Kolom Bachtiar Adnan Kusuma
Sosoknya memang halus. Selalu diidentikan dengan makhluk lemah. Mudah menangis. Sering ditindas dan tak mampu melakukan perlawanan. Namun tunggu dulu, sejarah telah membuktikan, banyak diktator dunia yang justru takluk karena senyumannya. Dialah wanita. Tanpa kehadirannya, dunia terasa hampa, tiada keindahan.
Dalam bentangan panjang sejarah dunia, wanita selalu memainkan peranan penting. Di mana ada sejarah penting, maka di situ ada wanita. Entah sebagai pemeran utama, pendamping pemeran utama atau terkadang malah tokoh antagonis. Sejarah peradaban manusia pertama, Nabi Adam. Kisahnya tidak bisa dipisahkan dari cerita Ibunda Hawa. Cerita tentang Nabi Adam, belum lengkap bila tak mengikutkan Siti Hawa. Benarlah kata pepatah, di balik lelaki nan perkasa, berdiri wanita yang hebat.
Apalagi untuk perkara membangun peradaban. Wanita adalah komponen penting. Wanita, kelak bila dia telah menjadi ibu, maka sejatinya dialah pendidik dunia. Bila generasi muda ini hancur, maka salah satu yang paling patut terkena getah adalah ibu. Ibu adalah pendidik pertama yang mengenalkan anak tentang dunia. Maka saya melihat nilai stretegis ini. Kaum ibu juga harus dilibatkan dalam pembudayaan minat baca. Saya kembali menggagas, Gerakan Sayang Buku dan Ibu Suka Membaca Sulsel. Di Hotel Alden Makassar, program itu dicanangkan. Harapannya ingin menggugat peran keluarga sebagai peletak dasar tumbuhnya budaya membaca di tengah keluarga. Bisa dibayangkan jika ayah gemar membaca. Ibu pecinta buku, maka anak-anak akan terkondisikan untuk berbuat yang serupa. Maka terbentuklah keluarga pecinta buku.
Mildred A. Dawson, pernah mengeluarkan teori tentang dahsyatnya empat keterampilan dalam menuntun masyarakat agar memahami pentingnya membaca. Keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills) dan keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan ini tidak berdiri sendiri. Tapi memiliki keterkaitan satu dengan lainnya yang teramat erat. Coba kita seksamai tumbuh kembang anak. Awalnya mereka menyimak. Mencerap segala rupa fakta yang ada di sekitarnya, terutama tingkah orang tua. Saat usia semakin bertambah, pelan-pelan mulai mengasah keterampilan berbicaranya. Mencoba melafalkan apa yang mereka simak, dengan mengucapkan kata walau terbatah-batah. Lalu akan berlanjut belajar membaca, yang umumnya dirangkaikan dengan keterampilan menulis. Hingga akhirnya keempat keterampilan itu dikuasainya. Yang menjadi perbedaan, ada yang hanya mengusai semata. Ada juga yang berusaha mengasah kemampuannya. Benarlah apa yang dikemukakan oleh Porf. Fuad Hasan, bahwa membaca sesungguhnya memiliki tiga tingkatan, yaitu: mengenal huruf, melafal huruf dan memahaminya.
Dalam pengamatan singkat saya, membaca belum membudaya di kalangan ibu. Mungkin karena ada pemahaman bahwa seorang wanita, kerjanya adalah di belakang layar saja. Tidak jauh-jauh dari dapur dan sumur. Jadi tidak perlu berlagak sebagai pembaca buku segala. Ini pemahaman yang keliru tentu. Berada di garda terbelakang, bukan berarti menggerus nilai strategis seorang ibu. Seperti penjaga gawang. Tempatnya memang di belakang. Tapi dia menjadi lapis pertahanan terakhir dan penentu kemenangan. Justru karena berada di garda terbelakang, sebagai pertahanan terakhir keluarga, ibu harus punya banyak pengetahuan. Dan salah satu jalan palng efektif adalah membaca. Dengan membaca, wawasan semakin luas.
Saya menumbuhkan minat baca di berbagai kalangan laksana seorang pemburu. Lain target mangsa, lain pula caranya. Untuk kalangan ibu-ibu saya punya tiga jurus ampuh. Pertama adalah motivasi. Berbicara motivasi berarti kita membahas tentang bagaimana menjadikan membaca sebagai bagian dari hidupnya. Segala perkara hidup, bila dilakukan tanpa motivasi pasti tak akan lestari. Begitupun membaca. Kalau tidak diawali dengan motivasi yang keras, maka membaca hanya sekadar aktivitas formalitas belaka. Membaca tak ubahnya seperti membunyikan huruf-huruf tanpa pernah kita mampu memetik maknanya. Sulit kiranya membentuk ibu-ibu yang suka membaca di rumah bila tidak diawali dengan motivasi dan kesadaran tentang pentingnya membaca.
Mountain pernah mengungkapkan bahwa sesungguhnya motivasi adalah sesuatu yang mendorong kita untuk bisa belajar melakukan yang terbaik.
