Kolom Zainal Bintang
Aksi terorisme bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar, Minggu pagi (28/03/21) menewaskan sepasang suami isteri yang baru menikah 6 bulan. Lukman Alfarizi(25) dan isterinya Yogi S Fortuna (22). Keduanya pedagang roti kebab di Makassar. Di Jakarta Rabu sore (31/03/21) teroris “lone wolf” alias “serigala penyendiri” bernama Zakiah Aini (25) mahasiswi drop out sebuah perguruan tinggi swasta di Depok menyerang kantor Mabes Polri di Jakarta. Teroris perempuan bercadar hitam berbaju ungu itu diberondong peluru aparat keamanan. Tewas ditempat dan hanya sempat menembak angin enam kali dengan pistol airsoft gun.
Serangan serempak aksi teroris di dua kota besar, Makassar dan Jakarta yang hanya berselang tiga hari, mendorong publik menyoal kehandalan mekanisme kontrol aparat keamanan terhadap sel – sel hidup teroris. Diketahui di bulan Maret berlangsung agenda rangkaian hari keagamaan kaum Nasrani yang dikenal sebagai “Pekan Suci” bagi pemeluk agama Kristen – Katolik. Satu minggu penuh dikhususkan merenungkan penebusan Yesus Kristus di kayu salib. Lima hari untuk ibadah atau misa. Dimulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci atau Malam Paskah, dan Minggu Paskah. Namun, tidak terlihat adanya aparat keamanan yang terlihat sebelum terjadi ledakan di gereja.
Ramón Spaaij, Profesor di Victoria University di Melbourne, Australia, dalam bukunya “Understanding Lone Wolf Terrorism: Global Patterns, Motivations and Prevention” (2012) , menulis, ada lima elemen pemotivasi “serigala penyendiri” memutuskan menjadi teroris. Disebutkan, cenderung menciptakan ideologi mereka sendiri yang menggabungkan frustrasi pribadi dengan keluhan politik, sosial atau agama yang lebih luas ; menderita beberapa bentuk gangguan psikologis ; menderita ketidakmampuan sosial dalam berbagai tingkat ; mentransfer frustrasi pribadi ke “orang lain” yang transgresif ; cenderung menyiarkan niatnya untuk melakukan kekerasan.
Eskalasi radikalisme “serigala penyendiri” menemukan jalan tol di ruang digital di era teknologi yang serba maya sekarang ini. Kehadiran media sosial memberi banyak kemudahan konsolidasi dan komunikasi senyap tanpa perlu kontak fisik. Mengurangi pertemuan di forum pengajian yang sudah mulai disusupi intel. Ada migrasi frontal dari pola institusional beralih ke personal. Kecanggihan teknologi digital menjadi rahmat terselubung. Dunia mendadak berubah dan memberi ruang sangat besar kepada pola aksi terorisme yang berbasis “serigala penyendiri”.
Komunikasi sunyi lewat daring menjadi pupuk kesuburan doktrin ideologi radikalisme yang mereka hayati.
Berbagai studi menyebutkan, melalui media sosial emosi dapat terungkapkan jauh lebih ekspresif. Mudah tersebarkan. Sekali kirim pesan yang banyak, dalam sekejap penerimanya juga banyak. Pola komunikasi di ruang digital semakin memantapkan tekad jihad. Timbunan lumpur kemarahan dan kekecewaan mudah terhubung sesama individu frustrasi yang merasa senasib : kelam!
Ruang digital meminimalisir penggerebekan aparat atau pengintaian intelijen. Dunia digital yang lagi ngetren menjadi bursa pemasaran ide radikalisme di lingkaran generasi milenial. Khususnya yang merasa hilang bentuk. Terpapar kondisi ketidak pastian hidup keluarga mereka yang serba kekurangan dari segi materi maupun minimnya peluang ke akses pendidikan.
