Menilik Sejarah Hukum Pelayaran dan Perdagangan Orang Bugis Makasssar

0
1917
- Advertisement -

Kolom Andi Wahidah Sulaiman

Ternyata ada orang Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan yang mewariskan kepada dunia internasional mengenai hukum laut.

Beliau adalah La Patello Amanna Gappa, seorang tokoh internasional yang berasal dari kerajaan Bugis Wajo. Amanna Gappa adalah seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional.

Lontarak Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana Pabbalue.

Kata ini berasal dari bahasa Bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti aturan pelayaran dan perdagangan.

- Advertisement -

Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas Wajo atau lebih dikenal dengan istilah matoa komunitas Wajo di Makassar.

Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala Perniagaan di Makassar abad ke-17 di Kota Somba Opu Ibukota kerajaan Gowa Maritim Makassar. Disinilah Amanna Gappa kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan.

Kelak Dasar dari UU Amanna Gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.

Lalu apakah sebenarnya isi dari Lontara Ade aloping-loping bicaranna pabbalue dalam bahasa Bugis.

Berikut ini adalah, lontarak atau UU Pelayaran dan kemaritiman Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal yang kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Lontarak Amanna Gappa

Pasal 1

Menjelaskan tentang sewa bagi orang-orang yang berlayar dan berdagang, antara lain seseorang yang berlayar atau berdagang dari Makassar Bugis, Paser, Sumbawa, Kaili Melayu Aceh, Kedah, Kamboja, maka sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratusnya.

Maka uang yang digunakan saat itu adalah rial merupakan mata uang yang juga dibawa oleh para pedagang.

Barang-barang saat itu dari tiap jenisnya itu selalu dianggap 100 %, hal ini berarti bahwa orang-orang dahulu telah menerapkan sistem persenan dalam tiap kegiatan dagang.

Selanjutnya, jika para pedagang naik perahu dari Aceh, Kedah, Kamboja menuju Malaka, ke Johor Tarapuo, Jakarta, Palembang, Aru, maka sewa dikenakan enam rial dari tiap seratus persen barang. Sementara itu jika orang naik perahu ke Semarang, Sambas, Pontianak, Ambon, Banda, Kie, Ternate, maka sewa dikenakan lima rial dari tiap seratus persen barang.

Jika orang naik perahu ke Banjarmasin sampai ke Berau menuju utara di Sumenep sampai ke Timor maka sewanya dikenakan empat rial dari seratus persen.

Apabila seseorang naik perahu di Sambas sampai Banjarmasin lalu ke tanah Jawa maka dikenakan sewa empat rial dari seratus persen.

Sementara itu jika seseorang naik perahu di Makassar ke Selayar maka sewanya 2,5 rial dari tiap barang.

Dari jalur-jalur yang disinggahi dapat disimpulkan bahwa para pelayar dan pedagang Bugis dalam perdagangan telah sampai hingga Kamboja, Terenggang dan Johor.

Adapun tentang barang yang memerlukan ruangan luas maka dikenakan sewa sepersebelas dari seratus persen tiap jenis barang (sima biring) misalnya beras, garam, rotan dan lain-lain.

Adapun perahu yang sekali memungut sewa pulang pergi, meskipun ada negeri yang disinggahi menjual, lalu membeli dagangan kemudian menuju ke negeri yang dituju maka ia hanya membayar sewa kapal yang dituju.

Kecuali dalam pelayaran ia kembali ke negeri yang disinggahi untuk menjual dan membeli barang sehingga ia bermalam, maka barulah perahu memungut sewa untuk kedua kalinya.

Pasal 2

Perahu yang disewakan kepada yang bukan teman pemilik perahu maka sewa perahu dibagi dua, sebagian untuk yang punya perahu dan sebagian untuk nakhoda bersama juru mudi dan juru batu.

Adapun jika yang membawa perahu adalah teman dari pemilik perahu maka sewa dibagi tiga.

Satu bagian untuk juru mudi dan juru batu dan dua bagian untuk yang punya perahu.

Mengenai bagian yang bukan teman lebih banyak dari pada yang teman pemilik perahu, karena ini erat kaitannya dengan hubungan kekearabatan yang terjadi dimana terkadang seseorang lebih mudah saling mengatur jika erat kaitannya, dibanding tidak memiliki hubungan sama sekali.

Juru mudi bertugas mengemudikan perahu, sementara juru batu bertugas mengawasi kapal dari karang maupun menaikkan dan menurunkan batu (jangkar) ketika ingin berlabuh.

Jika dalam perdangan nakhoda salah mengenakan sewa maka kesalahan tidak dikenakan kepada kelasi (penumpang).

