Kolom Andi Wahida Tuan Guru Sulaiman
Di Akkarungeng Wajo saat diperintah oleh Batara Wajo III La Pateddungi ada Arajang Gajahnya.
Saat pembesar dan rakyat Wajo bingung menghadapi perilaku Batara Wajo, para pembesar Wajo dan rakyat Wajo melepas Arajang Gajah untuk mencari seorang pemimpin di Wajo.
Arajang Gajah terus berjalan bersama pembesar dan rakyat Wajo hingga berhenti di sebuah pohon pinggir Sungai Pallime.
Arajang Gajah itu terus mengitari sebuah pohon besar yang tengah-tengah terdapat lubang besar.
Kemudian pembesar Wajo memerintahkan rakyat Wajo untuk melihat ke dalam pohon besar tersebut.
Alhasil didalamnya ditemukan seorang lelaki sedang berzikir memuja Tuhan, orang itu kemudian dikenal dengan nama La Tadampare Puang ri Maggalatung dengan nama lainnya Sayyid Ali Sajjad dan di Aceh dikenal dengan nama Sultan Riayat Syah Al Qohar.
La Tadampare kemudian dibawa ke Wajo -Wajo dan diminta untuk menjadi Batara Wajo menggantikan La Pateddungi yang telah berlaku sewenang wenang, namun La Tadampare tidak bersedia.
La Tadampare Puang ri Maggalatung pada akhirnya menjadi Arung Matowa Wajo IV dan dan melebarkan wilayah kekuasannya hingga membawahi 92 Kerajaan Lili. Seorang yang berkuasa, jujur, arif, bijak dan seorang guru yang cerdas, muridnya seperti Nene Mallomo La Pagala dari Sidenreng.
La Tadampare Puang ri Maggalatung menikahkan putrinya dengan putra Sayyid Jamaluddin al Akbar Al Husein, sang penyebar agama Islam di Wajo dikenal juga sebagai Sunan Ampel.
Ampel akronim dari kata Arung Mappelebbiri karenanya bagi pejalan Tasawuf Pulau Sulawesi dikenal sebagai Pulau Ampel juga pulau Sula Vesi artinya Pulau dimana tonggak atau tiang yang pertama kali ditancapkan Allah berupa Cahaya Alif lalu ditancapkannya besi kuressi yang berbentuk Alif.
Jadi dulu di Sulawesi ada gajah purba, babi purba seperti yang dinaiki oleh Puang ri Lampulung.
Kenapa hampir tidak ada jejaknya ?
Distorsi sejarah.
