Catatan Ilham Bintang
“Dia lelah, kelelahan sekali. Dua pekan sebelum terdeteksi tertular Covid19, aktifitasnya padat sekali,” ungkap dr Pauline Endang Praptini, istri mendiang wartawan senior Bens Leo (69). Dokter gizi itu menceritakan runut aktifitas padat dua minggu terakhir sebelum suaminya masuk RS hingga jiwanya tak tertolong. Kisah itu disampaikan ketika saya hubungi Senin (29/11) malam. Ia juga tegas membantah kabar yang sempat beredar seakan keluarganya kesulitaan membayar biaya RS. “Saya pastikan itu hoax. RS gratis kok untuk penanganan pasien Covid19,” jelasnya.
Bens Leo meninggal dunia Senin (29/11) pukul 08 24 WIB setelah menjalani perawatan lebih kurang 20 hari di RS Fatmawati. Meninggalkan istri dan seorang anak semata wayang bernama Georgius Addo Gustaf Putera atau Edo. Serta beberapa anak angkat. Ada pelajaran berharga dari kisah mendiang agar kita selalu waspada menghadapi pandemi. Bens sudah menjalani dua kali vaksin saat terinfeksi Covid19.
” Penanganan medisnya sudah optimal. Sempat mendapatkan plasma konsevalen juga. Dua hari terakhir dengan bantuan ventilator. Tapi Tuhan berkehendak lain. Saya ikhlas,” papar Pauline.
Bens Leo, atau Benediktus Hadi Utomo lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Agustus 1952. Ia tak sengaja menjadi wartawan. Semula ia mau menjadi penerbang. Namun, kelak dia menjadi wartawan terkenal dan salah satu pengamat musik penting Indonesia. Posisi itu yang membuatnya sulit menghindari aktifitas fisik, padahal usia sudah lanjut, sangat rentan di masa pandemi.
Ambon, Solo, Papua
Akhir bulan Oktober, Bens terbang ke Ambon atas uandangan walikota. Sehari setelah kembali di Jakarta, Bens terbang lagi ke Timika, Papua, untuk menjadi juri lomba paduan suara gereja, lomba lagu- lagu rohani. Ia hampir sepekan di sana. Dari tanggal 1 sampai 6 November.
Sehari setelah tiba di Jakarta, ia pun berangkat ke Solo lewat jalan darat. Berangkat pagi tiba sore. Tanpa istirahat, di Solo sore itu juga langsung bergabung dalam kegiatan Festival Musik Kroncong sampai tengah malam. Esok pagi, sambung melayani wawancara dengan beberapa wartawan.
“Sebenarnya, saya sudah mulai mencemaskan kesehatannya. Saya ikut mengantar dia ke Solo. Tapi Mas Bens susah diminta istirahat. Dia selalu bilang, badan itu nggak boleh dimanjakan,” kisah Pauline.
Pulang dari Solo, Bens mulai merasakan gejala batuk-batuk. Demam juga. Ia masih tenang saja. Menganggap itu hal biasa. Tapi dia menurut ketika diajak istrinya kontrol ke RS Mayapada. Dalam kesempatan itu Pauline menganjurkan sekalian tes Swab PCR. Nah! Hasil tes swab PCR yang dikirim keesokan harinya mendeteksi dia positif Covid19.
Bens kemudian diioname di RS Fatmawati. Pauline dan putranya ikut swab PCR. Hasilnya Pauline positif, sedangkan putranya negatif. Pauline lalu menyusul suami dirawat di RS. Esok harinya.
“Saya dan Mas Bens akhirnya satu RS, cuma beda kamar. Baru setelah kondisi Mas Bens membaik, kami pun sekamar, ” cerita Pauline.
Di RS pun Bens masih melayani tawaran menjadi juri, diatur lewat aplikasi Zoom meeting. Tapi Bens keburu drop, sehingga Zoom meeting itu batal.
” Orangnya sulit mengatakan tidak. Tidak mau mengecewakan orang. Sebelum dia drop itu, masih sempat mengurusi transfer uang ke beberapa anak angkatnya,” sambung Pauline.
Fiat 850 sport
Saya mengenal Bens Leo sekitar awal tahun 80 an. Lebih 40 tahun lalu. Saya malah baru jadi wartawan pemula ketika berkenalan dengan Bens yang sudah dikenal banyak menulis reportase musik di Majalah Aktuil yang lagendaris itu.
Saya masih ingat ciri reportase Bens yang panjang tanpa paragraf, namun banyak pembacanya. Salah satu prestasi Bens yang dikenang hingga kini. Dia wartawan pertama yang berhasil mewawancarai Koes Plus
dan hasilnya ditulis panjang.
Tidak banyak wartawan yang berkendaraan mobil untuk meliput di lapangan, Bens sudah mengendarai mobil sport Fiat 850 keluaran baru masa itu. Itu menjelaskan aktifitas dan produktifitasnya berbanding lurus dengan keadaan ekonominya.
Kondisi itu tidak berubah. Walaupun tidak lagi bekerja secara tetap media pers, tetapi Bens hingga akhir hayatnya tetap produktif menyelenggarakan berbagai kegiatan musik dan menjadi juri di mana- mana. Terakhir, tripnya ke Ambon, Papua, dan Solo dalam rangka itu. Bisa dihitung dengan jari wartawan yang seproduktif dia di masa usia lanjut. Bahwa Bens tampak bersahaja dan sederhana, itu hal lain. Itu memang bagian dari pembawaan pria rendah hati yang tampil tenang dan wajahnya selalu berhias senyum.
Pauline bilang, Bens selalu bahagia melakoni pekerjaannya. Ia tak pernah punya keluhan terkait dengan kesehatannya. Bens selalu tampak fresh. Ditopang oleh bangun tubuh yang ramping tanpa beban lemak dan rambut selalu gondrong, maka ia pun tepat disebut awet muda.
Pelesir di NZ
Tiga tahun lalu, kami punya waktu yang intens bercengkrama dengan Bens Leo. Momennya ketika diundang oleh Rachmat Gobel keliling Selandia Baru ( NZ) bulan November 2018. Selain menghadiri konser yang diselenggarakan Dubes Tantowi Yahya di Wellington, kegiatan lalinnya pelesir ke Queenstown dan Auckland. Siang malam selama sepekan itu canda dan tawa kami lepas. Rasanya itu baru terjadi kemarin ketika Senin pagi beredar kabar Bens Leo meninggal dunia.
Tiada lagi Bens Leo. Ada satu kenangan yang pasti akan dikenang seluruh sahabatnya. Kebiasaan Bens menyapa dan mengingatkan bangun sahur di bulan Ramadhan. Sebulan penuh.
” Iya, benar. Dia sendiri tidak berpuasa. Tapi Bens sengaja bergadang khusus untuk itu. Sengaja dia menunggu. Setelah menyapa, dia pun tidur, ” kisah Pauline.
Selamat jalan Mas Bens.