Dalam setiap perselisihan antara kelasi, maka nakhoda berkewajiban menengahi dan mencari jalan keluar masalah tanpa membawanya ke pengadilan.

Pasal 3

Dagangan yang kembali di negeri yang dituju dikenakan sewa separuh kecuali dia terus dan ada negeri yang dituju, maka dia membayar sewa penuh; sesuai dengan sewa negeri yang disinggahi.

Apabila dia pindah perahu padahal perahu yang telah ditumpanginya memiliki arah tujuan yang sama, maka nakhoda yang ditinggalinya berhak meminta sewa dari kelasi sebanyak sewa ke negeri yang ditujunya.

Terkecuali jika dia tidak bermaksud ke negeri yang pernah ditujunya semula, meski searah haluan maka tidaklah diminta sewa.

Pasal 4

Macam-macam kelasi ada 4 yakni kelasi tetap, bertugas menjaga kapal dan tidak boleh meninggalkan perahu selama dalam pelayaran, yang kedua kelasi bebas, ketiga kelasi penumpang dan terakhir orang yang menumpang.

Nakhoda tidak diperkenangkan menerima kelasi, kalau belum ada persetujuan tentang barang, baik yang membutuhkan ruangan luas maupun barang tapi yang telah dijanjikan.

Pasal 5

Kerusakan yang ada pada perahu menjadi tanggung jawab juru mudi dan juru batu, keduanya berhak memberikan perintah perbaikan perahu kepada kelasi.

Pasal 6

Syarat-syarat nakhoda perahu ada 15 yakni :

  1. Memiliki mental, dan senjata baik senjata berat dan ringan yang berfungsi untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman.
  2. Memiliki perahu yang kuat untuk berlayar, demi mengantisipasi ancaman badai dan berbagai masalah di laut.
  3. Teliti dan rajin, sehingga mampu mengawasi dan menjadi teladan bagi anak buahnya.
  4. Memiliki modal, untuk menyewa kapal maupun membayar denda jika terjadi kesalahan.

5 Mampu mengawasi kelasinya.

  1. Mampu menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.
  2. Mampu menerima saran dan kritik.
  3. Memiliki integritas dan kejujuran.
  4. Menerima kelasi dengan memperlakukannya sebagai anak, sehingga ia bisa menjadi pengayom diantara kelasi yang lain.

10.Senantiasa memberi pelajaran kepada kelasi tentang alat-alat pelayaran tanpa ada rasa jenuh.

  1. Sabar
  2. Disegani
  3. Mampu mengurusi dagangan kelasinya
  4. Bisa mengkongsi perahunya
  5. Mengetahui jalur pelayaran yang dituju.

Pasal 7

Cara bejualan baik dengan menggunakan perahu, berwarung atau bersaudagar ada lima macam yaitu :

· Berkongsi sama banyak, yakni memikul bersama keuntungan atau kerugian yang jika terjadi kerusakan dalam berjualan;

· Samatula , yakni yang punya barang yang memikul segala kerusakannya apabila barang cacat, tetapi jika bukan cara berjualan yang salah maka si pembeli yang menanggungnya;

· Utang tanpa bunga. Si pemberi utang hanya menagih utang jika telah sampai waktunya;

· Utang kembali, harga barang ditetapkan terlebih dahulu, dan akan dibayar jika barang telah laku terjual. Jika tidak laku maka barang dikembalikan.

· Kalula, orang yang dipercaya menitipkan barang. Kerusakan yang dipikul bersama ada 3 macam :

  1. Rusak di lautan
  2. Dimakan api
  3. Kecurian.

Kerusakan yang tidak dipikul bersama ada 7 macam :

  1. Dijudikan;
  2. Dipelacurkan;
  3. Dipergunakan beristri;
  4. Diboroskan;
  5. Dipinjamkan;
  6. Dimodalkan;
  7. Diberikan untuk makan

Pasal 8

Orang yang meminjam barang di pasar atau dalam pelayaran, di luar pengetahuan keluarganya lalu ia ,meninggal, maaka keluarga tidak boleh ditagih dan mereka tidak patut membayar.

Kecuali jika ia pernah bertemu keluarganya dan pernah diberitahu tentang utang tersebut.

Maka wajiblah si isteri dan keluarganya membayar.

Pasal 9

Barang dahulu diwarisi kepada anak dahulu, barang dibelakang diwariskan kepada anak dibelakang begitu seterusnya. Baik atau maupun keuntungan. Mengenai pewarisan barang tidak boleh dikembalikan kalau harga diputuskan dan belum diperdagangkan. Jika telah diperdagangkan dan ada yang kurang atau ada yang robek, maka yang kurang ditambah dan yang robek diganti. Pembelian tidak boleh dibatalkan.

