Catatan Ilham Bintang
Setiap kali menginjakkan kaki di kota Melbourne, Australia, setiap kali itu pula saya langsung teringat mantan Menteri Kelautan & Perikanan RI Susi Pudjiastuti, sejawat wartawan senior Karni Ilyas, Asro Kamal Rokan, Timbo Siahaan, Rosiana Silalahi, aktor Deddy Mizwar, dan produser film Indonesia, Zairin Zain. Hemat saya kota indah dan bersih ini cocok sekali bagi para smokers, saya dan kawan-kawan itu.
Lembaga pemeringkat kota dunia, Global Liveability Report ( GLR), lima tahun lalu melaporkan, Ibu Kota negara bagian Victoria Australia itu menempati peringkat kedua dari 10 kota dunia dengan skor tertinggi sebagai kota paling nyaman untuk ditinggali. GLR di tahun itu meneliti 140 kota di dunia. Aspek penilaiannya meliputi stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur. Hanya Kota Wina, Austria di atasnya, yang menempati top rangking.
Sebelumnya, Melbourne malah pernah bertengger ditop rangking selama 7 tahun berturut-turut. Namun, akhirnya posisinya lima tahun lalu itu, dilampaui oleh Wina.
Melbourne menurut GLR, merepresentasikan Benua Kanguru, baik dari ciri kepribadian warganya, modernitas, dan kebebasan yang dianut. Melbourne terkenal dengan kopi dan masakan dengan cita rasa dan seni yang unik, hingga tak henti menjadi tujuan wisatawan dari mancanagara, dan dari waktu ke waktu.
Melbourne mendapatkan penilaian sempurna untuk aspek layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
Sementara untuk stabilitas ada di poin 95, dan budaya juga lingkungan di angka 98,6.
Dengan setting itu, Melbourne yang berpenduduk 5,061,000 jiwa dengan luas wilayah 9,992 kmĀ² , seperti saya sebut di awal dengan frasa nyaman bagi perokok, mestinya. Namun, apa hendak dikata, dalam kenyataannya Melbourne adalah kota paling “kejam” bagi para perokok. Ketentuan mengenai rokok itu tercantum dalam deklarasi di kartu embarkasi yang harus ditandatangani sebelum kita mendarat di bandara Tullamarine Melbourne. Isinya: penumpang pesawat yang membawa rokok lebih dua puluh batang ( sebungkus rokok putih) harus dideclare. Petugas bea cukai di bandara akan memverifikasi faktual sebelum kita diizinkan melenggang masuk kota. Jika naas koper bisa digeladah satu persatu.
Dalam konteks itulah saya teringat Susi Pudjiastuti, Karni Ilyas, Asro Kamal Rokan, Timbo Siahaan dan Rosiana Silalahi, Deddy Mizwar, Zairin Zain. Eh, juga Andre Suyatman, tetangga teman jogging di komplek perumahan Taman Villa Meruya, Jakarta. Kepengin sekali trip ke Melbourne bersama para smokers itu. Mau tahu bagaimana reaksi mereka menghadapi ” kekejaman” itu dan pengen tahu kiat -kiat mereka atasi problem hingga bisa tetap menikmati keindahan dan kenyamanan semua sudut kota Melbourne yang saat ini cuacanya 18 derajat celcius sambil tetap mengisap dan mengembuskan asap rokok. Wiih mewah sekali.
Harga rokok di Melbourne pun termahal di dunia, dan amat sulit mendapatnya. Tidak seperti di Indonesia bisa dibeli di kios rokok yang bertebaran dan berjarak hanya 20 meter satu sama lain. Di Melbourne, rokok hanya bisa diperoleh di super market tertentu. Itu pun tidak didisplay seperti di Tanah Air. Dikurung dalam rak terutup di belakang kasir. Merek- merek rokoknya hanya tertulis di lembaran kertas folio yang ditempel di rak itu. No way bagi calon pembeli di bawah usia 18 tahun. Gambar bungkus rokoknya tak terperi. Kemasannya berbeda dari yang biasa, seperti di Tanah Air. Mereknya hampir tidak bisa dikenali karena diselimuti dengan gambar-gambar yang amat menyeramkan.
Bawa Resep Dokter
Bagi pemerintah Australia mereka itu sudah berbaik hati. Rencana semula mau memberlakukan aturan harus membawa resep dokter untuk bisa membeli rokok. Namun, karena mendapat protes keras dari mana-mana, sampai sekarang kebijakan yang direncanakan sejak 2012 belum diberlakukan. Gegara ketentuan itu pula sampai sekarang otoritas Melbourne masih berperkara dengan beberapa negara pengekspor rokok dan tembakau, termasuk Indonesia. Negara pengekspor rokok dan tembakau menentang kebijakan Australia yang semula hendak pula mengimpor rokok dengan kemasan polos. Tanpa merek.