Jurus kedua, menumbuhkan terus menerus minat baca ibu-ibu. Motivasi belaka tanpa minat yang kuat, tidak akan mewujud menjadi perbuatan nyata. Setelah motivasi itu hadir, selanjutnya adalah mengadakan minat. Karena minat berhubungan dengan keinginan yang kuat disertai usaha yang gigih. Ibu-ibu harus memiliki keminatan dalam membaca. Membaca beragam sumber, tentu akan memperluas wawasan. Bayangkan saja bila kaum ibu tidak membaca. Saat profesi utamanya adalah ibu rumah tangga dan kebanyakan di sector domestic dan tidak gemar membaca pula. Inilah yang disebut katak dalam tempurung. Hanya tinggal di dapur, tak memiliki wawasan global.
Frymeir menyebutkan ada tujuh faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca pada diri seseorang, termasuk kaum ibu. Salah satu di antaranya adalah pengalaman dan pengetahuan. Biasanya orang yang saat membaca dan merasa mendapatkan kebermanfaatan, maka dia akan rindu untuk kembali membaca. Atau dari pengalamannya, merasa bahwa membaca sudah menjadi kebutuhan. Ini berlaku untuk orang yang berkarakter haus informasi. Tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimilikinya sekarang. Selalu ingin menambah ilmu. Perangai seperti ini yang harus dimiliki oleh seorang ibu, jika dia benar-benar ingin menjadi ibu peradaban.
Bagaimana cara membiasakan ibu-ibu agar gemar membaca? Mudah saja caranya. Coba buat kegiatan membaca yang menjadi agenda keluarga. Semua anggota keluarga wajib berpartisipasi. Tentukan hari khusus, di mana hari itu menjadi hari membaca keluarga. Misalnya setiap hari sabtu, sudah teragendakan berkunjung ke mall. Kebanyakan ibu-ibu hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tentu tidak ada salahnya jika diagendakan untuk mampir di toko buku yang biasanya terintegrasi dengan mall. Kalau pun tidak membeli, setidaknya semangat membaca kembali bersemi. Melihat tumpukan buku dengan serba serbi judul yang menarik. Kalaupun ingin berinvestasi membeli buku, itu tentu lebih baik. Sangat baik, jika ada ibu yang punya target membeli satu buku dalam sepekan.
Lalu menargetkan menamatkannya dalam sepekan itu. Setelah tamat, beli lagi buku baru. Begitu seterusnya. Tidak perlu buku-buku tebal. Cukup buku yang tipis-tipis saja. Dan memang ini menjadi salah satu kegemaran ibu-ibu. Buku tipis, dengan bahasa yang memotivasi dan mudah dipahami. Harganya pun cukup terjangkau. Untuk buku dengan tebal 120 halaman, biasa kisaran harganya hanya Rp 30.000. Saya mengatakan “Hanya”. Karena kalau kita dalami, harga Rp 30.000 itu tidak sebanding dengan manfaat ilmu yang kita dapat. Dan harga Rp 30.000 itu tidak sebanding dengan jerih lelah penulis berimajinasi, melakukan beragam penelitian hingga akhirnya lahirlah satu buah buku.
Adalagi teknik lain yang bisa ditempuh. Sudah lumrah di kalangan ibu-ibu untuk melakukan arisan. Sebenarnya bukan arisannya yang dikejar. Tapi momentum untuk berkumpul, bercengkrama berbagi cerita, itu yang ditunggu. Memang sudah tabiat wanita banyak bicara. Apalagi bila sudah bertemu rekan-rekannya. Segala rupa cerita ada di situ. Ini bukan sebuah kebiasaan nan tabu. Berbagi cerita itu tidak salah. Tinggal perlu diperhatikan, bahan pembicaraannya. Nah, saat berarisan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk bertukar buku. Atau mendiskusikan tentang buku yang baru dibaca. Mungkin juga bisa dipikirkan, membuat forum arisan tidak dengan uang. Tapi dengan buku. Ringkasnya kita buat “Arisan Buku”. Mungkin ini akan menjadi arisan yang tidak populis. Namun tidak ada salahnya untuk dicoba.
Ibu yang senang membaca dan memiliki wawasan luas, biasanya memiliki tingkat kedewasan sosio emosi lebih baik daripada yang jarang membaca. Ibu pecinta membaca, umumnya memiliki stabilitas emosi, kepercayaan diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kelompok. Mereka aktif memberikan jalan keluar terhadap segala permasalahan yang muncul. Hal ini memang mungkin dilakukan, karena dia memiliki banyak referensi yang diperolehnya dari kecintaan membaca.
Jadi kalau ingin membaca menjadi budaya masyarakat, ibu-ibu wajib terlibat aktif. Hanya dengan ibu yang suka membaca akan lahir generasi muda yang cerdas, mandiri dan tangguh dalam kehidupan ini.
Pembelajar Parenting dan Tokoh Literasi Sulsel