Pasal 10

Adapun orang yang bertengkar dengan sesama pedagang dan ma¬sing-masing telah sampai kepada orang tua , yang caranya ber¬tindak sama juga dengan caranya pengadilan, yakni mendengar pembicaraan kedua belah pihak dan saksi kedua belah pihak dan juga keadaan serta kelakuan kedua belah pihak. Jikalau kedua belah pihak (telah menjalani pemeriksaan) dan ternyata keadaannya sama, maka hukum Tuhanlah yang dijalankan terhadap mereka.

Jikalau orang yang bertindak selaku hakim bertanya, maka sipenuntutlah lebih dahulu ditanyai, baru orang yang dituntut. saksinya demikian juga. Maka dimintai mereka akan wakil masing-masing, lalu disuruh mundur sebegitu jauh, sehingga tak dapat mendengar orang yang bercakap-cakap itu. Orang yang bertindak selaku hakim, memikirkan segala seluk-beluk persoalan itu. Masing-masing menghadapkan hatinya kepada Tuhan untuk menciptakan putusan yang jujur. Masing-masing mengikuti akar persoalan. Empat akar besarnya, empat pula akar kecilnya. Jikalau salah satu (diantara orang yang bertengkar itu) ternyata ber¬salah atau ada dalam kebenaran, salahkanlah yang salah, benarkanlah yang benar. Kedua belah pihak tidak boleh lagi memakai ke-kerasan.

Pasal 11

Adapun pelayar, bila ada pertengkarannya dalam pelayaran, selesaikanlah terlebih dahulu. baru perkenankan mereka naik ke darat. Dimana saja api jadi, di situ juga padam. Jikalau mereka didalam pelayaran berselisih nakhodalah yang menyelesaikan persoalannya. Janganlah dibawakan kesusahan dari luar kepada pemimpin negeri tentang soal pelayaran. (Kecuali perselisihan terjadi di daratan, maka di sana jugalah diselesaikan oleh pemimpin negeri) , sebab tiap-tiap negeri yang engkau singgahi, mempunyai hakim.

Pasal 12

Adapun peraturan yang ditentukan mengenai bagi laba, tujuh macam, yang tidak dipikul bersama dengan yang empunya jualan. Pertama: jangan dipergunakan berlacur; keempat: jangan dipergunakan untuk kawin; kelima: jangan dipergunakan berjudi; keenam : jangan dipergunakan mengisap madat; ketujuh: jangan diboroskan.

Kalau kerugian karena ada diantara yang (tujuh ini) dilakukan, maka yang membawa jualan memikul semua. Kalau modal (si punya jualan) ada, (kembali dengan tidak berkurang) tidaklah ditanyakan kelakuannya. Kalau si pembawa jualan belum kembali dan yang empunya jualan memandang (si pembawa) telah mati, maka yang empunya jualan menerima setengah (modalnya) dari keluarga sipembawa jualan. Dia tidak menunggu lagi kerugian atau keuntungan, kalau telah menerima setengah , walaupun akhirnya si pembawa kembali berlaba atau rugi. Sekiranya jelas kematian si pembawa dalam pelayarannya dan terang juga bukan cara berdagang yang dilakukan sehingga jualannya habis, seharusnyalah keluarganya membayar penuh. Akan tetapi kalau cara berjualan juga dilakukannya sehingga habis barangnya, maka membayar setengahlah si pembawa.

Pasal 13

Adapun hal orang yang berutang, empat macamnya. Pertama: orang yang berutang; kedua: orang yang menyanggupi (membayar utang orang yang disanggupinya); ketiga: orang yang dijadikan penang¬gung keempat: orang yang mengantar, itu jugalah orang yang mempertemukan. Orang yang meminjam, dia sendirilah yang membayar. Pada hal orang yang menyanggupi, bukan dia yang meminjam, akan tetapi dia yang membayar, bila sampai waktunya (dan si peminjam) belum membayar. Adapun (seorang) to’do’, tidak boleh ditagih kecuali jikalau orang yang menjadikan dia to’do’ meninggal atau menghilang, maka wajiblah to’do’ membayar. Dari itu maka ada pribahasa yang mengatakan :„Orang yang menyanggupi, lehernya diikat, orang yang dijadikan to’do’, kakinya diikat”.

Adapun orang yang mempertemukan, sama halnya dengan orang yang mengantar. Sebab hanya oleh karena (orang yang dapat mem¬beri pinjaman itu) tidak dilihat (oleh orang yang hendak meminjam itu maka ditunjukkannya; dan oleh karena (orang yang dapat meminjamkan itu) tidak dikenal (oleh orang yang hendak meminjam itu), maka diantaranya. Tidak boleh dia ditagih. Hanya orang yang meminjam jualah yang ditagih.

Pasal 14

Adapun orang yang berutang, jikalau telah habis hartanya dijadi¬kan pembayar (utang) dan masih belum cukup untuk menjadi pem¬bayar, maka dia memperhambakan dirinya untuk menutup keku¬rangan itu. Hal inilah yang dinamai riukke’ ponna). Tidak boleh lagi ditagih, walaupun dia mendapat kebaikan sesudah dicabut po¬honnya beserta akarnya. Dia membayar dengan memperhamba diri; yang empunya barang tidak boleh lagi menuntutnya. Adapun orang yang mengambil utang berbunga, ialah yang dinamai riraung cempa (dipetik sebagai daun asam) yakni, telah dipetik daunnya dan bila tumbuh daunnya (kembali) dipetik lagi. Begitulah buruknya di dunia. Adapun akibatnya diakhirat, tidaklah terkatakan: bunganya berbunga. Janganlah tetapkan harga diri (sipeminjam). Jikalau telah kau perbudak dia, telah kau cabut pohonnya beserta akarnya, jangan dipetik, (lagi) (dimintai bunga). Tidak boleh lagi ditagih bila dia kelak mendapat kebaikan. Hanya utangnya saja yang dibayarnya, tidak lagi membayar bunganya . Adapun yang dinamai rirappasorong, hanya seorang yang berutang, tetapi banyak yang memberikan piutang. Jikalau dia membayar (dan) tidak cukup pembayarannya, maka yang memberikan pinjaman hanya berhak menerima jumlah sesuai dengan perbandingan piutangnya masing-masing. Banyak piutangnya, banyak pula diterimanya. Kurang piutangnya, kurang pula diterimanya. Dicabut pohonnya beserta akarnya atau tidak dicabut pohonnva beserta akarnya, lunaslah utangnya itu. Bila dia mendapat kebaikan kemudian dari pada itu, untungnya sendirilah itu, tidak boleh lagi ditagih .

Pasal 15

Adapun budak jikalau disuruh membawa barang jualan dan dia melakukan kesalahan dalam pelayaran, jikalau engkau (nakhoda) merebut barang jualannya, pada hal tidak ada perwakilan padamu dari orang yang menyuruhnya dan rusak dalam tanggunganmu, kamu harus menutupinya ( membayar harga kerusakan itu). Engkau baru luput, bila barang itu telah tiba pada yang empunya jualan. Kalau memang ada perwakilan (padamu) lalu engkau mensitanya, maka dialah ( siempunya barang) menanggung baik-buruknya. Sama halnya dengan orang yang membawa jualan, dalam keadaan rusak, menurut peraturan bagi laba sama.

Pasal 16

Adapun pedagang yang meninggal dalam pelayaran, carilah ahli wa¬risnya, yang tidak akan merusak ( menghilangkan barang orang yang meninggal itu). Dudukkanlah beberapa orang untuk hal itu, lalu serahkan (harta bendanya), supaya engkau saling menyaksikannya. Adapun kesukarannya, taksirlah (harga) barang itu, (lalu) dijadikanlah wang dan sesudahnya terimakanlah kepadanya, lalu engkau masing-masing mencatatnya dalam bukumu. Jikalau tidak ada ahli-warisnya, nakhodanyalah yang menerimanya. Kalau ada yang engkau ( nakhoda) pakai maka rusak, gantilah. Kalau berlaba, milikmu semua laba itu. Yang empunya barang ti¬dak mengenal baik atau buruknya. Setelah engkau tiba di negerinya, serahkanlah kepada anaknya (atau) isterinya. Persaksikan jualah, supaya engkau bersih.

Pasal 17

Adapun bayar-membayar (bagi) orang yang saling berutang, baik bagi laba maupun lain-lain (macam) utang-piutang, (kalau) wang yang dipinjam, maka uang yang dibayarkan, (kalau) barang jualan yang dipinjam, jualan yang dibayarkan. Jikalau wang yang dipinjam (dan) jualan yang dibayarkan, maka itu atas putusan orang penengah yang menaksir harga barang itu. Jikalau jualan yang dipinjam (dan) wang yang dibayarkan, maka itu tergantung pada persetujuan mereka. Jikalau berlainan jenis jualan yang dipinjamnya dengan yang dibayarkannya, terserahlah pada persepakatannya. Itulah yang dinamai taro anappalallo bekka’ temmakkasape’ penyelesaian secara istimewa. Oleh karena menurut adat tidak boleh hal itu dipandang sebagai anak, akan tetapi orang tidak terlarang bersepakat dengan sesamanya pedagang.

Pasal 18

Adapun yang dinamai kalula, ialah, dia dan keluarganya tidak menanggung kerusakan jualan, akan tetapi hanya menunggu belas-kasihan semata-mata. Jikalau rusak karena bukan cara jualan yang dilakukannya, maka kalula yang membayarnya, tidak sampai kepada keluarganya; (jadi) hanya dirinya sendiri yang menanggung utang. Dari itu maka hanya orang yang merdekalah yang dijadikan kalula. Oleh karena tidak boleh luput dari peraturan. Hanya mencarikan jalan sekadar mendapat pembayar untuk membayar utangnya.

Pasal 19

Adapun ana’guru yang mengambil utang dari orang lain di luar pengetahuan gurunya, maka habis yang dipinjamnya itu, gurunya tidak wajib membayar. Jika budaknya saja disuruh menjaga jualan, maka (budak itu) pergi juga berutang pada orang lain dan sebelum habis laku (barang yang dipinjam itu) telah bertukar rupa , apalagi kalau hilang, atasannyalah yang membayar. Oleh karena kepercayaannya (kepada budak itu) lebih dahulu dari pada disuruhnya (dia) menjaga. Akan tetapi (pada umumnya) budak tidak boleh diberi meminjam tanpa pengetahuan tuannya.

Pasal 20

Adapun orang yang dipungut di lautan, sekalipun (telah) terdampar pada sebuah pulau, akan tetapi ternyata sama sekali tidak ada sesuatu apa yang dapat menghidupkannya (di pulau itu), sama juga halnya dengan orang yang dipungut di tengah lautan. (Pada orang yang demikian itu) dibebankan bayaran menurut harga pasar tiap-tiap orang (yang dipungut di tengah lautan). Jikalau mereka terdampar pada sebuah gosong, dimana ternyata ada yang dapat menghidupkannya, hanya empat rial diminta dari tiap-tiap orang. Jika memang tidak ada perjanjianmu nakhoda, lalu dia yang dipungut itu pergi keadat, maka putusan adatlah yang diikutinya.

Pasal 21

Amanat Amanna Gappa, kepala seluruh orang Wajo di Ujung Pandang, telah disetujui oleh kepala seluruh orang Wajo di Sumbawa, di Paser, pada waktu mereka duduk mengadakan pertemuan (di Ujung Pandang). (Amanat tersebut) dicantumkan di dalam buku, supaya diikuti turunan mereka, diwarisi oleh anak cucunya dan oleh seluruh pedagang yang lain. Ada dua golongan yang hendaknya diperhatikan baik-baik : orang yang meminjam dan orang tempat meminjam.

Adapun cara memperhatikannya: jangan mengambil utang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh dari pada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun keburukannya, sering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jikalau kau berikan utang bagi laba, sesuaikanlah dengan harta miliknya beserta (harta) keluarganya dan (harta) golongan keluarganya yang dekat.Sebabnya, jikalau beroleh kerusakan dan tidak cukup pembayarannya, adalah yang dilihat ( menjadi tanggungan bagi) barangmu.

Adapun caranya orang berutang-piutang, baik bagi laba, maupun samatula, baik utang biasa tanpa bunga dan segala utang-putang yang lain-lain, jikalau yang empunya piutang yang me¬minjamkan barang berkeras mau menerima (bayaran), maka (hendaklah) ditaati peraturan yang sudah ditetapkan. Jikalau yang berutang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka ditaksirlah harga segala barang miliknya sendiri.

Jikalau telah habis harta miliknya dibayarkan dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya. Tidak boleh lagi ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh Allah Ta’ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak boleh keluar dari lingkungannya ( tidak boleh sesama kita merdeka dipaksakan mencari wang di luar lingkungannya dengan mem-perhambakan dirinya). Apa lagi jangan dipikir akan kemungkinan untuk dibuang ke Jawa , artinya: jangan ditaksir harga diri orang itu. Jikalau engkau tidak menghendaki kurang piutangmu, janganlah engkau cabut pohonnya beserta akarnya.

Tunggulah tumbuhnya tunggulah rezekinya dikemudian hari, harapkanlah itu atau berikanlah dia dagangan untuk dijadikan mata pencahariannya.

Mudah-mudahan kamu sama bertuah dan terkabul doamu sama-sama dikasihani dan dikaruniai rezeki oleh Allah SWT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here