Kolom Mursalin
Menjadi oposisi tentu bukan suatu yang mudah. Dan juga mungkin bukanlah sebagai sebuah pilihan. Lihat saja definisinya. Oposisi yang diserap dari bahasa asing opposition dan bahasa latinnya opponere, artinya yaitu menentang, menolak, melawan. Jadi bisa dibayangkan, seperti apa kiranya orang atau mereka yang sikapnya beroposisi.
Kenyataannya pun memang, sebenarnya tak ada orang yang pilihan utamanya adalah beroposisi. Misalnya kelompok politik. Ketika mereka kalah dalam pertarungan, maka pilihannya, ya, “mau tidak mau” yaitu menjadi oposisi. Di Amerika contohnya. Ketika Demokrat yang berkuasa atau memenangi Pemilihan Presiden, maka yang beroposisi adalah Republik.
Begitu juga sebaliknya. Tidak pernah keduanya bercita cita ngin jadi oposisi. Karena sudah menjadi negara demokrasi yang mapan, aktifitas beroposisi di negeri paman sam tersebut tak ubahnya sebagai game semata. Rakyat seolah yang menjadi pengendali oposisi secara priodik. Umumnya selama dua priode secara bergantian Demokrat dan Republik bergantian berkuasa. Dan untuk kali ini-setelah sempat terjadi puluhan tahun silam, kini rakyat menggilir hanya satu priode, ditandai dengan terjungkalnya Mr Trump pada Pemilu awal November kemarin.
Bila begitu adanya, sepertinya oposisi lebih hanya sekadar norma semata. Ya, semacam suatu etika. Etika dalam menentukan sikap. Lagi pula pun, kalau kebetulan memang tidak atau belum ada aturan formal yang mengaturnya; jika kalah maka kamu harus di luar, tidak boleh masuk ke dalam, berarti oposisi seakan benar benar “normatif’ semata.
Tapi ngemeng ngemeng (ngomong ngomong), he, cerita tentang oposisi ini, Saya jadi teringat pula ketika bersama beberpa teman pergerakan di Pontianak membentuk SOLMADAPAR (Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Pengemban Amanat Rakyat) dulu ditahun 1999. Dengan agenda nya melanjutkan reformasi nasional di Kalimantan Barat. Jargon yang diusung tak tanggung tanggung: “Oposisi Selamanya”.
Sempat terlintas dibenak Saya kala itu, seandainya masif gerakan Solmadapar se Kalbar, bisa saja Solmadapar menjelma menjadi partai lokal suatu saat. Padahal waktu itu partai lokal di di Indonesia belum ada, tapi ide liar-entah dari mana asalnya, melintas di pikiran.
Tak banyak teman teman di Solmadapar yang saya utarakan ide tersebut. Hanya beberapa orang saja dan mereka tertarik dengan khayalan partai lokal tadi, dengan harapan benar benar mampu memajukan Kalbar nantinya. Pun sengaja Saya batasi infonya, mengingat kata partai biasanya agak bikin alergi ketika itu. Ehmmm. Tapi, ya, sudah lah. Peristiwa tersebut pun telah 21 tahun berlalu. Memang Solmadapar sempat cukup menggemparkan diawal pembentukannya. Sambutan masyatakat juga lumayan besar. Bahkan gerakannya sempat membuat Gubernur Kalbar kala itu tidak nyenyak tidurnya. Kikikikik. Puncaknya adalah DPRD Kalbar mengeluarkan mosi tak percaya kepada Gubernur Aswin.
Tapi itu tadi, alih alih menjelma jadi partai lokal-secara regulasi Kalbar tidak memungkinkan karena beda dengan Aceh yang berotonomi khusus, gerakannya pun belakangan agak meredup. Setiap demo, paling massa nya bisa dihitung dengan jari tangan dan jari kaki.
Kembali ke kisah beroposisi tadi, sebenarnya banyak cerita di berbagai belahan dunia atau sejarah umat manusia tentangnya. Bahkan juga success story nya. Di India misalnya. Setelah 30 tahun, barulah oposisi yang memenangi Pemilu yaitu Bharatiya Janata Party (BJP) dengan tokoh sentralnya Narendra Modi. Begitu juga di Mesir. Sepeninggal Husni Mubarak, akhirnya Mursi yang aktifis Ikhwanul Muslimin tampil sebagai Presiden-walau hanya setahun. Banyak lagi lainnya, seperti Myanmar dengan tokohnya Aung San Syu Kii dan juga termasuklah negara kita Indonesia.