Masa depan suram sebagai insan tidak berkecukupan di hampir semua bidang, menggiring generasi milenial memilih jalan radikal. Sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diyakininya bersumber dari ketidak adilan negara atas distribusi hak – hak dasar mereka yang diamanatkan konstitusi. Eksibisi spektakuler keserakahan materi digelar terbuka pemilik modal besar. Menampilkan komposisi kehidupan nyata yang timpang dan menyakitkan.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam laporannya menyebutkan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. TNP2K memberi laporan akhir capaian kinerja mereka di Istana Wakil Presiden Rabu, (9/10/19. “Itu yang perlu dikoreksi,” kata Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif TNP2K.
Fenomena baru aksi terorisme belakangan ini di Indonesia menampilkan kemasan baru. Hadirnya generasi milenial perempuan muda menjadi aktor utama. Keperkasaan kaum feminine muda itu menggeser perlahan peran klasik teroris maskulin. Ketimpangan kondisi sosial ekonomi keluarga deritanya lebih memukul kaum perempuan. Posisinya yang lebih banyak di rumah menjadi saksi hidup dan bagian tak terpisahkan penderitaan panjang yang mendera keluarga mereka secara ekonomi maupun secara sosial.
Menurut sebuah riset pada 2020, pelaku adalah generasi milenial, yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi. Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme. Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas. Sebagai unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini. Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga.
Peneliti Hukum dan Ham LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Perlu langkah untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme. Dia menyontohkan black widow di Rusia usai kejadian Moscow Theater Hostage 2002. Saat itu, banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan tentara dan pelecehan seksual. Mengesankan kurangnya perhatian dalam mengungkap alasan perempuan (muda) bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia, selain konteks jihad.
Dalam hal ini konteks perempuan tersubordinasi juga patut dijadikan sebagai elemen penting guna mengetahui motivasi perempuan dalam terorisme. “Kalau kita melihat tren yang ada di internasional, salah satu penyebab perempuan gabung jadi teroris itu karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan,” kata Mirdal. “Itu harus kita pikirkan bersama. Jika tidak, apa yang terjadi di konteks global juga akan terjadi di Indonesia,” ujarnya di media awal April.
Kehadiran “serigala penyendiri” menyasar perempuan muda merupakan early warning. Mendesakkan perumusan skenario kontra terorisme yang lebih komprehensif, lebih menyelam dan berkelanjutan. Harus lebih menitik beratkan kepada pembenahan akar masalah. Kepada sektor ketimpangan ekonomi yang akut dan sangat radikal!. Elemen radikalisme dalam bentuk aksi terorisme, harus dibaca sebagai perlawanan atas ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi adalah wajah lain dari terorisme. Faktor ini, yang belum terlihat menjadi agenda perdana negara.
Membiarkan “radikalisme” ketimpangan ekonomi tanpa pembenahan yang masif, akan menjadi lahan subur hadirnya setiap saat radikalisme lain yang diperankan para “lone wolf”. Mereka bertekad meskipun terpaksa harus nekat : mengirim pesan kepada negara melalui kematian : Problematika fundamental bangsa ini adalah ketimpangan ekonomi yang sangat “radikal”. Sehebat apapun agenda doktrin de-radikalisasi yang digagas negara tidak akan merubah apa – apa. Selama peragaan ketimpangan ekonomi dibiarkan menganga oleh negara. Fakta itu melukai jiwa mereka yang terjerat dalam derita lingkaran hidup di kubangan kesengsaraan.
Pertanyaanya : apa saja kontribusi konkret konglomerat pemodal kuat selama ini dalam skenario kontra terorisme yang memaksa negara membunuh setiap saat warganegara dengan peluru yang bersumber dari pajak rakyat?
“Lone Wolf” adalah sebuah nyanyian sunyi tentang perlawanan dan kekalahan. Sama bahayanya dengan pandemi apapun : Memilukan dan mematikan nurani bangsa ini!
Teman pengirim pesan via WhatsApp menulis pendek. Mengutip potongan lirik lagu Ebit. G. Ade “Kalian Dengarkan Keluhanku : “kemanakah sirnanya nurani embun pagi, yang biasanya ramah kini membakar hati, apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah, tak ada waktu lagi benahi diri, tak ada tempat lagi ‘tuk kembali…..!”
Penulis adalah Dewan Pakar KISS, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya