Catatan Ilham Bintang
Gerimis mengiringi pemakaman tokoh bioskop dan film nasional, HM Johan Tjasmadi di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Jumat (7/10) siang pukul 14.00 WIB. Ia diantar istri, anak, cucu, kerabat, dan sahabat ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Pak John – panggilan akrab almarhum – meninggal dunia di rumahnya Jumat pagi pukul 09.00 WIB dalam usia 85 tahun.
“Menjelang wafat Pak John tetap sadar. Detik-detik terakhir, saya yang menuntun membaca syahadat dan almarhum bisa mengikuti sampai akhirnya menutup mata” kisah Hj Nurhayati, istrinya, di pemakaman.
Pagi itu, saat dipanggil pulang Ilahi Rabbi, Pak John tengah sarapan. Atik — panggilan istrinya — yang menyuapi. “Dua suapan terakhir dilepehkan almarhum. Itulah yang mengawali detik-detik dia pergi,” tambah Atik.
Meski menderita sakit parkinson lima tahun terakhir, namun mantan Anggota MPR- RI tiga periode itu tetap beraktifitas sehingga kesadarannya tetap terjaga. Selepas masa bakti di Lembaga Sensor Film, praktis sejak itu ia memang sudah membatasi aktifitas di lapangan. Ia full bekerja di rumah. Memanfaatkan waktu luang menulis artikel dan mengurusi buletin bulanannya, ” Info Di”. “Di” atau “Haji Di” adalah akronim namanya yang biasa dia pakai menulis kolom bernuansa reliji. “Info Di” buletin tercetak,terbit sekali sebulan.
“Beliau memang rajin menulis. Minggu lalu masih minta laptop, mau menulis, tetapi saya larang. Saya kasih pengertian. Nanti kalau sudah sembuh deh,” cerita Atik.
Pak John salah satu tokoh penting perfilman Indonesia di era tahun 80- 90 an. Ia lahir 1 Juni 1937 di Pekalongan. Semasa hidup, lebih separuh usianya diabdikan untuk film, memimpin organisasi film dan bioskop. Ia juga memproduksi film dan terjun menulis skenario dan menyutradarai beberapa di antaranya. Puluhan tahun memimpin GPBSI ( organisasi bioskop) dan beberapa kali menjadi Ketua Panitia Tetap Festival Film Indonesia. Selain itu Pak John juga aktif menulis kolom di berbagai media pers, dan menerbitkan Majalah Film.
Ia mengawali karir dari bawah sekali. Lalu meningkat menjadi manajer bioskop Orion (1954). Daya tarik film membuat ia meninggalkan pekerjaannya di bidang transportasi dan EMKL (1957-1959) dan perdagangan umum (1960-1965).
Terpilih pertama kali sebagai Ketua GPBSI perwakilan Jakarta tahun 1967. Ia merangkap sebagai sekjen GPBSI Pusat 4 periode berturut-turut (1970-1974 sampai 1987-1992) dan Ketua Umum GPBSI Pusat 1992-1997. Menjadi anggota Dewan Film Nasional (1979-1992) dan sebagai ketua Umum Panitia Tetap (Pantap) Festival Film Indonesia (1988-1992).
Selanjutnya, ia terpilih sebagai Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), pengganti/pelanjut Dewan Film. Pak John pernah juga menjadi anggota MPR-DPR RI 3 masa bakti, 1987-1992, 1992-1997 dan 1997-2002. Mantan Pemimpin Umum Majalah FILM itu adalah penerima Hadiah “Jamaluddin Malik” pada 1993. Terakhir ia menjadi produser pelaksana film kolosal Fatahillah (1996-1997).
Berkenalan Secara Unik
Saya berkenalan dengan Pak John 40 tahun lalu lewat cara unik. Di sela-sela kegiatan penyelenggaran Festival Film Indonesia ( FFI ) di Palembang tahun 1979. Saat itu terjadi sedikit kemelut antara panitia FFI dengan rombongan wartawan film dari Jakarta. Tengah malam Ketua Panitia FFI 79, Soemardjono (alm) menyambangi wartawan di hotelnya untuk meredakan suasana. Ia ditemani Pak John.
Dalam temaram penerangan lampu hotel, sosok Pak John tampak seperti “bodyguard” Ketua FFI. Saya langsung protes. Kenapa Ketua FFI membawa bodyguard dalam pertemuan? Pak John terkejut melihat pandangan saya ke arahnya. Buru-buru ia mengklarifikasi. Pak John mengaku diajak Ketua FFI untuk silaturahmi dengan wartawan.
