Catatan Ilham Bintang
Ternyata, saya tidak sendirian yang baru minggu lalu, hari Minggu (2/1) merasakan pertama kali menumpang MRT dan Bus Trans Jakarta. Banyak lagi warga yang belum pernah merasakan nikmatnya naik dua moda transportasi populer dan modern di Ibu Kota itu.
“Saya juga mau ikutan norak, Bang IB,” komen Miing BagitoBagito. “Terus terang, saya juga belum pernah naik MRT,” sambungnya.
Minggu lalu, saya memang memposting tulisan “Menjadi Turis ” Norak” di Jakarta” di berbagai WAG ( Whats App Group).
Ponggawa grup lawak sohor “Bagito Group” dan mantan anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P itu pun merespons. Miing tak bisa menyembunyikan takjubnya. Lalu dia meneruskan pujian dalam komentarnya di WAG ” Artis Senior”.
Dan, terungkaplah : mayoritas artis, member WAG, mengaku sama. Belum pernah merasakan naik MRT dan Bus Trans Jakarta.
Sebenarnya, waktu menulis artikel itu ada perasaan malu. Saya, rasanya, seperti ungkapan “katak dalam tempurung” itu. Atau jadi Malinkundang. Sepuluh tahun terakhir, rajin menulis artikel tentang ikon- ikon kota dunia, sementara ikon Jakarta terlewatkan. Padahal, “Mass Rapid Transport” atau MRT Jakarta sudah beroperasi sejak 24 Maret 2019. Sedangkan, Bus Trans Jakarta lebih lama lagi, sejak 2009.
Namun, baru Minggu (2/1) lalu saya menjajal keduanya. Inilah fakta berikutnya, “provokasi ” tulisan “menjadi orang norak” di Jakarta, berlanjut. Terjadi semacam viral kecil-kecilan di berbagai WAG. Banyak yang tergoda untuk merasakan pengalaman naik MRT.
Minggu (9/1) siang saya pun mengulangi trip sama. Kali ini menemani para pengurus Masjid At Tabayyun Taman Villa Meruya, Jakarta Barat. Dr Ratu Audity Abigail, menantu saya, mengetahui itu, minta suaminya dr Yassin menyusul dan mengawal kami, rombongan Masjid At Tabayyun dalam trip ini. Khawatir kami nyasar, atau “salah” prosedur, dan makin norak, hehehe. Maklum rombongannya orang-orang tua semua. Marah Sakti Siregar, wartawan senior yang menjadi Ketua DKM Masjid At Tabayyun tak lupa ucapkan terima kasih kepada pasangan dr Yassin dan dr Audy, setelahnya.
Trip kali ini dilengkapi dengan rencana menjajal JPO ( Jembatan Penyeberangan Orang) Phinisi di jantung Jakarta, Jalan Jendral Sudirman. Minggu lalu JPO itu gagal kami jajal karena aksesnya masih ditutup. Menunggu pembukaannya secara resmi, kemungkinan bulan ini. Penampakan luar JPO ini bikin ngiler. Membentang gagah di atas jalan Jendral Sudirman — Thamrin. Kedua sisinya berkontur kayu menggambarkan karakter kapal Phinisi Anjungannya, terletak paling atas, niscaya akan menjadi ikon baru, atau spot foto yang paling mentereng. Sekarang saja sudah menarik perhatian pengendara lalu lintas dari sisi mana pun.
Gubernur DKI Anies Baswedan rupanya membaca reportase saya mengenai “piknik norak di Jakarta” minggu lalu. Reportase itu disiarkan di beberapa media. “Masya Allah,” komennya lewat japri di WA saya hari itu juga. Anies kemudian menawari untuk
” menjajal” JPO Phinisi itu. ” Nanti saya atur, kapan sempat, Bang IB,” janji orang nomer satu di Jakarta itu.
Realisasi Janji Anies
JPO Phinisi merupakan realisasi janji Anies merevitalisasi JPO Sudirman Tahap 2. Kemarin, waktu naik JPO itu, puluhan pekerja sedang menyelesaikan finishingnya.
Dalam pernyataan Anies beberapa waktu lalu, JPO Phinisi didedikasikan juga untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan tenaga medis dalam menangani pandemi virus Covid-19.
JPO Phinisi bukan sekedar jembatan unik dan cantik yang menjadi ikon baru Jakarta. Namun, fungsinya mengintegrasikan penumpang semua moda transportasi publik: MRT, Trans Jakarta, dan juga pengendara sepeda.
