Kolom Fiam Mustamin
MARADEKA To WajoE Ade’Enami Napo Puang /merdeka orang Wajo adatlah ( hukum ) yang dipertuan.
Inilah warisan klasik leluhur kita dengan nilai demokrasi Bugis yang menjadi obsesi penulis Yudhistira Sukatanya menghadirkkan naskah teater ini sebagai syiar di tahun 1994. Kemudian dipanggungkan pada tahun 1995 di Taman Budaya Bandung.
Menulis naskah serupa ini membutuhkan kesungguhan dan ketekunanan untuk melakukan riset referensi pustaka dan dengan nara sumber pakar sejarah dan budaya.
Naskah itu hadir dari hasil beberapa penelusursan pustaka dan wawancara antara lain dengan budayawan Andi Indra Chandra, Bupati Wajo Radi A. Gani.
Raja La Peteddungi To Samalangi memangku sebagai Batara Wajo Ketiga, bertahta 1446 – 1449 meneruskan tahta ayahandanya La Mataesso, Batara Wajo Kedua.
Batara Wajo Ketiga, To Samalangi yang perilakunya menyimpan tidak mewarisi kebajikan dan pengayoman kepada rakyat sebagaimana perilaku ayahandanya La Mataesso, Batara Wajo ke Dua.
To Samalangi bertindak sewenang wenang terhadap rakyatnya.
Dengan dua orang Joa/ pesuruhnya : La Oro dan La Palo turun menjelajah ke kampung-kampung mempermainkan anak gadis dan perempuan yang sudah bersuami dengan kekerasan terpaksa.
Bahkan dihari Pasar To Samalangi mempertontonkan perbuatan biadabnya itu dengan memasang semacam lamming kelambu bersama para korban korbannya di dalamnya.
Naskah itu, Langit Hitam di Tosora (LHT) ditulis 30 tahun silam yang saat ini tetap aktual refleksinya dalam masyarakat di mana perilaku kesewenang-wenangan penyandang pemangku kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Upaya pencegahan dilakukan dengan nasehat para tetua Dewan Adat dari Arung Ennengnge saat itu yang diabaikan begitu saja dan pada saatnya To Samalangi diamuk oleh rakyat ramai-ramai yang dipimpin oleh Arung Saotanre, pamannya dan La Taddampare Puang ri Maggalatung ( kelak diangkat menjadi raja/ Arung Matoa Wajo Keempat).
To Samalangi tewas di tangan La Taddampare dengan tombak sakti Ulabaluae.
Mau luttu massuajang, Uki siputanraE sololongemua/sekalipun terbang ke angksa, jika sudah suratan takdir padi akan kembali.
Kemudian La Taddampare Puang ri Manggalantung dipilih menjadi Raja/Arung Matoa Wajo Keempat dari Dewan Adat/ Arung Ennengnge yang memerintah selama 30 tahun.
Seterusnya Arung Matoa itu dipilih secara Demokratis dari Empat Puluh Arung (Arung Patampulo ) sebagai Dewan Adat.
Tercatat La Mungkace To Udama yang bertahta selama 40 tahun sebagai Arung Matoa Wajo Kesebelas.
Arung Matoa Wajo dipilih, bukan tahta warisan/ putera mahkota dan berakhir karena wafat/ mallinrung, mengundurkan diri/ lessoi. Diberhentikan/ dimakzulkan ( ri palessoi ), Diasingkan/ Diusir ( ri palii ) dan Dibunuh (ri unoi) seperti nasib La Pateddungi To Samalangi, Batara Wajo ke Tiga ( dikutip dari Lontara Sejarah Dari Segala Raja di Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan Luwu yang ditulis dan dituturunkan oleh Sulewatang Amali, Taretta Bone 1939).
Legolego Ciliwung awal Ramadhan 1445 H/12 Maret 2024.