Ya. Negara kita memang memiliki sejarah hal ihwal oposisi. Megawati misalnya. Di masa Orde Baru, Mega adalah sosok yang berseberangan dengan Soeharto. Puncaknya adalah penolakan Pemerintah terhadap hasil Kongres PDI di Surabaya yang mendaulat trah dari Presiden Soekarno sebagai ketua umum. Terjadi dualisme PDI. Kisruh kian menjadi ketika peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDIP di jl Diponegoro Jakarta. Namun seiring waktu, 1998 kekuasaan Soeharto jatuh, Habibie yang menggantikan Presiden menggelar Pemilu tahun 1999 dengan diikuti 48 partai. Dan alhasil, yang memenangi Pemilu adalah partainya Megawati yaitu PDIP dengan 33 persen lebih suara. Sidang Umum MPR menghasilan duet Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kurang lebih dua tahun kemudian, Megawati yang jadi Presiden menggantikan Gus Dur.
Kemudian hasil Pemilu berikutnya di 2004 dan 2009 secara berturut SBY tampil sebagai Presiden. Mega yang tidak terplih kembali, dengan tegas memilih untuk berada di luar pemerintah atau beroposisi. Pada tahun 2014 Mega memang tak tampil di Pilpres. Tapi ia berhasil mengantarkan kadernya Jokowi menjadi Presiden secara berturut 2014 dan 2019.
Contoh beroposisi yang tak kalah menarik juga ditunjukan GAM dan Fretilin. Dulu GAM dianggap pemberontak oleh Pemerintah RI di Aceh. Kini ia menjelma menjadi partai lokal di propinsi dengan otonomi khusus tersebut, dan sudah sekian kali memenanangi Pemilu di Aceh, baik kontestasi legislatif maupun Pemilukada. Fretilin juga demikian. Sebelumnya dinggap pemberontak oleh Pemerintah RI. Namun setelah Timor Timor berpisah dengan Indonesia, malah mereka menjadi penguasa di Timor Leste-sebagai suatu negara berdaulat, dengan salah seorang tokohnya Xanana Gusmao.
Meski bukan menjadi cita cita, setidaknya sesorang bisa menikmatinya ketika ia sedang berada diposisi sebagai oposan. Karena nyatanya, untuk tidak lagi sebagai oposisi dan menjadi pemenang, waktu dan kegigihan dalam berjuang yang menentukannya-sebagaimana yang telah diraih oleh sejumlah tokoh dunia tadi, termasuklah GAM dan Fretilin.
Dimensi waktu dan perjuangan? Ah, sepertinya tidak juga. “Oposisi” diera “pandemi” sekarang ini tidak mesti dilihat dari sudut pandang romantisme pergerakan-ansih. Cukup diajak bergabung oleh kelompok pemenang, jika bersedia untuk koalisi, maka serta merta stempel oposan pada kelompok yang sebelumnya kalah secara otomatis terhapus. Begitupun dimensi waktu yang menganut priodesasi dan sejenisnya, juga tak berlaku. Tak perlu menunggu lama, oposisi segera bergeser ke “posisi” nya. Bisa setahun atau dua tahun kemudian, dan bahkan juga sekejap mata. He.
Disaat Sandiaga Uno mengikuti jejak Prabowo Subianto bergabung ke Kabinet Jokowi-Ma’ruf, maka sempurnalah pendapat bahwa oposisi ternyata memang tak mesti terikat “dimensi waktu” dan “perjuangan” tadi. Meski dikenal sebagai pekerja keras (militan berjuang) dan paham betul dengan adanya proses (dimensi waktu) dalam berbisnis, langkah pemilik Perusahaan Investasi ini untuk bergabung ke kabinet Jokowi tetap tak bisa serta merta dianggap sebagai; “Paradoks si Sandi”.
Selaku investor dan pebisnis yang handal, Sandi bisa jadi tahu betul, bahwa potensi pasar atau market oposisi biasanya cuma secuil. Hasil Pilpres 2019 tak bisa dijadikan patokan karena persentasenye mungkin saja tak permanen dan bahkan sudah berubah dalam sekejap.
Sang investor justeru malah lebih tertarik dengan “market pragmatis dan oportunis” yang memang biasanya SDM dengan tipe atau model dengan watak tersebut selalu melimpah. Dan bergabung ke lini kekuasaan adalah pilihannya, bila hendak menggarap kedua market itu tadi.
Nah, lagi lagi, oposisi memang bukanlah suatu cita cita. Walau sekalipun seandainya belum ada konstitusi yang mengaturnya, oposisi bisa menjadi suatu pilihan karena terikat oleh norma dan etika semata. Dan dalam hal ini, kedua tokoh penting di Pilpres 2019 tersebut tinggal membuktikan postulat barunya sebagai politisi di panggung Pemilu 2024 nanti. Apakah langkah politiknya tersebut akan menjadi success story seperti yang telah diraih oleh para oposan pendahulunya-dalam sejarah peradaban di beberapa belahan dunia, atau malah sebaliknya. Sejarah pasti akan mencatatnya dengan rapi.
Selamat menyambut tahun 2021..semoga pandemi segera berlalu.
Penulis adalah biak Pemangkat dan bekerja di PonTV, Sekretaris Dewan Pakar KKSS Kalbar.