Catatan Ilham Bintang
Di balik peristiwa kekerasan dan kekejaman yang mendominasi kasus ” Polisi Tembak Polisi” ternyata dalam rangkaian penyidikannya ada juga menyajikan adegan mengharukan. Adegan itu saat Ferdy Sambo berpelukan dengan istrinya, Putri Candrawathi.
Kita tidak tahu apakah adegan itu bagian dari peristiwa yang direka ulang dari perkara yang ada ataukah itu adegan yang muncul spontan secara alamiah berdasar situasi mutakhir. Pasutri itu memang sudah cukup lama terpisah oleh kasus yang menyatukan nasib keduanya : sama- sama tersangka pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati.
Mereka tersangkut peristiwa yang sudah hampir dua bulan menyita perhatian publik. Praktis sehabis merayakan ulang tahun ke-22 perkawinannya pada 6 Juli lalu di Magelang. Yang pasti, mereka memang terpisah tiga minggu lalu sejak Ferdy Sambo resmi tersangka dan ditahan di Mako Brimob.
Ferdy dan Putri kawan satu sekolah. Menjalin hubungan sejak masih remaja, sama-sama siswa sekolah menengah pertama di Makassar. Kemudian berumah tangga setelah keduanya menyelesaikan pendidikan.
Ferdy yang lulusan Akpol melanjutkan karier sebagai polisi hingga berpangkat Irjen Pol dan punya kekuasaan besar di Polri. Sedangkan Putri Candrawathi menyandang gelar dokter gigi. Keluarga yang tergolong sukses dan elitis itu dikaruniai empat orang anak. Namun, segera setelah peristiwa itu dunia sudah terbalik bagi keluarga ini. Mereka seperti “dijatuhkan ” dari langit. Ibarat kata pepatah hujan sehari menghapus kemarau setahun. Adegan berpelukan itu mengharukan. Menyelip di tengah rekonstruksi pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat 8 Juli lalu di mana keduanya berstatus tersangka utama.
Rekonstruksi disiarkan secara live oleh banyak televisi. Dimulai sejak pagi hingga petang, Selasa (30/8). Meski dilangsungkan pada hari kerja, reka ulang tersebut mendapat perhatian luas masyarakat. Teknologi informasi era digital memungkinkan siapapun dan di manapun dapat menonton reka ulang peristiwa tersebut.
Tetapi rekonstruksi secara terbuka kemarin memang tidak sepenuhnya memenuhi rasa ingin tahu masyarakat secara mendalam. Liputannya dimonopoli oleh kamera Polri. Yang kita saksikan di layar televisi maupun di layar ponsel adalah hasil relay dari kamera Polri itu. Liputan itu sering menutup bagian penting. Kita tidak dapat mendengar percakapan para pelaku dan petugas di lokasi acara reka ulang dilakukan.
Masyarakat dipersilahkan mereka – reka dan mencocokkan sendiri gambaran visual dari sekitar 78 adegan yang direkonstruksi dari tiga tempat. Yaitu: Magelang, rumah dinas tersangka Saguling, dan rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo di Duren Tiga. Yang menjadi tempat kejadian perkara penembakan Brigadir Yosua hingga ajudan Kadiv Propam Polri berusia 28 tahun itu tewas dengan lima luka tembakan.
Alhasil apa yang disuguhkan dalam rekonstruksi kemarin memang jauh dari gambaran yang sudah terlanjur mengendap di benak publik sebelumnya. Gambaran yang selama ini dipasok dari keterangan Kapolri sendiri, termasuk soal motif perbuatan asusila. Serta laporan- laporan investigasi media pers dan hiruk pikuk konten – konten Netizen. Rekonstruksi bisu itu tidak bisa menggambarkan alasan yang kuat mengapa pembunuhan harus terjadi sehingga Ferdy Sambo – Putri serta tiga tersangka lainnya, dan 97 anggota Polri sampai harus ditindak.
Tidak mengherankan jika publik menilai penyelenggara rekonstruksi tidak bekerja sesuai dengan perintah Presiden Jokowi yang menghendaki kasus itu dibuka seterang- terangnya. Padahal misi Presiden Jokowi jelas : supaya tidak ada keraguan lagi di dalam masyarakat.
Publik juga kecewa dengan janji Kapolri yang akan tegak lurus menjalankan perintah Presiden. Pengacara keluarga korban pembunuhan, Kamaruddin Simanjuntak bahkan terang-terangan menuduh rekonstruksi itu bagian kelanjutan dari upaya menutup fakta. Seperti yang terjadi di awal kejadian yang membuat citra Polri jatuh merosot. Pengacara itu bercerita kepada wartawan, dia hadir di TKP sejak pukul 8 pagi. Namun, saat rekonstruksi dimulai pukul 10 pagi dia dan timnya tidak diperkenankan masuk TKP.
Tragedi Manusia
Di awal saya menyebut adegan pelukan Sambo – Putri mengharukan. Memang. Adegan itu menusuk relung hati kita. Entah rekayasa pencitraan atau murni keluar secara spontan.
Terlepas dari sangkaan kejahatan keji terhadap keduanya, perasaan haru kepadanya adalah ekspresi bawah sadar kita dari perasaan empati sesama manusia atas tragedi yang menimpa hidup sejoli itu. Begitulah tragedi manusia bekerja yang bisa menimpa siapa saja. Alhasil adegan berpelukan itulah yang paling berharga dan impresif dari rekonstruksi atau secara keseluruhan dari peristiwa itu.
Dari adegan itu kita mendapat bahan renungan dan peringatan berharga dari tragedi Sambo-Putri ini : manusia harus mampu mengontrol dirinya supaya tidak lepas kendali sampai melakukan perbuatan yang melampaui batas.