Lindungi Keluarga Indonesia, KNPK Desak Pemerintah Tolak Utusan Khusus HAM LGBTQ Amerika Serikat J Stern

0
744
- Advertisement -

PINISI.co.id- Tokoh masyarakat dan agama, akademisi, cendekiawan dan anggota masyarakat dari kalangan profesional muda yang tergabung dalam Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia (KNPKI) menilai, rencana kedatangan utusan khusus pemerintah Amerika Serikat (AS) bidang peningkatan hak azasi manusia (HAM) kelompok homoseksual, lesbian dan trans gender (LGBTQ+) Jessica Stern, merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah AS.

Selain itu juga bagian upaya berlebihan dalam mencampuri urusan dalam negeri lain. Walau rencana kunjungan tersebut diinfokan dibatalkan, namun KNPKI tetap meminta Pemerintah Republik Indonesia tegas menolak upaya intervensi AS dalam masalah LGBTQ ini demi perlindungan keluarga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat

“Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara anggota PBB yang berdaulat satu sama lain. Sudah sepatutnya, saling menghargai. Karena itu pemerintah maupun rakyat Amerika tidak perlu mengajari Pemerintah dan Rakyat Indonesiai untuk mengadopsi nilai-nilai kebebasan ala USA. Sebagaimana Indonesia-pun tak akan mengajari USA untuk mengadopsi nilai-nilai dan peradaban ala Indonesia,” papar Ketua Umum KNPKI yang juga guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof.Dr. Ir. Euis Sunarti, MSi.

Lebih lanjut Prof Atip Latipulhayat, S.H., LL.M, Ph.D. sebagai anggota Dewan Pengawas KNPKI yang juga Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung, menegaskan kedatangan Utusan Khusus pemerintah AS Jessica Stern, merupakan bentuk ekspor nilai-nilai kebebasan yang sangat tidak bertanggungjawab kepada negara merdeka dan berdaulat seperti Indonesia.

Urusan penyikapan pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap LGBTIQ+ sudah ada mekanisme nya pada instrumen HAM PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) seperti Universal Periodic Review (UPR) pada UN Human Rights Council dan pada UN Human Rights Commission sebagai Treaty Bodies. Selain itu, Indonesia juga telah menjadi state party dari ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights).

- Advertisement -

“ Urusan Indonesia dengan isu Hak Asasi Manusia adalah sesuai mekanisme yang ada pada PBB, dan tidak ada kepentingan untuk dikontrol dan mengimpor nilai-nilai kebebasan dari Amerika Serikat. Apalagi Nilai-nilai HAM ala Amerika selama ini juga tidak selalu tepat untuk dikonsumsi negara lain. Pemerintah dan rakyat Indonesia tidak perlu mengikuti kemauannya Amerika Serikat yang sedikit banyak bertentangan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Apalagi Amerika Serikat sendiri telah lama memiliki standar ganda dalam penegakan HAM, menebar perang dan menginvasi negara-negara lain atas nama enduring freedom atau mempertahankan kebebasan. Tidak sedikit warga sipil yang tidak berdosa turut menjadi korban,” tegasnya.

Menurut Atip, standar kebebasan ala AS banyak melahirkan blunder sekaligus mendekonstruksi HAM kelompok yang lain. Sementara Kontrol terhadap pemilikan dan penggunaan senjata api (gun control) atas nama rights to keep and bear arms (amandemen kedua konstitusdi AS) di AS sendiri telah menimbulkan teror penembakan massal oleh pelaku sipil dimana-mana di AS. Di sekolah, perguruan tinggi, konser, Mall, kantor, dan tempat-tempat publik lainnya.

“Apakah nilai kebebasan HAM demikian perlu ditiru oleh Indonesia? tanya Atip Latipulhayat yang merupakan juga Ahli Hukum Internasional serta Ahli HAM dari UNPAD tersebut.

Sementara standar kebebasan dan lemahnya kontrol ala AS sedikit banyak telah menjadikan negeri yang mendapat julukan sebagai Paman Sam ini, sebagai negara yang warga-nya paling banyak angka terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19 di dunia sejauh ini. Sampai dengan 2 Desember 2022 angka penularan COVID19 di USA mencapai 100 juta kasus lebih. Dimana 1.1 juta diantaranya mengalami kematian. Ini merupakan angka kematian tertinggi sedunia.

Karena itu, Euis Sunarti atas nama KNPKI meminta pemerintah, dan anggota parlemen AS untuk lebih mengutamakan urusan dalam negeri-nya dari pada mensosialisasikan LGBT apalagi jika memaksa rakyat dan pemerintah Indonesia menerima dan melindungi LGBT di Indonesia.

Lebih lanjut Atip Latipulhayat meminta pemerintah AS lebih banyak mengurusi urusan dalam negeri-nya. Dan tak perlu mengekspor nilai-nilai kebebasan-nya, yang tak tepat dilakukan ke negara lain, termasuk Indonesia. Indonesia adalah negara yang merdeka, berdaulat, dan menjalankan demokrasi sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah salah satu sila dalam Pancasila yang sejak Indonesia merdeka tahun 1945 telah menjaga Indonesia sebagai negeri yang beradab dan berkeTuhan-an.

“Indonesia juga telah memiliki pasal-pasal HAM pada UUD NRI 1945, serta telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sekaligus h memiliki UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ide dan nilai kebebasan HAM yang dianut di Indonesia adalah sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 yang juga mengapresiasi Kewajiban Dasar Manusia,” papar Atip Latipulhayat.

Menurut Atip, Pasal 1 angka (2) UU No. 39 tahun 1999 telah menjelaskan Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Sementara Pasal 35 disebutkan, Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tentram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

“Sedangkan pasal 67 pada UU yang sama, setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia,” Atip Latipulhayat mengutip kalimat yang ada di UU tersebut.

Adapun dalam Pasal 69 (1) disebutkan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan memajukannya.

“Sedangkan Pasal 70 UU yang sama, mereka menjalankan hak dan kewajiban. Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,” tutup Atip Latipulhayat. (Aco)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here