Masih Tentang Kontroversi Angka Pertumbuhan Ekonomi Kuartal 2-2021

0
630
- Advertisement -

Catatan Ilham Bintang

Pertumbuhan ekonomi kuartal II -2021 yang dirilis oleh BPS, Kamis, 5 Agustus lalu masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Satu pihak mengatakan itu riil, pihak lain mengatakan sebaliknya. Hanya polesan. 

Dalam tulisan  “Menyoal Data Pertumbuhan  Ekonomi  7,7 %  Kuartal 2-2021” (Jumat, 6/8), saya mengutip  pendapat dua sumber berkompeten. Suryopratmo  mantan host “Economic Challenges ” Metro TV dan ekonom ternama Rizal Ramli.

Keduanya mengulas laporan kuartal II Badan Pusat Statistik yang kontroversial itu. (Maaf, saya meralat kesalahan angka dalam penulisan  kemarin, seharusnya : 7,07 %).

BPS  sudah benar

- Advertisement -

“Parameter yang digunakan BPS untuk mengukur pertumbuhan ekonomi sudah benar dan baku. Dari dulu begitu. Tidak mungkin mereka main-main. Bisa hancur dong ekonomi kita,” kata Suryopratomo, kini Dubes RI di Singapura.

Suryopratomo menegaskan data BPS valid. Pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi kita, memang nyata. Terutama  ekspor Indonesia  yang menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan itu.
Kondisi  ekonomi global  yang membaik menyebabkan ekspor komoditi kita seperti sawit dan batubara paling panen. Kebetulan pas global sangat butuh harganya pun bagus sekali.

Pendapat sebaliknya disampaikan Rizal Ramli. Menurut mantan Menko Ekuin ini, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 tidak mencerminkan keadaan sebenarnya lantaran pembandingnya pertumbuhan ekonomi kuartal lI 2020. Kalau pembandingnya kuartal I 2021, yang seharusnya, ya hanya tumbuh 3,3 %.

Low base effect

“Perhitungan BPS di kalangan ekonom dikenal sebagai “low base effect”. Membandingkan data yang tinggi dengan data jelek, yang paling rendah, untuk mengekspresikan kesan sukses. Lihat saja nanti kuartal III – 2021 bakal anjlok lagi, “ urai ekonom terkenal itu.

Rizal tidak asal bicara. Ekspor kita yang menjadi penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021,  kini menghadapi persoalan berat. Beberapa negara di dunia “melogout” Indonesia atau melarang kita masuk negaranya lantaran penanganan pandemi kita buruk.

Paling hanya sawit dan batubara yang bisa diekspor. Itupun yang eksportirnya sudah langganan baik dan kenalan lama dengan importir di luar negeri. Eksportir ikan  dan hasil laut yang lain pasti paling menderita. Pembeli di luar negeri takut beli barang buat dimakan saat ini.

“Jangan lupakan belanja Lebaran yang mendominasi belanja konsumsi masyarakat pada laporan kuartal II -2021 itu. Juga sektor otomotif yang panen besar selama kuartal  Ii karena pajak PPn BM nya dihapus pemerintah,” jelas Rizal.

Bagaimana posisi pers? Yaa, harus meliput keduanya. Memberikan ruang atau kesempatan sama bagi dua pihak. 

Izin, saya terangkan sedikit tentang prinsip kerja jurnalistik secara profesional wartawan Indonesia. Jika di masa pandemi kita diharuskan menaati protokol kesehatan, pakai masker dan jaga jarak, “protjur” atau protokol jurnalisme juga begitu. Harus jaga jarak dengan sumber berita, pihak manapun. Masker? Untuk melindungi mulutnya menarasikan hanya satu kepentingan.

Wartawan Indonesia diwarisi dua hal  berharga dari  para pendahulunya. Pertama, harus nasionalis dulu baru jurnalis. Maka, doktrin NKRI harga mati misalnya, harus sudah selesai dalam diri wartawan.

Ini sudah sering saya utarakan dan tulis. Termasuk di depan Tito Karnavian semasa menjabat Kapolri dalam diskusi tentang aksi unjuk rasa 212 tempo hari.

Kalau ada muatan sentimen atau pertentangan etnis dan agama dalam berita maupun ulasan di media, itu pasti bukan produk jurnalistik. Bisa saja secara formal wartawan, bisa juga hanya  mengaku-ngaku saja. Apapun, boleh dikatakan itulah hal terburuk untuk dilakukan oleh seorang  jurnalis.

Warisan kedua : warisan kerendahan hati menerima kritik dan koreksi. 

Wartawan bukan seorang spesialis tapi generalis. Seorang yang didoktrin memang harus banyak tahu — biar hanya sedikit-sedikit. Dalam kaitan itu pekerjaan wartawan termasuk  potensil bikin kesalahan.

Maka, itu penting ketika mengulas sesuatu, ia harus menguasai dulu duduk masalah yang ditulisnya.  Bertanya  kiri kanan dari ahli dan pihak yang berkompeten. Karena wartawan  bisa dan sering  salah maka ditentukan kewajiban:, menyegerakan ralat atau pembetulan.

“Haram beritikat buruk. Wartawan harus adil sejak dari pikiran, ” petuah  almarhum Rosihan Anwar,  Ayatollah wartawan Indonesia tempo hari.

Begitu pentingnya koreksi,  di masa lalu, wartawan yang didominasi tokoh pergerakan, setiap kali menerbitkan surat selalu memprioritaskan halaman surat pembaca. Wajib hukumnya untuk menerima hak jawab maupun hak koreksi serta kritik dari masyarakat.

