Mempersiapkan Anak Remaja/Pubertas Menjadi Dewasa

0
3697
- Advertisement -

PINISI.co.id- Agar seorang remaja dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka haruslah mengenal diri sendiri lebih dalam maka perlu penilaian atau kesadaran akan keadaan diri sendiri. Bilamana seseorang dapat menerima keadaan dirinya sendiri, maka ia akan mudah menerima keadaan orang lain.

Hal itu tersimpul pada diskusi Hari Anak Nasional, 25 Juli 2020 yang dihelat Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Departemen Kesehatan BPP KKSS, Bakornas LKMI PB. HMI dan www.sadargizi.com

Pengantar diskusi disampaikan dr. Zaenal Abidin. “Untuk diskusi pekan IV target sasaran kelompok usia 10-19 tahun, mengambil topik Mempersiapkan Anak Remaja/Pubertas menjadi Dewasa. Diskusi dipandu Adhyanti, S.Gz., M.si,” kata Zaenal.

Tiga narasumber yaitu Dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc., Sp.GK. (Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi dan  dosen FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta, membahas “Dampak Anemia pada Anak Remaja/Pubertas”,Muhammad Rheza, S.Psi., M.A., dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, membahas “Perkembangan psiko-sosial remaja.”,dan  Wahyu Aulizalsini, M.Psi., psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bayangkara Jakarta, mengkaji “Pergaulan dan jati diri remaja.”

Menurut Wahyu Aulizalsini, remaja adalah generasi penerus yang membangun bangsa dan harus mendapatkan perhatian khusus, baik oleh dirinya sendiri, orang tua, dan masyarakat sekitar.

- Advertisement -

Mengutip survei Kominfo 2017 bahwa 60% pengguna gawai adalah anak usia 9-19 tahun. Dari urusan gawai tersebut pun selain hal positif, kasus negatif tentang kenakalan dan kasus-kasus negatif di masa remaja juga banyak disebabkan oleh gawai. Jika dicari akar masalahnya maka dapat saya sampaikan bahwa konsep diri seorang individu menjadi satu masalah penting untuk memunculkan perilaku positif.

“Konsep diri merupakan sikap, perasaan dan pandangan individu tentang dirinya sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya yang meliputi fisik, psikis, sosial, aspirasi dan prestasi yang nantinya akan menentukan langkah-langkah individu dalam melakukan aktifitas sesuai dengan gambaran yang ada pada dirinya.  Konsep diri merupakan gambaran dari keyakinan yang dimiliki tentang diri mereka sendiri secara luas baik mengenai fisik, psikologis, sosial dan emosional,” papar Wahyu.

Menurut Wahyu, konsep diri yang pertama kali terbentuk disebut konsep diri primer. Hal ini diperoleh di lingkungan keluarga terutama pada tahun-tahun awal kehidupan. Kemudian konsep diri akan terus berkembang sejalan dengan semakin luasnya hubungan sosial yang diperoleh anak.

Wahyu bertanya, bagaimana orang-orang di sekitarnya memperlakukan dirinya, apa yang mereka katakan tentang dirinya, status yang diraihnya dalam kelompok akan memperkuat dan memodifikasi konsep diri yang telah terbentuk dalam keluarga. Dengan konsep diri yang positif maka seorang remaja akan mampu menyesuaikan diri dengan baik pula. Yakni sesuai tahap usia dan perkembangannya, misalnya cenderung menjadi anak yang mudah bergaul dan, lebih hangat, dan terbuka menghadapi orang lain, serta lebih mudah menerima kelemahan orang lain. 

“Kelak saat dewasa akan lebih mudah menyesuaikan diri di tempat pekerjaan ataupun dalam kehidupan pernikahan. Jika tidak, maka sebaliknya menjurus kepada sikap dan perilaku yang tergolong criminal,” kata Wahyu mengingatkan.

Menurut Wahyu, akibat tidak mampu menyesuaikan diri maka remaja akan menjadi frustasi. “Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis dan memiliki konsep diri negatif kemungkinan memiliki kecenderungan yang lebih besar menjadi remaja nakal dibandingkan remaja yang dibesarkan dalam keluarga harmonis dan memiliki konsep diri positif,” jelas Wahyu.

Perkembangan Psikososial Remaja

Dalam paparannya, Muhammad Rhesa, melihat masa remaja yang berada pada rentang usia 10 sampai 21 tahun adalah salah satu fase terpenting dalam kehidupan manusia. Masa remaja ditandai dengan perubahan yang cukup drastis pada aspek biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja adalah fase ketika seseorang mengalami krisis identitas di masa hidupnya.

“Perpindahan dari masa anak-anak ke masa dewasa menjadikan masa remaja semacam fase peralihan. Remaja beralih dari kontrol penuh orang tua menuju pelepasan peran orang tua secara perlahan dan lebih menyenangi aktivitas bersama teman sebayanya,” jelas Rhesa.

Beberapa di mensi yang mengalami perubahan pada masa remaja yang pertama yaitu pemahaman tentang diri dan identitas. Remaja mengalami kebingungan ketika pertama kali merasakan perubahan gejala fisik yang berbeda seperti menstruasi dan mimpi basah. Pada aspek yang kedua yaitu hubungan dengan orang tua, perilaku remaja mulai merasa egois dan ingin lepas dari kontrol orang tua. Remaja menyadari bahwa dirinya bukan lagi anak-anak sehingga membutuhkan identitas sosial sebagai penanda kemandirian.