Harga rokok di Melbourne dan seluruh kota di Australia bisa dicatat sebagai termahal di dunia. Sebagai perbandingan, sebungkus Marlboro dibandrol AUD 35 atau sekitar Rp 370 ribu, padahal di Jakarta harganya hanya Rp. 30 ribu. Di Paris, rokok sama, harganya 8 Euro atau sekitar Rp.130 ribu. Di AS USD 8 atau Rp. 120 ribu. Di Singapura, Rp. 70 ribu, Jepang Rp.120 ribu. Tidak heran jika penyelundupan rokok termasuk kegiatan terlarang terbesar di kota itu. Sebagian pelajar mencoba -coba cari peruntungan dengan cara itu. Di Internet mereka menjual sebungkus Marlboro dengan AUD 15. Ada yang pernah tertangkap menyelundup dan kasusnya masuk pengadilan. Denda penyelundup terbesar terjadi lima tahun lalu. Seorang pria warga Australia berusia 34 tahun dikenai denda Rp 400 juta ($AUD 40 ribu) karena berusaha menyeludupkan 36 karton rokok melalui Bandara Internasional Perth, Australia Barat.
Pria tersebut sebelumnya membeli rokok di salah satu supermarket di Kuta (Bali) seharga Rp 250 ribu per karton. Dia berharap bisa menjualnya antara Rp 1,2 sampai Rp 1,5 juta per karton di Australia Barat.
Awal Tahun 2019 Malaysia juga memberlakukan aturan “kejam” bagi perokok. Denda merokok di tempat yang dilarang sekitar 300 Ringgit Malaysia ( RM) atau Rp. 1 juta. Hotel-hotel tertentu memasang tarif denda sampai 2000 RM ( Rp. 7 juta) jika kedapatan merokok di dalam kamar. Saya kebetulan berada di Kuala Lumpur, Malaysia, seminggu setelah aturan itu diberlakukan pemerintah. Reaksi masyarakat memprotes cukup gencar. Terutama karena larangan itu berlaku di rumah-rumah makan tradisional di sama ( semacam Warteg di Jakarta). Mahathir Mohammad baru saja terpilih kembali menjadi PM Malaysia ketika aturan itu diberlakukan. Maka, sebagian masyarakat perokok utamanya konsumen warung-warung tradisional di sana menyatakan penyesalan memilih Mahathir sewaktu Pilihan Raya ( Pemilu Malaysia), dan mengancam tidak akan memilihnya lagi dalam Pemilu berikutnya.
Pandemi di Melbourne
Trip saya ke Melbourne kali ini setelah lebih dua tahun Melbourne dan kota -kota lainnya di Australia ditutup karena pandemi Covid19. Pemerintah Australia baru dua bulan lalu membuka Melbourne untuk pelancong walaupun kasus harian Covid19 masih mencatat jumlah rerata 10 ribu setiap hari dalam seminggu. Syarat kunjungan pelancong harus sudah vaksin ketiga ( booster). Namun, tidak ada lagi keharusan swab PCR dan isolasi mandiri.
Pandemi Covid19 termasuk yang memukul ekonomi Melbourne. Lebih dua tahun mereka bolak balik lockdown, menutup perjalanan luar negeri. Akibat itu pelajar dari seluruh dunia pun stop. Padahal, 40 % sumber dana pemerintah Australia berasal dari kegiatan pendidikan itu. Beberapa usaha menderita kerugian besar. Seperti penyewaan mobil, resto dan usaha penukaran uang hampir banyak yang tutup. Usaha-usaha itu memang hidup dari turis. Meski tidak ada kewajiban mengenakan masker, namun beberapa tempat perbelanjaan menolak pembayaran dengan uang kertas. Membourne mulai ramai dikunjungi turis. Meski ekonomi sempat terpukul, jangan khawatir aspek keamanan dan kenyamanan. Kota Melbourne yang diresmikan oleh Ratu Victoria pada tahun 1847, dan menjadikan ibu kota koloni baru Victoria tahun 1851, tetap aman dan nyaman seperti semula. Sebab, itu bagian selling point mengapa kota ini selalu dibanjiri pelancong. Melbourne setara Jepang. Warga leluasa beraktifitas hingga larut malam tanpa khawatir, meski tidak tampak polisi lalu lalang. Angkutan kota bus dan trem beroperasi hingga malam. Di sebagian wilayah, khususnya di City, angkutan itu gratis. Sejauh catatan, jarang kalau tak mau menyebut tidak pernah turis menghadapi kejahatan pencurian maupun penodongan. Hanya saja hati-hati jangan sembarangan meletakkan bungkus rokok Anda. Sekejap bisa disambar smokers lain. Paling sedikit, tiba-tiba saja ada satu dua orang mendekati pas kita merokok. Sambil mengacungkan jari minta sebatang rokok. Ya, belasan kali saya trip ke Melbourne 6 tahun terakhir, sesekali hanya mengalami kejadian itu.