Sejak tren media sosial, saya suka mengupload tulisan di media sosial, untuk kepentingan itu. Antara lain di Facebook, yang menyediakan halaman luas untuk komentar masyarakat — atau dikenal dengan nama netizen.

Bagi saya, medsos menjadi semacam alat kontrol. Sekaligus survey :  apakah mereka berminat terhadap tema ulasan, cara, dan gaya penuturan. Termasuk urusan teknis, seperti typo dan sebagainya.

Komentar netizen ada mengandung kebenaran, walau umumnya  lucu-lucu dan menghibur. Tidak sedikit yang pedas. Seperti terhadap tulisan serial  saya mengenai “sumbangan dua triliun keluarga Akidi Tio ” yang ternyata hoaks.  Mereka selalu ajukan pertanyaan yang berpotensi merepotkan, seperti ini: bagaimana dengan  hoaks “11 ribu triliun, Bang?” Atau menanyakan soal mobil Esemka.

Ah, bikin masalah saja. Tetapi saya tidak pernah menemukan komentar buruk atau mengandung kebencian. Tidak tahu di tempat lain.

Sebenarnya, sebagian produk netizen mengagumkan. Seperti ketika memviralkan aparat menginjak kepala seorang penduduk di Papua. Peristiwa itu kemudian ditindaklanjuti media mainstream. Hasilnya kita sama tahu. Aparat itu kena tindak komandan. Termasuk dua komandan. Dianggap bertanggungjawab terhadap perilaku buruk aparat itu di lapangan. Ada banyak lagi.

Saya mau mengusulkan ke Dewan Pers agar mereka dirangkul. Diajari adab berorganisasi, kode perilaku, dibekali pedoman penulisan di media sosial. Jangan dimusuhi, jangan meniadakan mereka. Sesungguhnya, UU Pers 40/99 mengakomodasi peran masyarakat berpartisipasi dan bahkan hak koreksi terhadap pers.

Sebanyak 175 juta orang kini terhubung dengan internet. Sebagian besar netizen itu yang menguasai media sosial. Berselancar 24 jam siang malam ketika mungkin wartawan sungguhan sudah terlelap tidur. Di masa depan potensi mereka menjadi netizen jurnalis menjadi kekuatan penting pers nasional.

Kembali ke lap top.  Ke tulisan  “Menyoal Data Pertumbuhan  Ekonomi  7,7 % Kuartal 2-2021( 6/Agustus).

Untuk  mengapresiasi netizen itu, saya akan mengutip beberapa komentar mereka terkait tulisan di atas. Komentar – komentar itu saya  petik dari FB, japri di WA, maupun di WA Group.

Komentar Jaya Suprana

“Itu jurus how to lie with statistic, mas ! Ketika saya mulai menjual produk jamu  semula omset cuma seribu bungkus tapi bulan ke dua naik menjadi tiga ribu bungkus berarti meningkat 300% dibandingkan dengan  bulan sebelumnya…” tulisnya sambil memasang lima emoji orang ketawa.

“Meski bodoh begini tetapi saya bikin statistik berdasar pesanan yang memesan,” sambung dedengkot  MURI itu kembali dengan emoji orang ketawa yang sama. Budayawan itu mengirim komentarnya ke WA saya.

Dan, Ini sebagian komen di laman FB.

“Quarter vs quarter, bukan year vs year … gak bisa jadi patokan. Apalagi quarter thn lalu pandemi baru hangat2nya”( WishnuWardana)

“Secara makro memang terlihat indah dan berhasil,. Tapi secara mikro… Pedih jendral kata rakyat banyak..!
Saya melihat kesenjangan ekonomi itu begitu lebar saat ini..!” (Rita Rossie)

“Naik 7,7% dibanding tahun lalu yang minus 5% jelas karena basisnya jelek. (Awaluddin Tahir).

“The king of prank” (Muhammad Ilham).

“Pendapat RR adalah pendapat orang yang sakit hati bang… RR lebih suka ekonomi Indonesia hancur seperti hatinya yang hancur saat dia dicopot dari menteri.” (Mbah Haddy Notomati).

“Sebuah tulisan yang mencerahkan. Membantu pembaca agar terhindar dari informasi yang menyesatkan. Sukar menerima kenyataan ekonomi tumbuh di atas 7 persen di tengah pandemi. Kalau benar demikian adanya tentu pelaku ekonomi dan rakyat tidak menjerit akibat susahnya mencari makan.” (Ardimas Sasdi).

Ada juga komentar dari wartawan senior Karni Ilyas, Uni Lubis, Timbo Siahaan, Arif Budi Susilo, Khairul Jasmi, Nasihin Masha, Asro Kamal Rokan. Dominan  pendapat  mereka memiliki kesamaan benang merah dengan kritik masyarakat di media sosial maupun media mainstream.

Mawas diri

Pemerintah memang harus hati-hati mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kita. Jangan seperti sebuah keluarga yang hidup kenyang tapi tak bertenggang rasa dengan keadaan sebaliknya dari mayoritas tetangga.

Kita tidak meragukan BPS, namun banyak rakyat yang tidak merasakan pertumbuhan dimaksud. Di kala mereka menjerit-jerit kesulitan hidup, wajar jika mereka sakit hati merespons hasil BPS.

Apalagi melihat wajah Menteri Investasi / Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengkampanyekan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2021 dalam tayangan pariwara kementeriannya di layar televisi.

Yaa ampun, Presiden Jokowi setengah mati menggalang dukungan seluruh rakyat menghadapi pandemi, eh ini menteri kok tidak mawas diri mendukung semangat persatuan itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here