Tersedia lift yang berkapasitas besar di kedua ujung sisi jembatan, untuk memudahkan disabilitas menyeberang jalan.
JPO memang menghubungkan Jalan Sudirman ke arah Istana dan ke arah Semanggi. Di tengah jembatan ada anjungan yang atapnya berbentuk kapal Phinisi. Ada tangga lebar untuk menaiki anjungan yang cukup luas. Terbayang di benak, seandainya bisa membawa kursi lipat, penyeberang bisa rehat sejenak di Anjungan, sambil duduk minuh teh atau kopi menunggu sunset, dan menyaksikan arus lalu lintas di bawahnya. Tinggi jembatan sekitar 10 meter. Posisi anjungan 5 meter lebih tinggi di atas jembatan penyeberangan.
Kultur MRT
Lobby The Plaza di Plaza Indonesia titik kumpul rombongan Masjid At Tabayyun, Minggu siang itu. Fransiskus, sekuriti Plaza Indonesia, menyambut ramah. Pria setengah baya asal Flores melantik sendiri dirinya sebagai pasukan pengawal VVIP. Ia lalu mengantar kami sampai di pintu masuk MRT. Dia memilihkan akses yang bisa menggunakan eskalator masuk stasiun. Rombongan terdiri belasan orang yang sepanjang jalan riuh dengan senda gurau. Ada Pak Andre, Ustaz Asep, Pak Taupik, Pak Husni, Pak Marah Sakti Siregar dengan istri masing-masing. Mereka lah yang dijuluki ” Walisongo” At Tabayyun. Ternyata dengan cepat beradaptasi dengan kultur di MRT ini. Sejak deteksi protokol kesehatan di pintu masuk stasiun yang dijaga ketat. Tiap penumpang harus mengakses barkot @Pedulindungi Setelah itu pemeriksaan suhu. Lanjut tap kartu di e-gate. Saya mengamati semua tahapan itu. Seluruh penumpang mematuhi protokol itu dengan tertib. Patuh pada aturan mendahulukan penumpang yang turun, baru memasuki gerbong.
Di dalam gerbong MRT, terasa kultur disiplin semakin terjaga. Hanya duduk di kursi yang dibolehkan. Tidak berbicara, sesuai yang dianjurkan dalam pengumuman petugas tiap pemberhentian. Saya benar- benar takjub menyaksikan pemandangan berikutnya di dalam gerbong. Tanpa dikomando, penumpang yang berusia muda, serempak berdiri dari duduknya dan menyerahkan itu kepada penumpang yang lebih tua. Sudah lama betul budaya itu seperti “hilang” di dalam pergaulan sosial kita.
Sepanjang perjalanan kereta, hanya pemandangan ini yang kita lihat : kalau tidak membaca ( ponsel) penumpang mendengar musik lewat earphone. Masya Allah, pemandangan itu pertama kali bikin saya takjub tahun 1985 di Tokyo waktu naik MRT ( Subway/ Sabuai dalam lidah orang Jepang). Pengalaman itu berkali- kali saya tulis sebagai perlambang kemajuan peradaban bangsa Jepang. Pemandangan itu kini ada di Jakarta. Paling tidak, antara Lebak Bulus dan Bundaran HI — di rute MRT. Saya memeriksa juga toilet di stasiun yang bersih dan terawat. Pemandangan sejenak itu — saya namakan kultur MRT– luar biasa menginspirasi.
Rute yang kami pilih Bundaran HI – Setopan Asean. Kemudian balik ke Setopan MRT Karet. Mengakhiri rute itu, rombongan kemudian menikmati kenyamanan pedestrian di kawasan Jalan Sudirman, yang lapang dan bersih. Beberapa warga tampak duduk-duduk menikmati petang Jakarta. Bersama kekasih, keluarga, dan teman-temannya. Pedesterian ini tampaknya telah menjanjikan pula kultur kota modern.
Pakai APD
Sore itu, kami disambut petugas Jasa Marga di JPO Phinisi. Karena, JPO sedang dilaksanakan pekerjaan finishing oleh petugas perlu pengaturan menaiki JPO. Direkomendasikan bergantian, masing-masing lima orang. Semua harus memakai APD ( Alat Pengamanan Diru) yang disediakan petugas itu. Semua rombongan bahagia bisa merasakan naik Phinisi yang mengarungi jalan utama di Jakarta, Sudirman – Thamrin. Saya belum tanya satu-satu. Rasanya akan menjadi kenangan tak terlupakan : menjadi turis norak di negeri sendiri. Maka, “nikmat apalagi yang mau kau dustakan”.