Memoar: Fiam Mustamin Menyalakan KKSS

0
233
- Advertisement -

Catatan Cia Usman

Saya mengenal Fiam pada suatu kesempatan di KKSS. Kala itu, setelah beberapa tahun merantau di Jakarta, saya merasa rindu pada suara-suara kampung. Saya ingin mendengar logat Bugis -Makassar. Maka saya pun mampir ke kantor KKSS di kawasan Buncit, Jakarta Selatan. Saat itu dekade 90-an.

Kantor KKSS waktu itu tak seperti kantor pada umumnya. KKSS terbuka kurang lebih 24 jam, lebih gampang untuk disinggahi. Di dalamnya ada penjual coto, wartawan, penulis, makelar, pengangguran, dan sekelompok anak muda yang tinggal secara gratis. Mereka bermain gitar, duduk berjam-jam mengobrol, atau sekadar mencari tempat nyaman di tengah kerasnya Jakarta. Dan di antara mereka, berdiri Fiam Mustamin.

Fiam adalah nadi yang menghidupkan KKSS. Ia bukan ketua, bukan tokoh yang sibuk tampil di panggung. Ia adalah Kepala Sekretariat – KKSS —tetapi lebih dari itu, ia adalah jantung dari organisasi ini. Hampir setiap malam, saya melihatnya masih berkutat di kantor, tenggelam dalam tumpukan dokumen dan rapat-rapat. Ia ditemani sekretarisnya, Idang Khadijah Faaruk. Bersama, mereka menjalankan urusan kesekretariatan, laiknya membangun sebuah rumah ‘virtual’ untuk puluhan jiwa perantau asal Sulawesi Selatan yang terkoneksi untuk singgah.

Yang luar biasa, Fiam tidak terganggu oleh kehadiran para anak muda yang datang dan pergi. Ia justru merangkul mereka. “Setidaknya KKSS tidak perlu menggaji kurir dan office boy dengan keberadaan mereka,” katanya sambil tertawa. Tapi lebih dari itu, ia melihat mereka sebagai bagian dari ekosistem KKSS yang ia bayangkan: inklusif, terbuka, dan membumi.

Pada masa itu, kantor KKSS bukan hanya pusat kegiatan organisasi—ia menjadi tempat belajar, tumbuh, dan terkoneksi. Siapa pun, dari latar belakang apa pun, bisa mengakses tokoh-tokoh KKSS melalui acara-acara yang digelar KKSS. Terkadang, tokoh datang membawa makanan, disantap bersama. Fiam menjadikan KKSS benar-benar “rumah”: hangat, memberikan paseng dan nasehat utamanya bagi anak muda para pendatang yang masih baru. Fiam menciptakan sebuah KKSS yang penuh kemungkinan bagi perantau dalam mengadu nasib.

- Advertisement -

“Saya percaya setiap orang memiliki peruntungannya sendiri di rantau,” ujarnya mengenang.

Tak jarang, Fiam mengajak para anak muda itu menghadiri rapat atau diskusi penting. Ia memperkenalkan mereka kepada para tokoh KKSS, membangun jaringan, membuka pintu yang mungkin tak pernah mereka bayangkan bisa diketuk. Saya menyaksikan sendiri bagaimana silaturahmi ini tumbuh menjadi peluang hidup. Bertahun-tahun kemudian, saya mendengar banyak di antara mereka yang kini sukses—berkat awal yang mereka dapatkan dari keterbukaan dan kehangatan yang Fiam fasilitasi. Beberapa waktu lalu, saya bertemu lagi dengannya. Puluhan tahun telah berlalu. Tapi Fiam tetap Fiam—dinamis, penuh semangat, dan masih memimpikan hal yang sama tentang KKSS – berperadaban ‘Mengerti cara Menyambut”. Ia memberikan saya sebuah buku: Misteri Jalan Setapak dan Menapak. Buku itu ia tulis sendiri. Tebal dan penuh renungan.

Dengan bercanda saya bilang, “Mungkin cuma kita’ yang ngerti misterinya, Fiam.” Tapi saya tahu, buku itu adalah jejak dari jalan panjang yang ia tempuh dengan keyakinan. Sebuah pengabdian yang paripurna untuk KKSS. Jalan seorang penggerak, yang tak menunggu sorotan tapi terus menyalakan api, sekecil apa pun, di tengah kegelapan rantau.

Bagi saya, Fiam bukan sekadar Kepala Sekretariat KKSS. Ia adalah potret tentang bagaimana sebuah komunitas bisa hidup karena dedikasi satu orang. Ia membuktikan bahwa kekuatan organisasi bukan hanya ada di struktur, melainkan pada semangat kolektif yang dipelihara dengan kasih dan keberanian. “Saya hanya berusaha menjalankan amanat yang diberikan oleh Bapak Beddu Amang,” jawabnya merendah.

Sosok seperti Fiam, yang memahami ruh KKSS, adalah sosok yang dibutuhkan. Ia tahu betul bagaimana menjadikan organisasi ini rumah perekat yang memberi manfaat nyata bagi warga Sulawesi Selatan di perantauan—sekecil apa pun bentuknya. KKSS, dengan segala sejarah dan potensinya, jangan sampai menjadi gedung bisu. Ia harus tetap menjadi ruang yang hidup, tempat saling memanusiakan. Karena di tanah rantau, sering kali yang kita butuhkan bukan hanya bantuan—tapi juga rasa pulang.

Penulis, mantan jurnalis What’s On, menulis antara lain di The Jakarta Post

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here