Kolom Fiam Mustamin
Leluhur Bugis telah mewariskan pesan dalam Lontara sekitar abad ke-15 tentang tiga tanda kehancuran sebuah negeri:
Pertama, jika raja atau pemimpin yang berkuasa enggan mendengarkan nasihat kaum atau rakyat yang diwakili oleh orang-orang bijaksana (tau acca).
Kedua, jika raja dan hakim menerima sogokan (soso) atau upeti yang memengaruhi kebijakan pemerintahannya.
Ketiga, jika negeri berada dalam kondisi kacau atau terjadi kerusuhan karena hilangnya kepercayaan kepada pemimpin.
Apakah tiga tanda ini sudah kita rasakan? Lalu, apa yang harus dilakukan?
Pertanyaan kritis dan darurat ini perlu dijawab melalui budaya Bugis yang disebut Tuddang Sipulung atau Empo Sipatangngari (musyawarah permufakatan).
Gerakan Cepat dan Terukur
Harapannya, pemerintahan harus diisi oleh orang-orang terpilih yang memiliki moralitas dan kompetensi.
Mereka tidak harus berasal dari akomodasi politik yang saling menyandera seperti kondisi saat ini.
Jika ada orang-orang berkompetensi di lingkaran kekuasaan, tentu dapat dicegah kebijakan kabinet yang kontraproduktif dan menciptakan masalah bagi kemaslahatan rakyat.
Dua hal yang harus dilakukan yaitu mengidentifikasi masalah dan menentukan tindakan solusinya.
Masalah sudah jelas terlihat. Bertumpuknya persoalan warisan sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama penguasaan aset dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki dalam negeri bertopeng asing.
Ibarat penyakit, ini adalah kanker kronis yang penyembuhannya tidak mudah. Butuh waktu setidaknya sepuluh tahun, sama panjangnya dengan masa perusakannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Gerakan cepat dan terukur, antisipatif dengan aksi senyap—tidak menunggu krisis baru bertindak. Tentara memiliki intuisi terlatih untuk melaksanakan hal ini.
Membaca dalam Gelap
Metafora ini menegaskan bahwa dalam memilih pemimpin harus ada proses seleksi ketat seperti disebutkan di atas, bukan sekadar representasi politik atau karena ikatan pertemanan.
Manusia yang bermoral dan berkualitas ada di antara jutaan rakyat yang tersebar di seluruh nusantara, tidak hanya terkonsentrasi di satu daerah.
Jika negara menghendaki, hal ini bisa diwujudkan. Dalam situasi kritis seperti sekarang, dibutuhkan kehadiran para pemaham atau pandito yang mampu “membaca dalam gelap” dan duduk bersama mencari solusi bagi bangsa.
Membudayakan Kepatutan dan Keteladanan
Pemimpin seharusnya menjaga perilaku dan ucapannya karena menyandang gelar terhormat dan bermartabat.
Ia perlu menyesuaikan diri dengan peran tersebut, apa pun latar belakangnya.
Tidak sepatutnya menampilkan hal-hal yang tidak pantas, baik di depan publik maupun di belakang layar.
Jangan berjoget seperti orang yang menang undian rezeki nomplok, apalagi berharap fasilitas berlebihan, sementara rakyat hidup dalam keprihatinan. Itu adalah bentuk “mati rasa” terhadap penderitaan rakyat.