayam di dalam sanubari rakyat Indonesia yang anti-kolonialisme.
Berapapun angka korban, tampak jelas sikap kejuangan dan perjuangan yang telah ditorehkan oleh rakyat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan republik.
Namun itulah masalahnya, salah satu penyakit bangsa Indonesia: amnesia terhadap sejarahnya sendiri.
(Alif we Onggang, dari berbagai sumber)