“Hubungan dengan teman sebaya menjadi afiliasi utama, bukan lagi keluarga. Aspek yang keempat adalah moral dan religi, remaja mulai mengenali prinsip moral saat dirinya berusia 11 tahun. Religiusitas juga mesti menjadi prinsip kebenaran yang disadari oleh remaja agar mampu menghindarkan dirinya dari perilaku yang menyimpang secara agama dan social,” urai Rhesa.

Berbagai situasi dan masa krisis yang dialami saat remaja, kata Rhesa, akan berujung pada menguatnya identitas oleh para remaja. Remaja yang mengalami masa krisis akan mengalami penguatan pada identitas individual. Identitas individual artinya remaja pada akhirnya akan menemukan citra diri yang matang tentang seperti apa tujuan hidupnya, misalnya dalam memilih jalur pendidikan, pekerjaan yang dicita-citakan, serta aktivitas yang disenangi.

“Sementara pada identitas kelompok, remaja cenderung bergabung pada sebuah kelompok sosial sebagai sarana menegrjakan hal-hal yang tidak bisa dilakukan secara individu, kelompok menjadi sarana pemenuhan kebutuhan. Identitas peran sebagai laki-laki dan perempuan juga menguat di masa remaja ketika mulai membayangkan tanggungjawab yang harus diemban sebagai laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga, dan menjadi penjaga peran domestik di rumah tangga bagi remaja perempuan,” katanya menambahkan.

Menurut Rhesa, identitas emosi remaja akan mengalami kematangan di masa remaja akhir, 19-21 tahun, setelah melewati fase-fase labil di remaja awal dan remaja tengah. “Remaja mesti dibekali dengan pemahaman yang menyeluruh tentang gejala yang akan dialaminya agar siap menghadapi masa krisis identitas selama menjadi remaja,” ujarnya di ujung diskusi.

Dampak Anemia pada Anak Remaja/Pubertas

Sementara itu, Tirta Prawita Sari menguraikan tentang anemia pada remaja, juga mengulas masalah gizi di Indonesia. Menurutnya, masalah gizi utama di Indonesia saat ini adalah stunting, yakni 30,8% (Riskesdas, 2018).

Apa pesan penting dari stunting ini? Stunting menggambarkan banyak hal, antara lain: terjadinya asupan gizi yang tidak adekuat dalam waktu lama, faktor lngkungan penderita serta keterkaitan yang adekuat, memberi dampak jangka pendek yang signifikan sehingga keterlambatan intervensi akan berakibat permanen. Stunting juga memberi dampak jangka panjang sehingga dengan intervensi yang cepat dan tepat akan sangat efisien dan efektif menyelesaikan masalah. Selanjutnya secara politis, ungkap dr. Tirta, stunting menunjukkan seberapa besar komitmen pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya.

Selain masalah stunting, Indonesia pun sedang menghadapi masalah serius dengan meningkatnya penyakit degeneratif. Mengatatasi stunting dan penyakit degeneratif ini tidak ada jalan lain selain kita fokus melakukan intervensi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Anemia ibu hamil (umil) di Indonesia meningkat dari sebelumnya 27,1% (2013) menjadi 48,9% (2018). Anemia pada bumil disebabkan oleh kehamilan yang berulang, kehilangan darah saat mentruasi, penyakit infeksi, dan asupan gizi yang tidak adekuat. Perlu deketahui bahwa anemia bumil berdampak terjadinya kelahiran prematur, BBLR dan mortalitas.

“Yang perlu dilakukan adalah menjaga remaja putri kita yang kelak akan menjadi ibu dan hamil mengandung asset bangsa. Menjaga remaja putri kita agar tidak menderita anemia,” tuturnya.

Anemia adalah berkurangnya sel darah merah yang dihubungkan dengan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen. Anemia didiagnosis bila HB kurang dari normal. Namun demikian, HB di bawah normal ini merupakan fase terakhir dari defisiensi zat besi. Artinya, boleh jadi banyak orang yang mengalami defisiensi zat besi namun belum menunujukan hemoglobinnya (HB) kurang dari normal.

Anemia defisiensi zat besi adalah anemia yang paling sering ditemukan. Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan gangguan metabolisme, ganguan pertumbuhan, ganguan performance, ganguan konsentrasi, dan ganguan kognitif. Anemia zat besi akan berdampak menurunnya kualitas hidup dan SDM yang buruk. Pesannya, amat sulit mewujudkan generasi bangsa yang unggul, sebagaimana yang menjadi tema diskusi awal kita yakni,  “Ikhtiar Mewujudkan Generasi Emas Indonesia Sejak Usia Dini.”

Lalu, cara kita mencegah anemia,  hanya dua, yaitu perbaiki status gizi dan perbaiki asupan zat besi. Untuk diketahui, hanya 1,4% remaja putri kita yang minum tablet tambah darah sesuai program. Kita pun sedang berada pada lingkungan yang menuntun kita untuk tidak sehat. Kita juga dipaksa masuk ke dalam sistem yang menawarkan makanan dengan “empty nutrient“ dan “hight calorie”

Empat pesan penting menurut Tirta, pertama, masalah anemia defisensi zat besi di Indonesia masih sangat tinggi, kedua, anemia berimplikasi terhadap kesehatan remaja dan pada usia yang akan dating, ketiga perlu perbaikan status gizi dan asupan zat besi remaja, dan keempat, perlu mengupayakan keberhasilan ‘Program 1 butir TTD/ Minggu Sepanjang Tahun bagi Wanita Usia Subur’. [Lip]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here