Mata Najwa Mata Pers Indonesia

0
2686
- Advertisement -


Kolom Ruslan Ismail Mage

Gerakan reformasi tahun 1998 menjadi awal kehidupan politik yang lebih bebas, tidak terkecuali kebebasan pers. Kebebasan pers berkembang dengan pesat malampaui ruang dan waktu. Pers diharapkan bisa memainkan fungsi dan peran yang jelas dalam mewujudkan demokrasi di indonesia. Pers yang demikian bebas terus memainkan perannya memberikan akses informasi yang beragam bagi kebutuhan masyarakat. Setiap saat curahan informasi sedemikian masif, mencoba mengambil alih ruang publik dalam membentuk kesadaran masyarakat. Pers Indonesia terus berbulan madu menikmati kebebasannya hingga awal tahun 2014.

Memasuki tahun politik dan pasca Pilpres 2014, pers Indonesia sedikit demi sedikit mulai terpolarisasi. Terlebih setelah beberapa pemilik pers terlibat aktif atau mendirikan langsung partai politik, yang secara langsung mempengaruhi independensi pers miliknya. Sebutlah pendiri Partai Nasdem sekaligus pemilik jaringan Media Group, atau pemilik MNC Group yang terlibat aktif di Partai Hanura. Akibatnya pers Indonesia semakin ke sini semakin mengingkari perannya sebagai kekuatan keempat demokrasi.

Puncak pengingkaran etika jurnalistik di Indonesia terjadi setelah memasuki tahun politik menghadapi Pilpres 2019. Hal ini ditandai dengan bergabungnya tiga pemilik media besar Indonesia (Media Group, MNC Group, dan Mahaka Group) ke dalam tim kampanye salah satu kandidat presiden. Pada masa inilah terjadi “pemerkosaan teori pers bebas”. Atas nama kebebasan, media diarahkan melakukan keberpihakan (partisan) kepada kelompok tertentu. Sebagaimana di katakan oleh Denis McQuail bahwa sikap partisan muncul karena media massa memiliki hubungan organisasional, yang berarti menjadi organ dari partai politik atau kepentingan politik tertentu.

Di tengah pengingkaran besar-besaran etika jurnalistik itulah, seorang Najwa Shihab muncul dengan mata jurnalistiknya yang tajam setajam mata elang yang selalu siap menerkam ketidakbenaran. Bagi Najwa media massa itu berpegang pada fakta-fakta objektif dalam menghadirkan kebenaran bagi masyarakat. Setiap data dan realitas yang dimunculkan dapat diverifikasi kebebarannya. Ia terus berusaha menjaga independensinya dari berbagai panetrasi kepentingan. Ketika hampir semua jurnalis tengkurap menghamba, Mata Najwa terus terjaga memancarkan sinar harapan kembalinya posisi pers ke posisi sebenarnya sebagai kekuatan keempat demokrasi. Najwa memahami benar pernyataan penulis masalah politik dari Perancis Alexis de Tocquelville bahwa “hanya pers yang benar-benar bebas dari pengaruh kekuasaan yang bisa menjadi oksigen demokrasi”.

- Advertisement -

Namun perjuangan “Srikandi Pers Indonesia” ini untuk mengembalikkan citra pers Indonesia harus terhenti sejenak, setelah Ketua Relawan Jokowi Bersatu melaporkannya ke Polda Metro Jaya. Pelaporan itu terkait dengan video yang viral ketika Najwa mewawancarai kursi kosong yang ditujukan kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang tidak datang menghadiri undangan dalam acara Mata Najwa di studio transtv.

Bagi Mata Najwa, Pak Terawan menjadi sangat penting karena, betapa pun banyaknya tim ad-hoc yang dibentuk dalam mengatasi pandemi covid-19, urusan kesehatan tetaplah pengampunya adalah Menteri Kesehatan. Sementara bagi Relawan Jokowi Bersatu, wawancara kursi kosong itu sama saja melecehkan presiden. Namun kali ini Polda Metro Jaya tidak mau gegabah menanggapi pelaporan itu dan meminta pelapor lebih dulu berkonsultasi dengan pihak Dewan Pers. Jurnalis pemberani beradarah Bugis ini pun tidak gentar menghadapi pelaporan itu, dan siap mengikuti aturan hukum yang berlaku.

Menyikapi pelaporan itu, netizen ramai-ramai membela Najwa Shihab. Terjadi gelombang dukungan terus menerus kepada Najwa dalam menghadapi pelaporan itu. Maju terus Najwa, kami yakin matamu tidak akan berkedip menghadapi semua tantangan itu. Karena kami yakin engkaulah Srikandi Pers tangguh Indonesia yang tidak butuh lagi panggung baru, karena panggungmu terbentang luas tanpa sekat di atas dada para pejuang demokrasi.

Ibu Pertiwi membutuhkanmu, karena di saat mahasiswa memilih jalan sunyi, aktivis hanya mampu menggerutu, orang terdidik memilih diam membisu, pihak kampus lebih menikmati menjadi menara gading, pers tengkurap, Mata Najwa terus membelalak mengawasi ketidadakjujuran, ketidakbenaran, ketidakadilan, dan penyimpangan dalam pengelolaan negara. Kini “Mata Najwa” mewakili cara pandang kita tentang pers. Di saat mata kita sayu, mata Najwa menyalah, kadang melotot untuk membangunkan kesadaran kita tentang arti kebebasan. Selalu ada keyakinan dan harapan demokrasi Indonesia bisa tumbuh lebih baik, karena ada “Mata Najwa Mata Pers Indonesia” yang hanya menjadikan rakyat sebagai satu-satunya majikan yang harus dilayani. Bukan tuan-tuan dan puan-puan. (Save Mata Najwa)

Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here