“Tapi maaf, saya tidak tahu kalau ternyata ada persoalan wartawan dengan panitia,” ucapnya.
Kelak, kisah itu hanya bikin saya malu. Sosok Pak John ternyata berbanding terbalik dari sangkaan semula. Setelah peristiwa itu kami bersahabat erat hingga puluhan tahun. Pada FFI 1983 dia mengajak saya menjadi kepala humas Panitia Tetap FFI yang diketuainya sampai tahun 1992. Kemudian kami mendirikan perusahaan film memproduksi beberapa judul film, antaranya ” Bibir Mer” yang disutradarai Arifin C Noer. Terakhir film kolosal ” Fatahillah” yang berlatar sejarah.
Saya belajar banyak dari beliau dalam jalinan kerjasama dan eratnya persahabatan. Keluarga kami juga dekat dengan keluarganya. Saya sudah menganggap Pak John sebagai guru, kakak, dan orangtua. Ketika saya memulai membangun kelompok media Cek&Ricek ia sempat bersama mengawal di awal. Setelah itu ia pamit istirahat. “Kewajiban saya mengawal selesai, ” ujarnya masa itu, 25 tahun lalu.
Di dunia film Pak John memang dikenal pelobi ulung. Kemampuannya sudah teruji mengatasi konflik masyarakat perfilman. Terutama antara produser dan pemilik bioskop yang sama-sama egois. Legacy dari kemahiran lobinya, para produser film Indonesia hingga sekarang menikmati keringanan pajak tontonan ( PTO) dari Pemprov DKI Jakarta. Gagasan itu ia dicetuskan bersama beberapa tokoh perfilman masih di zaman Gubernur DKI Ali Sadikin. Satu lagi gagasannya yang cukup fenomenal di tahun 90 an: memproduksi film-berdurasi pendek berisi informasi pembangunan. Film itu dipertunjukan mengawali film utama di bioskop. Program itu kelak menginspirasi pengelola bioskop 21 di Indonesia menyediakan slot iklan di seluruh jaringannya.
Misteri Kamera
Masih menjadi “misteri” buat saya ketika akhir Februari lalu Pak John mengirimi satu set kamera koleksinya, “Olympus”. Dia menyuruh perawatnya, Kusnadi ( bukan Mulyadi) seperti ditulid sebelumnya, memberi tahu saya lewat WhatsApp dan mengirimnya ke rumah.
” Saya cuma disuruh begitu Pak. Tapi, bapak memang paling sering menceritakan soal persahabatannya dengan Pak Ilham,” kata Mulyadi.
Pak John memang bukan sekali ini memberi hadiah kejutan. Saya naik haji pertama kali di tahun 1991 karena dia mendaftarkan saya dan istri dalam rombongan pembuatan film dokumenter yang digagasnya, ” Perjalanan Pak Harto Naik Haji”. Saya pertama kali menginjak benua Amerika juga atas prakarsanya. Film “Bibir Mer” yang disutradarai sineas kondang Arifin C Noer didaftarkan Pak John ikut kompetisi film berbahasa asing di ajang Oscar. Berangkatlah kami ke Los Angeles bersama tokoh pers nasional Rosihan Anwar, Prof Salim Said, wartawan Pos Kota Dimas Supriyanto mengawal film itu. Pak John sendiri tidak ikut.
Pak John memang sosok yang dikenal ringan tangan membantu orang. Ia sering memberi hadiah surprise kepada banyak kalangan. Kenapa kamera Olympus itu menjadi misteri? Karena waktu itu kondisi kesehatannya cukup kritis, ia baru saja keluar rumah sakit. Saya sempat ragu menerimanya. Seakan dia mengirim firasat ia takkan lama lagi. Tapi lepas dari itu memang mengharukan karena kebiasaan nya memberi masih berlanjut meski dalam keadaan ktitis sakit. Kamera itu karenanya saya simpan dengan baik sebagai kenangan terindahnya.
Tiada lagi Pak John. Semoga amal ibadahnya, ketulusannya mengabdi kepada dunia film, melancarkan jalannya menemui Allah SWT untuk mendapat tempat terbaik disisiNya. Semudah dan selancar ketika menutup mata selamanya, di hari baik, hari Jumat.