Kolom Fiam Mustamin
MASA kecil pra sekolah terekam dalam ingatan berada di alam pegunungan. Di pegunungan itu bermukim rumpun keluarga Se Ring, begitu orang menyebutnya.
Serumpun/klien keluarga itu berumah panggung yang berjarak sekian meter di lembah-lembah pegunungan yang dekat dengan aliran sungai/mendekat air sebagai sumber kehidupan.
Di sepanjang areal lahan tebing itulah yang diolah menjadi lahan kebun pertanian yang sebelumnya adalah hutan-hutan kayu yang dibabat.
Lahan kebun itu dinamai dare untuk ditanami kebutuhan sehari hari seperti padi, jagung, kacang dan sayur-sayuran.
Padi dan jagung diolah secara tradisional dengan menumbuknya menjadi beras, terasa harum dan pulen nasinya.
Sementara sayurannya dari daun kacang dan buahnya yang mudah dicampur dengn terong kecil bulat atau daun kelor.
Seringkali terdengar ketokan dan teriakan teriakan yang diikuti anjing peliharaan manakala ada gangguan yang membahayakan tanaman seperti babi.
Untuk lauknya dari ikan sungai yang ditangkap secukupnya. Di sungai yang bebatuan mengalir dengan jernih dan menyaksikan ikan-ikan kecil berenang.
Sementara ikan besar seperti gabus, lele dan masapi — rumpun ikan belut yang berwarna lurik padat lemak, hidupnya di sela batu besar.
Untuk mengambil ikan besar itu dengan tombak atau menggunakan semacam ramuan bius (tua) dari akar yang ditumbuk dan airnya disebar di areal yang akan diambil ikannya. Ikan-ikan yang terkena itu akan mabuk dan mengapung, tinggal menangkapnya.
Bila ada hajatan keluarga seperti perkawinan dan naik rumah baru penduduk Wanua berburu /rengngeng menangkap rusa atau sapi liar di hutan. Sepertinya orang Wanua tau dimana buruan itu berada dengan firasat penciumannya buruan bisa dijinakkan dengan perangkap ikat leher (tado).
Begitulah kearifan alami orang-orang gunung yang ke pasar untuk keperluan menjual hasil bumi hutan; gula merah dan kemiri dan membeli garam dan tembakau.
Di kehidupan pegunungan itu menyiratkan pengalaman batin dan pelajaran keseimbangan berdampingan hidup antara manusia dengan alam sekitarnya.
Turun Gunung Bersekolah
SEKITAR setengah hari perjalanan turun gunung mencapai pedesaan Tajuncu.
Di pedesaan ini saya memasuki sekokah rakyat/sekokah dasar saat ini.
Di usia kelas dua, ayah berpulang kemudian saya diasuh oleh guru suami isteri; Laupe dan Petta Sahari.
Dalam asuhan guru saya diajarkan berbagai hal dalam kehidupan pekerjaan di rumah seperti memasak, belanja ke pasar, mengambil air di sumur dan sungai untuk keperluan di rumah.
Sebelum ayah berpulang, saya dititipkan ke guru mengaji Petta Viva yang sering membawa saya mengaji di hajatan keluarga.
Dari mengaji ini saya terkesan dengan suatu ritual tradisi Mappanre Temme ( menyembelih ayam terpilih yang darah sembelihannya itu di sapukan kebagian tertentu di wajah) lalu ayamnnya dimakan ramai-ramai.
Tradisi ini guru mengaji menuntun kita membaca surah Iqra sebelum beralih ke Quran besar.
Di usia itu saya selalu tidur bersama ayah begitu sayangnya saya dengan kain sarung dibawa ke majelis rumah datuk di Saoraja Labottoulu. Di saoraja ayah menidurkan saya di pangkuannya.
Majelis berlangsung saya dalam selimut sarung tak tertidur mau ikut mendengarkan (maccoling) pembicaraan orang tua itu meskipun saya belum cukup umur untuk memahami pembicaraan orang tua itu.
Kemudian hari setelah dewasa dari bacaan dan tausyiah para cendekia saya mengingat apa yang pernah saya dengar.
Saya senang sekali mendengar dan membaca apa yang diuraikan oleh Anre Gurutta Prof Dr KH Nasaruddin Umar.
Kemudian naik kelas tiga saya ikut guru pindah sekolah di Leworeng sampai tamat dan melanjutjan ke SMP negeri satu Watansoppeng.
Di Leworeng saya ikut bertani dan menangkap ikan di rawa-rawa dekat danau Tempe.
Dalam menuliskan pengalaman ini teringat atas kebaiikan kepada semua guru, imam masjid, para orangtua, sesepuh serta teman sekolah dan sepengajian yang sudah mendahului saya panjatkan doa Alfatiha ….
Sesepuh/orang tua yang begitu dihormati saya kenal atas persahabatannya dengan ayahandaku La Fiabang bin La Badung antara lain Puang Tobo (Andi Patobo) Kepala Kampung Lapao di Takkalasi Barru, Pung Palle, ayahanda Andi Sofyan dan Andi Sahrir — rumpun Se Ring, Pung Kepala Laece, Pung Sondok dan Pung Laomma di Tajuncu, Petta ; Ming, Zenu, Mangga, Mahmud dan KaraengTenri Tatta di Saoraja Kampong Baru, Matoà Leworeng dan Matoa Paddangeng.